Petualangan seorang putri dengan kekuatan membuat portal sinar ungu yang berakhir dengan tanggung jawab sebagai pengguna batu bintang bersama kawan-kawan barunya.
Nama dan Tempat adalah fiksi belaka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tenth_Soldier, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Di Kota Gaib Janasaran
Raja Gajayanare dan Resi Sundek, menuju ruangan khusus di mana di dalam ruangan tersebut tercium aroma dupa dan wewangian bunga yang di tempatkan di tepi ruangan yang berbentuk lingkaran. Kemudian mereka berdua menuju pusat ruangan tersebut.
Resi Sundek mengucapkan mantra yang cukup panjang setelah itu lantai ruangan itu menyala membentuk pola lingkaran dan muncul tanda benda benda langit lainnya.
Dan keduanyapun menghilang seketika dari ruangan itu. Ruangan itu adalah akses menuju kota gaib Janasaran.
Di setiap kerajaan utama di Nasutaran memang sudah disepakati untuk membuat akses menuju kota gaib Janasaran yang hanya bisa dilakukan oleh keturunan raja dan pengguna batu bintang saja.
" Mari baginda raja Gajayanare silahkan menuju ruang pertemuan," mereka disambut pegawai istana Janasaran dan langsung membimbing mereka ke ruang pertemuan para raja/ratu besar Nasutaran.
Pintu yang sangat besar berwarna merah dan tinggi terbuka, terlihat meja yang sangat besar berbentuk lingkaran di bagian belakang ada bangku-bangku yang juga melingkar dengan susunan dari bawah ke atas.
Tak disangka ternyata perwakilan dari Kerajaan Waja tiba paling pertama, Raja Gajayanare dan Resi Sundek pun duduk di tempat mereka.
Tak lama kemudian pintu besar dari sisi yang berbeda dengan warna biru juga terbuka, dengan anggun seorang ratu ditemani seorang kakek dan seorang pemuda juga muncul, mereka adalah Ratu Aduyugayi, Dato' Lamaraeng dan Labosi perwakilan dari Walesisu tiba.
Beberapa saat kemudian pintu berwarna hijau juga terbuka ternyata perwakilan dari Lamakintan yaitu Raja Dunggaku, Nenek Kaayat dan si kecil Qeva.
Hampir bersamaan pintu besar berwarna kuning juga terbuka terlihat Raja Hadranindra dan pengguna batu bintang yang masih agak muda bernama Piliang. Perwakilan dari Maresuta.
Tinggal satu pintu yang berwarna ungu perwakilan Pa'apu.
Mereka berempat harus menunggu beberapa lama.
" Apakah Raja Suebu sudah menerima pesan kita untuk datang ke sini? " tanya Gajayanare pada Sundek.
" Sudah baginda, bahkan mereka sudah mengirim pesan kembali, " jawab resi Sundek.
" Baiklah sambil menunggu aku ingin memperkenalkan pada kalian penerus shaman kerajaan Ikatu ini Qeva cucuku. Batu bintangku memilih anak ini sebagai pemilik berikutnya." Nenek Kaayat berdiri sambil memperkenalkan Qeva pada yang lainnya.
" Kaayat dia masih terlalu muda untuk menjadi seorang shaman apakah akan baik-baik saja nantinya." Raja Gajayanare berpendapat.
" Oh jangan khawatir baginda ingatannya sangat bagus semua resep, ramuan, jejampian, dan mantra mantra sudah aku percayakan padanya dan dia bisa mengingatnya dengan baik semuanya itu." Nenek Kaayat tersenyum manis dan memuji-muji cucunya itu.
" Kalau begitu aku juga akan memperkenalkan pada kalian penerus ku perkenalkan namanya Labosi," Dato Lamaraeng pun turut memperkenalkan pemuda itu. Labosi sungguh berharap kedatangan putri Tihu ditempat itu dia ingin tahu reaksinya.
" Lamaraeng kau tampak masih terlihat kuat dan sehat," Kaayat berkomentar sambil mengedipkan sebelah matanya bercanda dengan senyum manisnya.
" Aray, aray kau pun masih cantik seperti dulu, " Lamaraeng terkekeh.
Pintu besar berwarna ungu masih belum terbuka tapi tiba-tiba Gerbang Pintas Ungu lah yang seketika muncul, perwakilan dari Pa'apu sudah datang.
Raja Suebu dan kakek Kaisiepo disusul putri Tihu, Mawinei, Jaka, Bahri, dan Andiek.
Rombongan dari Pa'apu begitu gaduh karena anak-anak itu kegirangan berkesempatan mengunjungi kota Gaib Janasaran.
Membuat pegawai istana Janasaran sedikit menegur mereka.
" Harap tenang semuanya ini pertemuan para Raja dan Ratu besar," pegawai istana Janasaran yang bertelinga lancip itu dengan tegas memberi peringatan.
