Rumah tangga yang telah aku bangun selama dua tahun dengan penuh perjuangan, mulai dari restu dan segala aspek lainnya dan pada akhirnya runtuh dalam sekejap mata. Aku yang salah atau mungkin dia yang terlalu labil dalam menyelesaikan prahara ini? berjuang kembali? bagaimana mungkin hubungan yang telah putus terbina ulang dalam penuh kasih. Berpaling? aku tidak mampu, segalanya telah habis di dia. Lalu aku harus bagaimana? menerima yang datang dengan penuh ketulusan atau kembali dalam rasa yang setengah mati ini? aku hancur dalam cintanya, segala hal tentang dia membuat aku hancur berantakan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lissaju Liantie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab_028 Alih profesi
Deria yang telah tertidur cukup lama kini perlahan membuka matanya secara perlahan dengan kepala yang masih terasa agak berat. Pandangan Deria langsung tertuju pada selang infus yang masih terpasang rapi pada tangannya, lalu pandangan tersebut teralihkan pada sosok yang duduk di sofa tepat dihadapannya, dia terlihat sedang menunggunya bangun sejak tadi.
"Dariel..." Ujar Deria pelan saat matanya menatap wajah lelah Dariel.
"Kamu sudah bangun? bagaimana keadaan mu? apa aku harus manambahkan infus lagi?" Tanya Dariel yang terlihat jelas begitu mengkhawatirkan keadaan Deria.
"Maaf karena membuat mu lelah, tapi aku benar-benar sudah baik-baik saja, tolong lepas infusnya!" Jelas Deria yang terlihat jelas begitu merasa tidak enak pada Dariel, ia merasa bahwa dirinya sudah cukup merepotkan Dariel.
"Hmmmm, sini aku lepaskan..." Pinta Dariel lalu segera mendekat untuk melepaskannya.
"Apa tidak sebaiknya kamu melakukan pemeriksaan?" Tanya Dariel dengan tangan yang terus bekerja membuka infus.
"Aku hanya kelelahan saja, karena semalam tidak sempat tidur." Jelas Deria.
"Tidak sempat tidur? bukannya semalam kamu of?" Tanya Dariel.
"Ada pasien dadakan yang butuh pertolongan aku, apa kamu tidak punya jadwal operasi hari ini?" Tanya Deria.
"Kosong, aku sudah meminta koas untuk mengecek pasien yang aku operasi kemaren, aku lagi tidak terlalu banyak kerjaan." Jelas Dariel yang mencoba untuk tersenyum.
"Apa dokter Anand punya jadwal operasi hari ini?" Tanya Deria meski sedikit terdengar canggung.
"Kenapa?" Tanya Dariel yang seketika merubah ekspresi wajah yang awalnya tersenyum ramah kini menjadi kesal.
"Hanya saja, aku takut jika dia terus membebankan tugasnya pada mu." Jelas Deria lalu tersenyum untuk mencair suasana.
"Apa yang terjadi? apa aku datang di waktu yang salah?" Tanya Sean yang berdiri diambang pintu sana dengan pandangan yang tidak bisa dia alihkan dari Dariel yang terlihat masih menggenggam tangan Deria meski ia sudah berhasil melepaskan infus sejak beberapa menit yang lalu.
Kedatangan Sean membuat Deria tersadar akan posisi duduknya yang tak berjarak sedikit pun dari Dariel, jika di lihat dari sudut pandang yang salah, mereka terlihat sedang bermesraan atau parahnya akan terlihat baru saja melepaskan pelukan hangat. Deria menarik tangannya dari genggaman Dariel, lalu sedikit bergeser membentang jarak dari Dariel.
"Sorry!! aku akan datang lain kali saja." Jelas Sean karena keduanya hanya terdiam membisu atas kedatangannya kesitu.
Sean kembali menutup pintu rapat-rapat dan lekas pergi dari sana sambil merogoh ponsel dari saku jasnya lalu segera menghubungi Anand.
"Seperti yang kamu inginkan, mereka terlihat begitu dekat, aku rasa Ria telah menemukan pengganti mu, dia bahkan mendapat cowok yang jauh lebih baik dalam segala hal dari kamu." Jelas Sean dan langsung memutuskan panggilannya secara sepihak.
Langkah Sean terlihat gusar tak terarah, dia terlihat tidak baik-baik saja setelah melihat Deria tersenyum manis disamping Dariel, hatinya hancur berantakan seakan ia baru saja melihat kekasihnya yang sedang berselingkuh.
"Huffffff!" Sean mencoba menenangkan dirinya.
langkahnya terhenti di lorong kosong lalu dengan penuh amarah tangannya meninju dinding yang ada disisi kanannya.
