NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 The Fallen

Aku menghela nafas perlahan, menikmati setiap detik yang berlalu di dalam kamar sempit ini bersama Amy yang tak jauh dariku. Kami tidak melakukan apa-apa selain hanya mengobrol, namun momen ini cukup membuat hatiku menghangat dengan nyaman. Aku tidak ingin waktu berlalu dengan cepat.

Amy tidak melihatku, tapi aku tidak melepaskan pandanganku darinya. “Ceritanya tidak jauh berbeda dengan yang tertulis di Alkitab.” Kataku. “Kami memberontak, lalu kami di kutuk.”

“Kenapa kamu memberontak? Apa tujuanmu saat itu?”

“Lucifer adalah makhluk terindah," Ucapku mengawali ceritaku. "Tercantik, sangat rupawan dan tidak ada yang bisa menandinginya. Kami tahu itu dan dia pun juga tahu kami semua mengaguminya. Jadi dia menggunakan keindahannya untuk membujuk kami dan dia berhasil.” Jelasku.

Memori itu masih melekat jelas di kepalaku seolah itu baru terjadi kemarin bukannya berabad-abad lalu. Bahkan aku masih bisa merasakan dengung rendah di dadaku saat bujukan lucifer membuatku merasakan sesuatu yang baru. “Aku masih ingat kebimbangan yang saat itu aku rasakan. Bahkan rasa bimbang itu pun cukup membuatku bingung.”

Amy memiringkan tubuhnya, menghadapku sekali lagi. “Maksudnya?”

“Aku hanya malaikat biasa, bukan malaikat ordo tinggi seperti lucifer. Kami tidak memiliki perasaan-perasaan tertentu. Kami diciptakan hanya untuk menuruti kehendak-Nya tanpa banyak pertanyaan. Kami seperti mesin. Kami bekerja kalau kami disuruh bekerja, kami berhenti kalau kami disuruh berhenti.

“Saat lucifer membujuk kami, itulah pertama kalinya aku merasakan kebimbangan karena apa yang dikatakannya berbanding terbalik dengan apa yang selama ini aku lakukan. Dan saat aku mengijinkan kebimbangan masuk ke dalam hatiku, perasaan-perasaan lain mulai berdatangan. Perasaan itu asing, aneh, seperti takut, bersemangat, gugup, bermacam-macam. Kedengarannya gila, tapi aku mulai ketagihan dengan perasaan-perasaan seperti itu. Aku tidak pernah merasakan hal-hal itu sebelumnya.

“Setelah itu aku mulai mengajak teman-temanku untuk ikut dengan lucifer." Aku menghela nafas berat. "Aku tidak hanya berdosa pada-Nya, tapi juga teman-temanku. Seharusnya aku tidak mengajak mereka.”

Dosa mereka adalah bebanku. Mereka berada di sini karena aku. Seharusnya mereka masih berada di atas sana walau mengerjakan hal yang membosankan tapi mereka pasti masih akan merasakan kasih-Nya. Karena itulah aku paham mereka tidak mempercayai apa yang legion katakan. Begitu juga aku. Aku benar-benar berharap kalau legion berbohong, seperti kebiasaannya.

“Setelah itu kamu kehilangan kekuatanmu?” Tanya Amy dan aku mengangguk. “Seperti apa kekuatanmu dulu?”

Sebuah senyum terulas di bibirku. Mengingat itu seperti mengingat sesuatu yang sangat berharga. “Luar biasa.” Aku terdiam sejenak mencari kata yang tepat. “Hidup.” Aku meletakkan tanganku di dadaku. “Rasanya ada sebuah api yang membakar tapi tidak menghanguskan, yang memberiku kekuatan tanpa batas. Aku bisa terbang berhari-hari tanpa merasa lelah. Berperang tanpa pernah merasakan kekalahan.” Aku mengangkat tanganku, merenggangkan jemariku. “Aku bisa merasakan kekuatan berdenyut sangat kuat bahkan di ujung jariku. Aku tahu aku bisa menaklukan apapun dengan kekuatan yang diberikan-Nya. Memang aku tidak memiliki perasaan apa-apa, tapi memiliki kasih-Nya sudah lebih dari cukup bagiku.”

Amy menyunggingkan senyum kecil. “Pasti sangat luar biasa.” Ucapnya perlahan seolah dia pun sedang membayangkannya. “Apa nanti aku akan merasakannya juga?”

