NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Peristiwa di Villa

 

“Dari mana aja sih, Dek? Kenapa nggak bilang sama Mas Raga kalau mau keluar?” Raga menyambut kedatanganku dengan wajah panik. “Mas cariin sejak tadi.”

Aku ngeloyor masuk ke halaman Villa tanpa menggubris sederet pertanyaan yang diajukan oleh pemuda itu. Dia mengekor langkahku seraya sibuk melempar pertanyaan demi pertanyaan.

“Kenapa keluar nggak bilang-bilang? Mas Raga cemas, tahu nggak sih, Dek? Adek belum makan juga, ‘kan?”

Duuuh, apaan deh?

“Di sini udaranya dingin. Adek tuh punya sakit maag. Kalau telat makan terus maag nya kambuh, gimana coba?”

Aku menghentikan langkah, lalu berbalik menatapnya. “Mas, aku tuh sudah gede loh! Berhenti memperlakukan aku kek bocah gitu!” pintaku seraya menahan dongkol yang numpuk dalam dada.

“Tapi Adek memang belum makan, ‘kan?”

“Belum,” jawabku singkat.

“Terus? Ini tadi dari mana?”

“Jalan-jalan.”

“Ke?”

“Nyari udara segar di telaga.”

“Sama siapa?” tanyanya menyelidik.

“Sendiri.”

“Sendiri!?” pekiknya tertahan disertai ekspresi penuh kekhawatiran.

“Kenapa, sih?” Aku menahan senyum, merasa lucu melihat reaksi cowok itu. Sepertinya dia benar-benar mencemaskanku. Maka untuk membuatnya kembali tenang, aku melingkarkan lengan di pinggangnya. “Orang aku nggak apa-apa juga!”

“Adek tuh ke sini Mas Raga yang bawa. Mas Raga yang bertanggung jawab atas keselamatan Adek.” Tangan kokoh mengelus ujung rambutku yang tergerai menyentuh punggung. “Tolong ya... kalau mau ke mana-mana lagi, bilang ke Mas Raga. Biar kita nggak panik nyariin.”

“Emang panik?” Aku bertanya, menggodai pemuda berwajah lembut yang tengah kupeluk pinggangnya.

“Setengah mati, tau nggak!”

Aku tertawa kecil. “Alah, kalau ilang juga banyak yang bisa gantiin!”

“Ulah, atuh!”¹ sergahnya cepat dengan nada serius, membuat tawaku kian berderai. “Ka mana Mas Raga harus cari ganti yang kayak Adek begini? Nggak bakal ada. Euweuh! Moal!”

“Mual?”

“Moal, ceunah! Lain mual!”

“Ha ha ha!”

“Jangan tertawa! Mas Raga ini serius loh!”

“Ya sudahlah, orang aku juga nggak apa-apa. Nih balik masih utuh. Nggak ada yang cuwil,” dalihku seraya memegang pipi, lengan, dan paha dengan gaya lebay.

Aku tidak bisa berterus terang mengenai perjalananku keluar Villa malam itu. Aku sengaja berbohong atas permintaan Kevin. Kami berpisah di belakang Villa, dan sebelum berpisah dia berpesan agar Raga jangan sampai tahu kalau kami jalan berdua. Menurutnya, biar saja pertemuan dan perbincangan di tepi Telaga tersebut cukup menjadi rahasia kami.

“Cukup sate kelinci yang jadi saksi,” katanya.

Tiba-tiba Hanara muncul dari balik pintu dan langsung menghampiri aku yang sedang menggelendot manja ke kakak sepupunya.

“Teteh!” serunya membuat kami berdua sontak menoleh. “Teteh lihat Kak Kevin nggak?”

Pertanyaan gadis tersebut membuatku berdebar tegang. Ternyata ada yang menyadari ketidakberadaan Kevin dalam villa.

“Hana udah cari ke mana-mana, dia nggak ada. Kayaknya lagi di luar.”

“Mana Teteh tahu! Teteh lho keluar sejak sore.”

“Kak Kevin juga. Sejak baru datang tadi sudah nggak ada. Siapa tahu Teteh papasan waktu jalan.”