"Sial...! kenapa harus seperti ini ceritanya? kenepa kisah dia berakhir dengan seperti ini? apa yang harus aku lakukan, saat ini dia pasti sedang menangis, terpuruk dan terluka. Anand, maaf karena kali ini abang sama sekali tidak bisa menolongmu seperti dulu." Ungkap Sean dengan air mata yang menetes tanpa ia undang sama sekali.
Ia begitu terluka saat hatinya harus menerima kenyataan tentang kehancuran rumah tangga sang adik tersayang, dia yang dulu mati-matian membantu sang adik untuk mendapatkan restu orang tua, namun kini rumah tangganya benar-benar usai. Sean mengira bahwa peceraian itu akan berakhir dengan rujuk kembali, namun pada kenyataannya Deria telah menemukan cinta yang baru dan ini bukanlah kesalahannya karena Anand lah yang memutuskan untuk melepaskan Deria. Sejenak meratapi kenyataan yang sama sekali tidak lagi bisa ia ubah meski bagaimanapun caranya, Sean kembali melangkah menuju ruang kerjannya.
~~
Setelah sehari semalam istirahat total untuk pemulihan, hari ini Anand kembali masuk kerja, dia datang tepat pukul sembilan pagi, penampilannya sangat berantakan, tidak mencerminkan seperti layaknya seorang dokter spesialis, kali ini ia bahkan terlihat seperti preman pasar. Jeans dengan kedua lutut yang terekspos dengan begitu jelas dipadu dengan kaos polos berwarna coklat susu, rambut yang acak-acakan serta jas kedoktoran yang tersangkut pada tali ransel yang melekat dibahunya dan sebuah sweater rajut berwarna hitam yang di tenteng di tangan kirinya. Ia terus berjalan tanpa peduli pada mata yang terus menatap heran pada dirinya.
"Apa yang barusan lewat itu dokter Anand?" Tanya Nita yang perlahan mendekat ke meja Resepsionis dimana Rizki berada dan masih berdiri dengan tatapan kosong yang terus mengikuti kearah Anand.
"Kita tidak salah lihat kan? barusan itu dokter Anand kan bukan gelandangan kan?" Rizki mencoba memastikan apa yang sedang ia lihat.
"Baru sehari menghilang dia sudah berubah seperti itu, bagaimana kalau sampai seminggu?" Cetus Nita dengan menepuk jidatnya.
Anand membuka pintu kerjanya lalu mendapatkan sapaan dari Dariel yang saat ini sedang duduk di meja kerjanya. Anand tidak membalas sapaan dari Dariel, ia bahkan tidak menganggap keberadaan Dariel di ruangan tersebut.
"Hufff!" Dariel tampak mengelus dadanya untuk menenangkan diri atas perlakuan Anand terhadapnya.
Anand duduk di kursinya setelah melemparkan ransel begitu saja keatas meja, lalu segera membuka laci untuk mengambil headset hitam lalu memangkan ke telinganya, dia langsung menyetel lagu favorit dari ponselnya. Anand merebahkan punggungnya pada sandaran kursi lalu memejamkan mata menikmati waktu luangnya.
"Untung aku harus ke ruang operasi jadi tidak harus menetap disini dengan manusia es itu..." Cetus Dariel dan lekas pergi.
Anand membuka matanya perlahan setelah mendengar suara pintu yang ditutup dari luar. Tangan Anand melepaskan headset dari telingannya serta kaca mata hitam yang sejak tadi ia gunakan.
"Apa aku harus pindah ke rumah sakit lain saja? atau sebaiknya berhenti jadi dokter, lalu aku harus kerja apa? aku sama sekali tidak punya keahlian lain selain berkelahi dan mengobati! lucu sekali hidup ku ini...atau memang aku coba aja jadi pembunuh bayaran? toh aku sudah menyelamatkan banyak nyawa apa sekarang saatnya menjadi pembunuh?" Ujar Anand pada dirinya sendiri dengan mata yang menatap langit-langit.
"Waaaah, sepertinya aku emang harus alih profesi..." Tegas Anand saat ia kini berpindah dari kursi kerja beralih ke depan cermin besar yang sengaja ia pasang di samping meja kerjanya.
Anand terus menatap dirinya dari pantulan cermin yang menampilkan dirinya dari ujung kepala hingga ke ujung lalu mulai iseng merombak gaya rambutnya kedalam beberapa style.
"Dariel..." Panggil Deria dengan tangan yang masih memegang gagang pintu yang ia buka barusan.
Kedua matanya saling menatap dalam kebisuan, larut dalam pandangan damai tak berucap.
~~