Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Diculik
Setelah mengikuti tiga kelas Alfi. Aghnia merasa badannya sedikit remuk, lelah. Ia butuh berbaring sebentar saja sebelum mengikuti kelas terakhir Alfi setelah ashar.
Dokter juga tak mengijinkan Aghnia terus terusan meminum obat anti nyeri jika sakitnya kambuh. Karena itu bisa membuat organ tubuhnya kecanduan dan malah menghambat proses penyembuhannya. Dokter menyarankan mencari tempat yang rileks saat sakit itu kambuh, jika keadaan darurat maka boleh meminum obat pereda nyeri.
"Saya keluar sebentar ya pak", ijin Aghnia pada Alfi, menghentikan acara mengoreksi kertas kertas di hadapannya. Alfi mengangguk seraya mengalihkan pandangannya dari laptop, memandang Aghnia.
Aghnia keluar ruangan dosen menimbang harus ke mana dirinya pergi. Karena kedua tempat yang ia pikirkan lumayan jauh jaraknya, Aghnia memutuskan berjalan ke kursi panjang yang ada di depan ruang kuliah, berjarak seratus meter dengan ruang dosen.
Gadis itu membaringkan badannya di kursi panjang sembari melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 14.30.
"Masih ada satu jam lagi, tidur sebentar", gumam Aghnia, memiringkan badannya menghadap senderan kursi.
Alfi yang berada di ruang dosen sedikit khawatir dengan asisten pribadinya itu. Ia berpikir positif Aghnia pergi ke kantin untuk membeli makan siang yang terlewat.
Hingga satu jam berlalu Aghnia tak kunjung kembali, Alfi semakin khawatir jika tragedi di perpustakaan terjadi lagi, ditambah Aghnia memang meninggalkan barang barangnya di ruang Alfi.
Alfi menggendong ranselnya bergegas keluar ruang dosen. Matanya menangkap asisten pribadinya tengah duduk bersandar di kursi koridor. Alfi menghampiri gadis itu.
"Kenapa wajahmu sayu sekali?", tanya Alfi seraya duduk di samping Aghnia.
"Pak Alfi jangan terlalu perhatian ke saya. Nanti jadi suka loh", ujar Aghnia asal.
"Suka juga boleh", jawab Alfi seraya memandang Aghnia.
Jantung Aghnia berdetak dengan kencang mendengar jawaban asal dari pria di sampingnya.
"Sial! Pria ini suka sekali membuat jantungku tidak aman", batin Aghnia.
"Sakitmu kambuh lagi?", telisik Alfi.
"Saya baru bangun tidur", jujur Aghnia, ia melihat jam di tangannya.
Alfi mengernyit. Gadis di sampingnya ini memang ajaib, bisa tidur di tempat mana pun tanpa harus di kamar.
"Ayo pak, ini kelas terakhir kan?", seru Aghnia yang telah berdiri bersiap dengan kelas terakhir Alfi.
Alfi masih duduk, tak bergeming, memandang gadis di hadapannya itu.
"Kalo lelah, kamu bisa koreksi di ruang dosen saja", ujar Alfi.
"Nggak. Dibilang saya sudah sehat, nggak percayaan banget", keluh Aghnia tanpa sadar memanyunkan bibirnya.
"Sial! Kenapa tingkahnya sangat lucu", batin Alfi.
Pria itu berdiri, berjalan mendahului Aghnia.
Setelah tuntas menyelesaikan kelas terakhir. Mereka berdua melaksanakan sholat ashar di mushola fakultas. Selesai sholat Aghnia tidak langsung melepas mukenahnya. Gadis itu berbaring di pojok dekat dengan lemari mukenah.
Alfi yang menunggu di serambi mushola mengernyit heran menunggu Aghnia tak segera keluar ketika jamaah telah usai.
Menunggu mushola sepi, Alfi masuk ke tempat wanita mencari keberadaan Aghnia. Pria itu menemukan Aghnia tertidur miring di dekat lemari mukenah. Bergegas Alfi menghampirinya, khawatir jika gadis itu pingsan.
"Aghnia, sakitmu kambuh?", bisik Alfi, agar tidak mengagetkan gadis itu.
Aghnia menggeleng, gadis itu bangun seraya duduk bersandar pada tembok.
"Ayo saya antar pulang", ajak Alfi.
Aghnia kembali menggeleng, gadis itu menikmati ekspresi khawatir Alfi.
"Saya dijemput Monica", ujar Aghnia.
"Pak Alfi bisa pulang lebih dulu, saya masih ingin istirahat sebentar disini", imbuh Aghnia seraya melepas mukenah dan melipatnya.