Rombongan yang tadinya penuh suara tawa itu kini terdiam meskipun Andiek masih terdengar tawa girangnya.
" Kakaaak!!" Qeva berseru memanggil kakaknya tapi cepat-cepat menutup mulutnya dia takut ditegur pegawai istana Janasaran yang menurutnya terlihat sangat galak.
Mawinei bergegas menuju tempat dimana Qeva duduk, tak lupa dia memberi hormat pada Raja Dunggaku terlebih dahulu.
"Hei kak Labosi kenapa juga ada di sini? " Andiek terheran-heran. Dia pun menghampiri Labosi yang duduk di belakang Ratu Aduyugayi dan Dato' Lamaraeng.
" Diakah yang kau maksud pengguna batu bintang generasi baru itu? " tanya Ratu Aduyugayi kepada Lamaraeng.
"Benar Ratu, dialah anak itu, Andiek kau lupa siapa yang duduk dengan kakek di sini? " jawab Lamaraeng sambil menegur Andiek.
Andiek baru tersadar dan buru-buru bersujud pada ratunya," Ampuni hamba, Ratu."
"Bangunlah nak kau membuat kami bangga di usia semuda itu kau sama seperti dia." Ratu Aduyugayi menunjuk ke arah Qeva yang sedang sibuk berbisik-bisik dengan kakaknya.
Jaka Satya begitu senang melihat gurunya berada di sana, diapun berjalan menuju tempat Raja dan gurunya duduk. " Hormat hamba baginda, " Jaka membungkuk memberi hormat lalu duduk dibelakang Resi Sundek.
" Wajahmu mengingatkanku pada punggawa Prawira apakah kau putranya?" tanya Gajayanare.
"Benar baginda hamba memang putra punggawa Prawira Satya Dirja," jawab Jaka Satya masih dalam posisi membungkuk.
" Dia adalah murid hamba paduka," Resi Sundek menimpali.
Sementara itu putri Tihu terkaget-kaget melihat pemuda idamannya Labosi duduk disebelah Andiek, jangan-jangan dia seperti Qeva dipilih oleh batu bintang Kakek Lamaraeng, pikir putri Tihu.
Hatinya menjadi ceria ingin rasanya dia mengajak Labosi bertualang bersama, namun masalah di Pa'apu sudah terselesaikan.
Raja Suebu menjelaskan keterlambatan mereka pada pemimpin kerajaan yang lain mulai soal perburuan reptil ganas hingga bukit emas yang telah dibagi dua oleh Bahri Masiak atas permintaan putrinya.
Mereka bahkan mengadakan pesta bersama merayakan keberhasilan perburuan mereka.
Serta pesta atas adilnya kepemilikan bukit emas di wilayah mereka masing-masing.
Bahri Masiak yang menuju Raja Hadranindra, memberi hormat pada Rajanya.
"Salam hormat baginda, " katanya
Sang Raja hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
Bahri tidak mengenali pengguna bintang yang bersama rajanya itu, setahu dia dulu bukan dia. Namun dia tak berpikir jauh.
Lain halnya dengan Resi Sundek dia merasa aneh dengan pengguna batu bintang yang bersama Raja Hadranindra itu, Resi Sundek pun melakukan pembicaraan secara telepati kepada Kaayat agar tak didengar siapapun.
" Kaayat kau mengenal orang yang bersama Raja Hadranindra itu? "
" Tidak Sundek, sepertinya dia orang baru, tapi kalau bocah dibelakangnya itu aku tahu itu pasti keluarga Mangkuto Masiak," jawab nenek Kaayat.
"Tok.. Tok.. Tok..! " Terdengar suara palu diketok di atas meja yang dipegang Raja Dunggaku.
" Baiklah Hadirin yang terhormat,
Selamat siang.
Pada acara yang berbahagia ini, izinkan saya memberikan kata sambutan.
Kami sangat senang dan terhormat dapat menyambut saudara-saudari semua di acara resmi ini.
Acara pada hari ini merupakan momen yang penting bagi kami, di mana kita dapat berkumpul dan berbagi pemikiran, ide, serta pengalaman yang berharga.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta dalam menyelenggarakan acara ini.
Tanpa kerja sama dan dukungan dari saudara-saudari semua, acara ini tidak akan dapat berjalan dengan lancar.
Mari kita manfaatkan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Mari kita berdiskusi, berinteraksi, dan memperluas jaringan hubungan kita di acara ini.
Sekali lagi, kami ucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran saudara-saudari semua di acara ini. Selamat mengikuti rangkaian acara yang telah disiapkan.
Terima kasih."
Raja Dunggaku membuka pertemuan itu dengan kata sambutannya.
Ayo Thor ini request aku pengen novel ini jangan di tamatin dulu