Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 AKHIRNYA MENGETAHUI
Panggilan terputus, ponselnya ia masukkan kembali ke kantong. Di sudut ranjang, Vania terus memperhatikannya. Wanita itu menatapnya seakan meminta jawaban.
"Karina sudah berangkat ke luar negeri," ujar David saat berjalan mendekat.
Terdengar hembusan napas istrinya, Vania membuang muka seakan marah. "Terus sekarang apa yang ingin kamu lakukan? Kamu akan terus berhubungan dengannya?"
"Aku sudah menikah," jawabnya.
Vania tak melihat adanya keseriusan di kedua matanya. Ia seperti melihat sesuatu yang beda.
"Aku tanyanya apakah kamu akan—"
"Sudah aku katakan. Aku sudah menikah, kamu tidak perlu khawatir. Aku tau batasannya."
Keduanya saling pandang, David sangat berhati-hati sekali dalam berucap. Ia seakan takut kalau Vania akan mengatakan hal yang diluar dugaan.
"Mau kemana?" Ia juga takut kalau Vania akan pergi lagi.
"Panas di sini. Aku mau cari udara segar," kata Vania sembari membawa selang infusnya sendiri.
"Jangan keluar. Kamu harus banyak istirahat." David memegangi lengannya, dari tatapannya ia seakan tak mau berjauhan.
"Apa? Aku hanya ingin duduk di depan. Lepas!" Vania berontak, tapi karna ia kesusahan dengan selang infusnya jadi Vania tak bisa banyak bergerak.
Kecelakaan kemarin sebenarnya masih meninggalkan trauma bagi Vania. Masih terbayang jelas saat mobil menabrak bahu jalan. Kejadiannya begitu sangat cepat. Tapi rasa sakitnya seakan terkalahkan dengan sakit hatinya melihat sang suami masih berhubungan dengan mantannya.
"Vania, Sayang. Maaf Mama baru kesini lagi. Gimana keadaan kamu?"
Rissa datang dengan membawa banyak makanan yang telah ia buat. Juga beberapa aneka macam buah-buahan yang sehat. Ia memberikan perhatian layaknya seperti kepada anaknya sendiri.
"Sudah baikan, Ma," jawab Vania.
"Syukurlah, Sayang."
.
.
Di tempat lain, jiwa seorang perempuan seakan terguncang. Rasa pedih menjalar ke hatinya. Sakit, sakit sekali. Ia terus menekan dadanya.
"*Jangan masak udang ya. Vania alergi, jadi hindari masak hewan laut. Oh ya buah-buahan jangan lupa dibeli. Yang banyak, kalau bisa yang baik untuk kesuburan juga. Sayuran juga yang segar-segar*."
Saat di apartemen, Karina mendengar sendiri betapa perhatiannya Rissa kepada Vania. Beliau bahkan menyayanginya tanpa syarat. Sedangkan dirinya diperhatikan sekarang karna punya alasan sedang mengandung.
"Tidak ada gunanya aku di sini!" Ia kesal dan langsung mengemasi pakaiannya. Hari ini juga ia akan kembali ke rutinitasnya. Tak ada yang bisa diharapkan di sini. Terlalu memuakkan jika terus di sini.
"Secara tidak langsung kamu telah menyakiti aku, David!" geramnya.
***
Setelah seminggu di rumah sakit, Vania akhirnya diperbolehkan pulang. Berbeda dengan Reno yang sudah lebih dulu pulang lebih awal dan sudah mulai berangkat ke kantor.
"Untuk sementara Vania tinggal dulu sama kita. Aku tidak bisa tidur nyenyak beberapa hari ini karna terus mengkhawatirkan putriku," ucap Amira dengan mimik wajah sedih.
Rissa hanya mengangguk dan tak bisa memaksakan kehendak besannya. Karna David sedang berada di kantor, akhirnya Vania diantarkan oleh mobil Rissa ke kediaman orang tuanya.
Rumah yang sederhana tapi sangat nyaman. Rissa mampir sejenak atas permintaan Amira.
"Kalian baru pindah ke kota ini, kan? Memang sebelumnya tinggal dimana?" Rissa mendengar sedikit soal keluarga Vania dari Marshel.
"Dulunya kami tinggal di desa, jauh sekali. Sangat pelosok," jawabnya sambil tertawa kecil.
"Ohh, begitu." Rissa hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Maaf ya, Mira. Saya mau tanya sesuatu hal boleh? Tapi sangat mohon kamu jangan tersinggung."