Sebuah gumpalan rasanya mencekat tenggorokanku. “Kalau benihmu utuh.” Ucapku singkat. Aku tidak yakin bisa bicara banyak karena memikirkan hal itu membuatku gusar. Aku bangkit berdiri. “Kamu istirahat dulu, tidak perlu tutup pintunya. Aku ada di luar.”

“Raziel.”

Jantungku seolah melompat mendengar namaku disebut Amy. Suaranya lembut, ringan. Sejenak aku meresapi namaku yang terucap dari bibirnya bergulir lembut di telingaku. Apa ini pertama kalinya Amy menyebut namaku?

“Hm?”

Amy mendorong tubuhnya dan duduk di atas kasur, kedua kakinya bergerak-gerak pelan di atas lantai. “Kalau aku nggak berhasil-”

“Jangan katakan itu.” Potongku. Rasa panas mulai membakar dadaku. “Aku akan melindungimu. Kamu tidak akan gagal.” Ucapku getir. Itu memang yang aku inginkan. Amy akan menggenapi panggilannya sebagai malaikat pelindung walau itu artinya… “Kamu akan baik-baik saja. Kamu harus percaya denganku.” Ucapku tegas. “Dan Xaverius tentu saja.” Imbuhku.

Aku tidak suka cara Xaverius menatap Amy, namun aku yakin Xaverius akan berbuat yang sama denganku. Dia pasti akan melindungi Amy, memastikan benihnya akan tetap utuh.

Amy menarik nafas panjang dan dia mengangguk. “Terima kasih.” ucapnya walau ekspresinya masih terlihat ragu.

Aku mengangguk. “Panggil aku, kalau kamu butuh sesuatu.”

Aku menyugar rambutku dengan kesal setelah keluar dari kamar Amy. Aku lebih suka berada disana di dekatnya, namun aku benar-benar ingin menghindari pembahasan itu. Aku tahu Amy pasti bertanya-tanya untuk apa semua keributan ini.

Aku tahu kalau benih pun bisa padam, dan mereka akan menjadi seperti manusia biasa. Parahnya lagi kalau mereka tahu kalau mereka memiliki benih, tapi mereka tetap membiarkan benih itu terkorupsi, mereka pasti akan berakhir mengenaskan di bawah sana. Para iblis akan dengan senang hati menyiksa mereka habis-habisan karena mereka menyia-nyiakan benih yang di di berikan-Nya secara cuma-cuma.

Aku hanya tidak ingin Amy menjadi salah satunya, apalagi Amy sendiri sudah tahu dirinya memiliki sebuah benih. Benih bisa dibilang adalah suatu jaminan kalau suatu saat nanti mereka akan berada ditempat yang jauh lebih baik. Tempat yang aku sangat tahu pasti jauh lebih baik dan lebih indah. Tempat dimana kedamaian tidak ada batasnya.

Lain halnya kalau benih itu diambil oleh yang terjatuh. Amy akan- Argh! Aku benar-benar tidak suka memikirkannya. Tapi apapun itu, aku tetap akan melindungi Amy.

“Bisa kurangi sedikit kegelapanmu?” Celetuk seseorang. “Jadi agak tidak nyaman disini.”

“Aku beri saran ya,” Kata Astar pada Xaverius. “Lebih baik tinggalkan dia kalau dia seperti ini.”

Sejak tadi Astar menjadi primadona para Pastor karena dia senang berceloteh dan bergurau. Sekarang mereka berkumpul di ruang tamu yang jauh lebih besar daripada ruang makan, melanjutkan mendengar cerita dari Astar. Astar banyak bercerita pengalaman-pengalaman kami selama berabad-abad pada mereka, membuat para Pastor itu semakin tertarik.

“Kita harus melakukan sesuatu.” Kataku pada Xaverius.

“Apa tepatnya?” Jawabnya. “Hal seperti ini yang pertama bagiku. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentang ini.”

“Setan itu pasti berbohong kan?” Tanyaku impulsif. Aku benar-benar tidak suka kalau aku tidak tahu apa-apa.

Tadi aku sudah menceritakan kedatangan legion pada Xaverius dan dia tampak pun tertarik walau juga tidak menyukai hal itu.

“Mereka penuh tipu muslihat.” Ucap Xaverius singkat.

