(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 28
Tok
Tok
Sebuah ketukan pintu membuat Livia yang sedang berada di dapur dengan di temani oleh Caesar menaruh spatula itu di atas wajan.
"Sayang biar Mama yang lihat." Livia hendak mematikan kompornya namun di cegah oleh Caesar.
"Tidak perlu Ma, biar aku saja." Caesar turun dari kursi. Dia sedang menaruh ayam goreng. Dia berlari ke arah pintu dan melihat seorang pria.
"Siapa Sayang?" teriak Caesar.
Caesar menoleh, sebelum ibunya datang ia harus mengusir pria di depannya. "Bukan siapa-siapa Ma. Killian iseng."
Kennet berjongkok, dia menjajarkan tubuhnya dengan tinggi Caesar. "Sayang."
"Buat apa kesini lagi?" tanya Caesar.
"Papa membawakan hadiah untuk Caesar dan Mama."
Caesar melihat beberapa paper bagh, ia sama sekali tidak tertarik. "Hah, sepertinya ucapan ku di anggap angin."
Caesar menutup pintu agar ibunya tidak curiga padanya. "Aku tidak mau hadiah itu dan buang saja."
"Sayang siapa tau adik-adik mu suka." keukeh Kennet.
"Benar tuan muda, ini tuan Kennet sendiri yang membelinya." Sahut Bernad. "Lihat, ini ada mobil bagus." Dia memperlihatkan mainan warna merah itu.
"Baiklah, kamu ingin aku menerima dan juga adik-adik ku yang lainnya. Bagaimana kalau aku membuat pilihan. Kau berpisah dengan istri mu dan kami menerima mu atau kamu memilih istri mu dan meninggalkan kami?"
Deg
Kennet terdiam, pilihan itu sangat sulit. Mana mungkin ia meninggalkan Kalisa saat Kalisa tidak memiliki salah apa pun padanya. Dan bagaimana ia meninggalkan anaknya hanya demi Kalisa. "Sayang bisakah kamu memberikan kesempatan pada Papa?"
"Kesempatan? Hanya itu kesempatan mu."
"Ayo Kak cepat." Killian dan Damian serta Carles terdiam saat tatapan mereka melihat Caesar mengobrol dengan Kennet.
Kennet mengusap kepala Caesar, pilihannya sangat sulit mana mungkin ia bisa memilihnya. "Sayang bisakah jangan bercanda, mana mungkin Papa memilih di antara kalian."
"Oh berarti kehadiran kami tidak penting. Sudahlah sebaiknya kau pergi saja, jangan datang kesini jika kamu tidak bisa memilih kami." Tegas Caesar menepis tangan Kennet.
"Kakak." Killian, Damian dan Charles meninggalkan timba yang di isi air karena selang di rumahnya tersumbat jadi tidak bisa di aliri air untuk menyiram tanaman.
Kennet tersenyum, ia berharap salah satu dari mereka mau menerima hadiahnya. "Sayang ini Papa bawakan hadiah."
"Kakak." Killian ingin tau pembicaraan mereka tadi.
"Aku hanya menyuruhnya memilih kita atau istrinya." Caesar menegaskan kembali.
"Tuan muda Caesar ..."
Charles menyanggah, ia menghentikan ucapan dari mulut Bernad. "Yang di katakan oleh Kak Cae benar. Kalau tidak bisa memilih jangan kesini dan jangan pernah datang kesini lagi kalau kau memilih istri mu. Kau menelantarkan kami demi istri mu kan?"
"Sebaiknya kalian pergi jangan sampai Mama melihat kalian." Damian sangat geram. Berarti sampai saat ini sosok ayahnya itu hanya menginginkannya dan berharap bisa bersama kakak dan ibunya tanpa meninggalkan istrinya itu.
Kennet meraih tangan Caesar. "Sayang, papa menyayangi kalian. Papa mencintai kalian. Papa tidak bisa memilih. Papa harap kalian mau mengerti keadaan Papa. Papa mohon berikan kesempatan lagi."
"Sudahlah, kita punya om Alan. Kita tidak butuh Papa lagi." Caesar memutar tubuhnya.
Kennet menggenggam erat tangannya. kesesakan, kesakitan itu membuatnya jiwanya runtuh. Anaknya memberikan pilihan yang sulit padanya. Ia tidak bisa memilih salah satu di antara mereka.
"Baiklah Papa pergi."