Amira yang baru menyesapkan teh ke dalam mulutnya langsung menoleh. Ia meletakkan kembali cangkirnya. "Kenapa, Rissa? Sepertinya hal yang sangat serius."
"Hm, itu," Ia kebingungan akan mulai dari mana. "Soal liontin yang dipakai Vania. Kamu beli dimana?"
"Oh itu, aku gak beli. Aku dikasih sama orang," jawabnya.
"Orang siapa? Kenapa tiba-tiba ngasih itu?"
Amira menatap Rissa dengan tatapan penuh selidik.
"Apa Rissa tahu sesuatu hal soal perhiasan itu?"
"Memangnya kenapa? Itu anting dia semasa bayi. Waktu itu ada seseorang yang memberinya. Hm, dulu majikan aku," jawabnya setelah sejenak berpikir.
"Oh, majikan kamu? Royal banget ya? Sampai memberi perhiasan seharga mobil," jawabnya.
"HAH???" Amira langsung tercengang. "Se-seharga mobil? Mo—" Ia langsung shock. Benar-benar terkejut. Ia tak tahu kalau harga sebuah anting kecil itu akan bernilai sangat mahal.
"Hm, iya. Itu keluaran lama dari sebuah brand perhiasan yang ternama. Mungkin sekarang harganya sampe ratusan juta, bahkan bisa sampai—"
"Stop, stop." Ia mengangkat tangannya dan menyuruh Rissa untuk berhenti. Ia tak sanggup mendengar penjelasannya lebih lanjut.
"Siapa sebenarnya orang tua kandung Vania? Apa dia orang kaya? Jahat banget, kenapa harus membuangnya?"
Tiba-tiba Amira meneteskan air matanya membuat Rissa kebingungan.
"Mir, Mira? Kamu kenapa? Apa ucapan aku ada yang salah?"
Amira menggeleng, segera ia mengusap air matanya yang turun karna tak mau membuat Rissa khawatir atau menanyakan lebih lanjut.
"Kamu pasti terharu ya sama kebaikan majikan kamu dulu? Kamu orang baik, sudah sepantasnya mendapatkan itu semua," kata Rissa.
Saat malam menjelang, Amira tak berpindah posisi masih tetap menemani Vania yang telah terlelap. Ia memandangi wajah cantiknya yang memang tak ada mirip-miripnya dengan dirinya. Apalagi kulitnya yang putih bersih, sangat bertolak belakang dengan Sissy.
"Nak, Ibu sangat menyayangi kamu layaknya seperti Sissy. Tak ada bedanya. Kalian sama. Walaupun kamu bukan terlahir dari rahim Ibu. Tapi—"
"Ibu!"
Amira terjingkat kaget saat tiba-tiba Vania bangun. "Va-vania, kamu belum tidur, Nak?"
"Ibu, apa maksud perkataan Ibu barusan? Ibu ....." Walaupun suara Amira sangat pelan, tapi Vania yang belum sepenuhnya terlelap ia bisa mendengarnya dengan jelas.
Hatinya mendadak panas saat melihat Amira hanya bisa menunduk dengan arah matanya yang kesana-kemari seperti sedang berpikir sesuatu.
"Ibu ....." Tangis Vania akhirnya pecah saat Amira tak kunjung menjawab.
"Nak ....." Amira membawa Vania kedalam pelukannya. "Nak, maafkan Ibu."
Mereka menangis bersamaan. Hatinya begitu sakit, bahkan sakitnya hampir sama saat dikhianati suaminya. Belum selesai masalahnya dengan David, kini ia mendengar sebuah kebenaran yang menyesakkan dada.
"Vania anak siapa, Bu? Vania anak siapa? Ibu ....." Ia menangis meraung, sampai-sampai Sissy mendengar tangisan kakaknya dan berlari menghampiri sang kakak di kamarnya.
"Sissy ...." Panggilnya pada adik perempuan satu-satunya itu.
"Kakak, Kakak kenapa?" Sissy ikut menangis, walaupun ia belum tahu apa penyebab kakaknya menangis.
Setelah tangisan Vania reda, Amira mulai menceritakan yang sebenarnya. Tentu saja, Vania masih berat hati menerima semuanya. Ia seperti merasakan sebuah mimpi yang sangat nyata.
"Kak Vania, masih sayang aku, kan? Walaupun aku bukan adik kandung Kakak?" Tatapan polos Sissy membuat Vania ingin menangis kembali.
"Kamu tetap akan jadi adik Kakak. Kakak akan tetap menyayangimu." Mereka berpelukan kembali.
"*Kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang aku mengetahuinya*?"