Aku menggeleng cepat. “Nggak! Teteh belum ketemu Koko sama sekali sejak masuk villa.”

“Duh, ke mana ya dia?” Hanara menggaruk pelipis dengan wajah panik.

“Di kamarnya mungkin,” tukasku.

“Nggak ada,” sahut Raga. “Dia kan satu kamar sama aku.”

“Yang lain ke mana?” Aku memandangi Hanara dan Raga bergantian.

Pertanyaan tersebut sekaligus untuk memastikan kalau backstreet yang kulakukan bersama Kevin malam itu aman. Bahaya jika sampai salah satu di antara mereka ada yang keluar dan melihat kami jalan berdua. Aku tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, tapi mengkhawatirkan Kevin dan persahabatannya dengan Raga.

“Semua di dalam. Nggak ada yang keluar.” Raga yang menjawab pertanyaanku. Cowok itu betul-betul polos. Tak tampak sama sekali kecurigaan di wajahnya.

“Jadi Kak Kevin ke mana, ya?” Hanara bertambah panik.

“Au ah... gelap!” Bergegas kutinggalkan dua manusia bersaudara tersebut, masuk ke Villa.

Di ruang depan, aku mendapati Satria dan Ronald tengah duduk santai menonton televisi sembari menikmati kacang rebus. Aku menjatuhkan badan di antara mereka berdua, merebut kacang yang telah terkupas dalam genggaman Satria dan langsung menyantapnya.

Tingkahku menarik atensi Ronald. Dia menyodorkan piring berisi kacang yang masih utuh berkulit ke arahku.

“Nggak mau! Maunya yang sudah dikupas,” rajukku manja.

“Eh, kau belum makan, ‘kan?” tukas cowok itu.

Aku menggeleng samar. “Nggak laper.”

“Makan dulu sana!” semprot Satria tiba-tiba. “Kamu dari mana, sih? Raga nyariin sampai kayak cacing kepanasan, tahu nggak?”

“Kau jalan sama Sinyo, ya?” tebak Ronald seraya senyum-senyum usil, membuatku tergelagap panik.

“Mana ada!” semprotku galak. “Fitnah aja kamu nih!”

“Heeeeleh....” Melihat aku berang, si hidung pancoran semakin menggodaiku. Dia tertawa keras-keras hingga aku mencubit lengannya dengan gemas. “Tapi bener, ‘kaaaan?”

“Mulutmu itu, loh! Mulutmu!” hardik Satria berusaha membelaku. “Kalau sampai kedengaran Raga, bisa ribut tahu nggak?”

“Tauk, nih!” Dengan entengnya tanganku mengeplak lengan Ronald. “Heeeeuuuu! Suka betul bikin gara-gara!”

Aku rasa saat itu Satria mengetahui yang sebenarnya terjadi, tapi berusaha melindungiku demi kedamaian bersama. Paling tidak, cowok itu paham betul bagaimana perasaanku terhadap Kevin, dan bagaimana perasaan Raga terhadapku.  

Tak berapa lama kemudian, Raga menyusul masuk. Untung saja mulut Ronald sudah disumpal kacang oleh Satria. Plus ancaman, kalau tidak diam bakal dilempar ke belakang villa.

“Dek, ikut Mas Raga yuk!” Raga menarik lenganku, memaksaku berdiri.

“Dia belum makan, Pit,” sergah Ronald.

“Eh, iya!” Raga menatapku lurus, lalu berkata gegas, “ya sudah, ayo makan dulu!”

“Nggak, nggak!” kelitku tak kalah cepat. “Masih kenyang. Nanti saja.”

“Masih kenyang? Memangnya sudah makan?” tukas Ronald yang disambut toyoran secara spontan dari Satria. Maksud Satria, dia disuruh diam, tidak perlu ikut campur urusanku dengan Raga.

Satria memang top. Paling gercep jika berhubungan dengan masalah keamanan. Cowok berbadan kekar itu seakan tahu bahwa aku sudah makan bersama Kevin. Dan tanpa dikomando pun, dia paham bahwa perihal aku dan Kevin adalah sesuatu yang sensitif untuk dibahas di hadapan Raga. Lagi pula, cuma makan bersama, tidak lebih. Namun, jika sampai terdengar di telinga Raga, bisa menjadi sesuatu yang ledakannya luar biasa.