Gadis itu berjalan keluar mushola lantas duduk lesehan bersandar pada pilar yang berada di serambi musholla.
Alfi mengekor Aghnia, melihat jam di tangannya, masih ada waktu cukup lama sebelum berkunjung ke cafe Elviana. Ia memutuskan menemani Aghnia hingga Monica datang menjemput gadis itu.
"Ternyata benar ya, hadiah terbesar dari Tuhan adalah hati yang tenang, tenang saat sholat dan tenang dalam situasi apapun", celetuk Aghnia seraya tersenyum memandang Alfi.
"Lebih tepatnya diberi ketenangan. Tapi itu bukan yang terbesar", sahut Alfi.
"Memangnya, apa yang terbesar?", heran Aghnia.
"Coba tebak", Alfi tidak segera memberi jawaban agar Aghnia berusaha.
"Ih, malah main tebak-tebakan", Aghnia sedang tidak mood untuk tebak-tebakan saat kondisinya sedang lemah begini.
"Ya sudah. Kamu buat PR saja, Nia", Alfi pun tak juga menyerah.
"Saya kan sudah lulus pak. Ngapain masih dikasih tugas rumah?", tolak Aghnia.
"Kalau sudah berpikir sampai mentok, jawaban itu akan datang meski tidak dari hasil pemikiran sendiri", ujar Alfi, semakin membuat Aghnia jengah.
"Terserah lah", ujar Aghnia seraya melipat tangan di depan dada, menahan rasa penasaran dan gengsi untuk mendesak Alfi memberi jawaban. Namun gadis itu meringis karena terlalu keras menekan perutnya sendiri hingga sedikit nyeri.
Alfi hanya menggeleng, menganggap lucu tingkah Aghnia yang sembrono.
"Pak Alfi pulang saja sana. Ngapain nungguin saya", usir Aghnia, semakin malu karena bertingkah konyol di hadapan Alfi.
"Yakin? Nanti diusilin mahasiswa baru, kamu bisa lari?", gertak Alfi.
"Yakin lah. Saya kan bisa bela diri pak", sahut Aghnia, enggan diremehkan.
"Ya sudah. Kamu punya nomor ponsel saya. Hubungi saya jika kamu ada masalah", tawar Alfi lantas beranjak pergi tanpa menunggu jawaban Aghnia.
"Dasar nggak peka", gumam Aghnia, melihat punggung Alfi yang telah nampak menjauh.
Saat ia tengah fokus menggerutu, seseorang membekap hidung dan mulut Aghnia dengan sapu tangan berbius. Karena kondisinya yang lemah, Aghnia yang ingin melawan pun semakin kehabisan tenaga dan menghirup bius lebih banyak.
Seorang pria lain membantu memapah tubuh Aghnia yang telah pingsan dan lekas membawanya masuk ke dalam mobil van hitam tanpa plat nomor di dekat parkiran mahasiswa yang tengah lengang.
Van hitam itu segera melaju meninggalkan kampus dengan kecepatan sedang agar tidak dicurigai.
"Kamu sangat kuat, Nia. Bahkan dalam kondisi sakit begini, aku masih kesulitan menculikmu", seorang pria berpenutup wajah membelai wajah Aghnia yang nampak sedikit pucat namun tetap cantik.
Alfi merasa sedikit khawatir meninggalkan Aghnia. Ia mengira gadis itu akan menahannya agar tidak meninggalkannya.
"Lebih baik aku kembali dulu", gumam Alfi yang telah sampai di lapangan basket pun berbalik arah. Sesampainya di dekat mushola, Alfi tidak menemukan keberadaan Aghnia.
"Ke mana dia?", gumam Alfi yang merasa cemas karena menemukan sebelah sepatu Aghnia di sana. Ia yakin gadis itu dalam masalah saat ini.
Segera, Alfi berlari ke ruang pemantau kamera keamanan dan meminta rekaman pengawas.
"Silahkan pak", petugas keamanan kampus memberikan kesempatan pada Alfi yang segera memutar rekaman di sekitar mushola.
"Itu dia!", ucap Alfi, di mana petugas keamanan ikut menyaksikan detik-detik penculikan Aghnia yang nampak agak jauh dari titik kamera pengawas. Sayangnya, resolusi yang ada tidak mampu mengekspos detail dua penculik berpenutup kepala dan beraksi di saat suasana sore yang lengang.
"Sial! Cepat lapor polisi!", perintah Alfi karena ada bukti penculikan kepada Aghnia.