“Kalau kamu tidak suka, lebih baik kita pergi saja.” Ucap Astar mengiringi kata-kata Xaverius. Kata-katanya cukup membuatku dan Xaverius menoleh padanya. “Maksudku, ucapan legion tidak akan berarti apa-apa kalau kamu tidak terus bersamanya.” Astar mengedikkan dagunya ke arah kamar tidur Amy. “Kamu tidak akan meninggalkan kami.”

Astar benar, tapi… “Aku tidak akan meninggalkannya.”

Astar mengerutkan dahinya, dia tampak kecewa denganku. “Tidakkah kamu lihat?” Sekarang dia berbicara menggunakan bahasa malaikat. Bahasa yang tidak akan dimengerti oleh siapapun kecuali para malaikat dan Tuhan sendiri. “Kita tercerai berai karena gadis itu! Kaliyah terlalu takut, Deyna dan Kruz marah. Kita tidak tahu kemana mereka pergi!” Astar menarik nafas panjang, kedua bahunya tampak turun. “Kalau kamu juga pergi, aku harus kemana, Raz?”

“Aku tidak akan pergi.” Ucapku entah untuk keberapa kalinya namun tampaknya Astar masih tidak mempercayaiku. Aku tidak menyalahkannya, karena lama kelamaan rasanya aku pun juga tidak mempercayai ucapanku sendiri.

“Kalau begitu katakan sendiri pada-Nya.” Ucapnya menunjuk ke atas. “Katakan pada-Nya kalau kamu tidak akan mencintai gadis itu!”

Aku mengetatkan rahangku kuat-kuat. Tidak semudah itu bicara pada-Nya. Manusia yang lemah pun memiliki kelebihan, mereka bisa bicara pada-Nya melalui doa. Sedangkan kami yang terjatuh sudah tidak memiliki kemewahan itu lagi.

Aku berbalik lalu mengambil langkah panjang, menjauhi Astar. Aku tidak tahu akan pergi kemana, tapi yang jelas aku tidak ingin berlama-lama di bawah tatapan menuduh Astar. Bilang saja aku pengecut dan aku akan mengiakannya tanpa ragu.

“Kamu sudah mencintainya kan?”

Ucapan Astar membuat langkahku terhenti. Dari setiap kata yang dia ucapkan penuh dengan tuduhan tajam.

Aku berbalik padanya. “Aku tidak tahu apa itu cinta.” Itu benar. Aku tidak pernah mencintai seseorang atau sesuatu sebelumnya, karena memang tidak pernah ada perasaan itu di dalam diri malaikat.

“Omong kosong!” Teriaknya. “Kamu sudah mencintainya! Dan demi Tuhan! Kamu akan kembali bersama-Nya! Dan setelah dunia ini berakhir kamu akan memerangi kami! Temanmu! Dan aku akan kalah, meminta belas kasihanmu lalu membusuk di neraka! Sedangkan kamu akan menikmati segala yang indah di Surga bersama-Nya dan gadis malaikat itu!”

Tiap kata yang diucapkan Astar menghujam dadaku. Meremukkan setiap sel yang ada di dalam diriku. Segala ketakutan, kengerian, kesedihan merambati tubuhku seperti laba-laba yang menghujamkan kaki-kaki jarumnya di kulitku lalu menancapkan taring-taringnya, menyuntikkan bisanya kedalam tubuhku, mengalir panas di seluruh nadiku.

Setiap tarikan nafasku terasa berat. Aku memejamkan kedua mataku, berusaha menyingkirkan hal-hal yang tidak menyenangkan di benakku. “Maafkan aku, Star.” Ucapku seraya membuka kedua mataku kembali, menatap temanku yang berbalik menatapku seolah aku adalah pengkhianat, namun dia menghela nafas berat.

“Karena aku tidak punya tempat lain, aku akan tetap disini bersamamu.” Ucap Astar tidak lagi meninggikan suaranya seraya beranjak kembali duduk di sofa, di seberang Pastor Xaverius yang masih menatap kami.

“Terima kasih.” Ucapku tulus. Namun Astar memalingkan wajahnya dariku seolah dia tidak mau mendengar kata-kataku.

Aku tidak menyalahkannya karena dia marah denganku, begitu juga teman-temanku yang lain. Mereka bisa meninggalkanku kalau memang mereka mau dan aku tidak akan marah pada mereka karena kemarahanku hanya untuk diriku sendiri dan pada hal-hal yang tidak jelas. Namun yang jelas, kata-kata Astar tetap bergulir di kepalaku.

Benarkah aku sudah mencintai Amy?

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!