Kevin memang sempat membawaku makan sate kelinci di salah satu lesehan pinggir jalan. Katanya, itu tempat favorit setiap kali dia ke Sarangan. Satenya enak, menurut rekomendasinya. Dan aku pikir memang betul.

Untungnya, ucapan Ronald tidak diperpanjang oleh Raga. Dia justru bergegas membawaku berjalan keluar dari ruang utama. Tanpa bertanya atau menunggu persetujuan, main angkut saja.

“Ke mana sih, Mas?” Aku setengah berlari, mengimbangi langkah lebar cowok itu.

“Di belakang pemandangannya keren.”

Aku diam, tak bertanya lagi.

Raga tetap menggandeng tanganku, sekalipun kami sudah berjalan di teras samping, dan menyusuri koridor panjang yang menghubungkan bangunan depan dengan bangunan belakang.

Villa tersebut terletak pada dataran tinggi. Di belakang bangunan inti, terdapat teras yang menyerupai balkon selebar satu meter. Jika berdiri di sana, kita bisa menikmati pemandangan yang terhampar di bawah.

Bangunan rumah penduduk, penginapan, warung-warung, kios yang berjajar sepanjang jalan, bahkan Telaga Sarangan sendiri terlihat jelas. Pijar lampu yang berpendar laksana kerlip bintang. Subhanalah, indah sekali. Kita juga bisa merasakan embusan angin pegunungan menerpa kulit wajah.

Raga mengambil bangku kayu panjang dari teras samping. Kami berdua duduk di situ.

“Mas Raga tahu aja kalo di sini view-nya bagus?” Sepasang mataku menatap takjub jauh ke bawah sana.

“Kan Mas Raga sudah pernah ke sini.”

“O, ya? Kapan?”

“Dulu sekali waktu kelas satu. Kami berlima ke sini.”

“Ooo, berarti kita belum kenal, ya?”

“Kalau sudah kenal mah pasti Mas Raga ajakin atuh.”

“Ha ha ha, dan aku pasti nggak mau.”

“Kok gitu?”

“Nggak mau nolak,” kilahku disambut tawa kami berdua.

“Sudah kuduga,” olok Raga di sela tawa. “Rasanya nggak pengen pagi datang,” ucapnya kemudian dengan nada serius.

“Kenapa begitu?” Aku mengernyit keheranan.

“Maunya lebih lama berdua dengan Adek.”

“Masih kurang? Dua tahun, loh.”

“Sejak kenal Adek, Mas Raga tuh berubah jadi orang yang serakah.” Cowok itu tersenyum tipis. “Selalu merasa kurang dan kurang terus.”

Aku tak menjawab, hanya membalas senyum itu, lalu beranjak dan berdiri di tepi pagar besi. Kutumpukan kedua tangan pada besi tersebut. Tatapanku menerawang jauh ke bawah, ke dasar panorama indah yang terbentang di hadapanku.

“Nggak terasa ya, Mas Raga sudah lulus. Sebentar lagi jadi mahasiswa di kota orang. Dan kita akan semakin jauh dalam hal apapun,” ucapku lirih dengan intonasi sedih yang—demi Tuhan—tidak aku buat-buat.

Raga menyusulku, berdiri di tepi balkon. “Gimana kalau Adek pindah sekolah aja? Ke Surabaya.”

Aku terkekeh lirih. “Kurang kerjaan!”

“Supaya kita bisa dekat.”

“Jauh dekat itu hanya soal jarak, Mas. Yang terpenting adalah hati. Walaupun dekat, kalau hatinya jauh juga sama aja bohong.”

“Sekarang gini aja, deh. Mas Raga ada di hati Adek atau nggak?” sahut Raga cepat.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Gerakan yang dilakukan memang mirip orang hendak mencium. Padahal, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Aku pun paham, Raga hanya bermaksud menggodaku dengan pertanyaan barusan.