Caesar, Killian, Damian dan Charles memandang Kennet yang terus melangkah pergi. Ada sebuah harapan yang sangat kecil di hati mereka. Berharap bahwa Papa mereka akan kembali dan bersama mereka. Namun semuanya sia-sia, Kennet terus melangkah hingga mobil itu menghilang dari pandangan mereka.
Damian menunduk dan menangis. "Kita memang tidak di sayangi."
Caesar memeluk Damian. Ia akan mengingat perpisahan dan rasa sakit yang di berikan oleh ayahnya itu. "Tidak apa-apa masih ada Kakak dan Mama. Jangan menangis, Mama pasti sedih lagi."
Damian mengusap air matanya. "Kita rahasiakan kedatangannya pada Mama."
Tanpa sepengatahuan mereka, Livia bersembunyi di belakang pintu mendengarkan obrolan mereka. Air matanya terasa hangat itu membasahi pipinya. Hati ibu mana yang tidak sakit saat mendengarkan anak-anaknya begitu menginginkan ayahnya menoleh dan kembali.
"Maafkan Mama." Seharusnya dulu ia bertahan untuk meyakinkan Kennet namun sepertinya jalan yang ia tempuh dan ia pilih membuat anak-anaknya menderita.
...
Erland menatap bingung saat Kennet membawa kopernya. Anita pun kalah kagetnya. Entah apa yang terjadi tiba-tiba Kennet ingin pergi.
"Kennet apa yang terjadi? Kau mau menyerah begitu saja?"
Kennet menggelengkan kepalanya. Mungkin anak-anaknya butuh waktu. "Kalian benar, anak-anak itu membutuhkan waktu."
"Kennet kau yakin akan pergi?" tanya Erland.
Kennet mengangguk, dadanya panas dan berdenyut sakit. Ia akan memberikan waktu untuk Livia dan anak-anak. "Setiap bulan aku akan mentransfer untuk mereka. Tolong jaga mereka, jika ada sesuatu katakan pada ku dan butuh sesuatu hubungi aku. Aku pergi bukan menyerah."
Erland memeluk Kennet. Dia bangga pada temannya itu. "Baiklah, aku akan menjaga mereka untuk mu."
Kennet mengangguk, dia dan Bernad pun pergi. Anita dan Erland tak bisa menahan air matanya. Dia saja sebagai orang tua juga sangat sakit mendengarkan ucapan anak-anak Kennet.
"Aku berharap mereka bersama."
Tiga hari kemudian.
Kennet beraktivitas seperti biasa, ke kantor dan pulang larut malam. Seakan mansion mewah itu hanya batas persinggahan. Sudah tiga hari ini ia tidak mengabari Erland. Ingin ia mengabari tapi ia ragu.
Entah bagaimana keadaan anak-anak saat ini. Ia masih belum mengatakan anak-anak Livia pada Kalisa. Ia merasa Kalisa tidak perlu mengetahuinya.
"Sayang." Kalisa datang dan ia menghampiri Kennet lalu di pangkuannya. "Aku merindukan mu, kita hanya bertemu beberapa jam saja." Ia pikir Kennet membutuhkan beberapa bulan untuk bertemu namun siapa sangka hanya beberapa hari saja. "Aku senang."
Kennet tersenyum, tiba-tiba ia melihat wajah Livia di depannya. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap rambutnya.
Kalisa tersenyum, dia pun bercerita tentang liburannya pada Kennet namun siapa sangka pikiran Kennet malah tertuju pada Livia.
"Kennet, bagaimana kalau kita liburan?"
Kennet tersadar, ia belum ingin pergi kemana pun. Ia terus mengingat ucapan anaknya. "Tidak, aku tidak ingin pergi. Sebaiknya kau sendiri dan teman-teman mu yang liburan. Aku hanya fokus mencari uang dan menyenangkan mu." Dia juga harus mempersiapkan segala sesuatu di masa depan untuk si kembar. Ia tidak ingin suatu saat nanti si kembar kesusahan setelah dirinya pergi. Manusia tidak akan hidup abadi demikian dirinya. Ia ingin kehidupan anak-anaknya terjamin di masa depan.
"Sayang kau baik sekali, aku mencintai mu."
"Aku akan menangung semua liburan dengan teman-teman mu."
"Kau yang terbaik, baiklah aku akan mengatakan pada teman-teman ku. Aku pergi dulu." Kalisa mencium pipi Kennet.
Kennet memandangi tubuh Kalisa yang sudah menghilang. Ia merasa takut, baru kali ini ia hidup dengan ketakutan.