Namun, Kevin yang mendadak muncul dari teras samping, sepertinya berpikiran lain.

“Astaga! Maaf, maaf, aku nggak tahu kalian di sini,” ucapnya sambil tersenyum sinis, lalu buru-buru balik badan dan meninggalkan kami.

Entah kenapa, aku merasa wajib menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa sadar, kukejar cowok itu sembari meneriakkan namanya. Aku tidak menghiraukan keberadaan Raga. Tindakan yang aku ambil adalah sikap spontan karena tidak ingin ada yang salah paham.

“Koko! Dengerin dulu! Ini nggak seperti yang Koko lihat!” Aku terus melangkah mengikuti Kevin sambil mencoba menjelaskan, walau dia terkesan tak acuh. Penjelasan tersebut bukan lagi tentang perasaanku. Itu semua menyangkut nama baik. Yang jelas, aku tidak suka jika ada yang mengira aku dan Raga berbuat macam-macam.

Kevin terus berjalan seakan tak ada aku di belakangnya. Padahal, nyata-nyata aku nyerocos ngajak dia bicara. Namun, sepatah kata pun dia tak menanggapi. Jangankan menanggapi, cowok itu justru semakin cepat berjalan menjauh. Karena kesal, refleks kutarik ujung jaketnya dengan kasar.

“Dengerin aku dulu!” Aku berteriak emosi.

Sangat menjengkelkan saat kita ada, tapi dianggap tak ada. Itu yang membuat aku nekat bertindak bar-bar. Rasa kesalku sudah memuncak di ujung kepala. Ajaibnya, sikap tersebut berhasil menghentikan langkah kaki pemuda berperawakan junkies itu.

“Koko boleh nggak peduli sama aku tentang hal lain. Tapi ini menyangkut nama baik. Aku tidak suka disangka melakukan sesuatu yang padahal tidak aku lakukan.” Aku berkata lirih sembari menahan tangis.

Kevin masih berdiri membelakangiku. “Jadi kamu mau aku melakukan apa?” tanyanya kemudian, datar dan dingin. “Kamu mau aku tetap berdiri di sana, melihatmu bermesraan dengan Raga? Iya?”

“Siapa yang bermesraan?”

“Barusan?” Kevin berbalik menghadapku. “Aku melihatnya sendiri!”

Aku diam, tak bisa berkata apapun. Habis sudah pembelaan diriku. Sebenarnya tidak penting juga untuk membela diri. Dia bukan siapa-siapa. Namun, aku selalu takut kalau-kalau Kevin menyimpan prasangka buruk tentangku. Aku selalu ingin terlihat baik di matanya.

Raga menyusul beberapa saat kemudian. Melihat kedatangan pemuda itu, Kevin segera berbalik pergi.

“Adek nggak apa-apa?” Raga bertanya cemas.

Sepertinya dia heran, kenapa hanya karena kepergok Kevin saja sikapku udah kayak kuda lumping kesurupan Mak Lampir.

“Mau duduk di sana lagi, nggak?”

Aku mengangguk lesu.

Mungkin sikapku tampak seperti orang plin plan. Sebentar ke Raga, sebentar ke Kevin. Bukan aku tak punya pendirian. Tentang rasa suka, masih kusimpan untuk Kevin, meski tidak tahu perasaan itu tinggal berapa persen.

Namun, aku gamang. Ada Hanara yang ternyata juga menyukai dia. Di samping itu, aku sendiri tidak ingin menyakiti Raga. Aku juga tidak ingin berurusan dengan cewek lain. Apalagi cewek tersebut adalah saudara sepupu Raga. Lebih baik aku yang mengalah, memendam kekaguman itu sambil berharap waktu bisa menetralkannya.

Benar kata orang; cinta tak selamanya tentang bagaimana bisa memiliki. Cinta ada dalam hati, letaknya paling tersembunyi. Sebab cinta yang sesungguhnya adalah yang tetap bertahan meski dipendam dalam diam.

Seperti aku yang mencintai dia secara sembunyi-sembunyi. Hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. Selain manusia bernama Satria, tentu saja.

 

  🍁🍁

 

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!