Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
Paginya, aku terbangun dengan kondisi badan yang terasa kaku dan pegal, ada nyeri yang ku rasakan juga di salah satu bagian tubuhku. Aku menoleh ke samping kanan dimana pak Arsya merebahkan diri tadi malam.
Tempat itu kosong, lalu ku tolehkan kepala ke arah kamar mandi.
Rupanya pria itu sudah bangun dan kemungkinan sedang mandi.
Sedikit membuka selimut, ternyata aku tak mengenakan pakaian sama sekali. Persekian detik aku kembali menarik selimutku untuk menutupi tubuhku hingga dada.
Ku edarkan pandangan mencari tahu di mana posisi pakaianku tergeletak.
"Ah, itu dia" Gumamku saat mendapati piyamaku ada di lantai.
Pelan aku bergerak bangkit, lalu memungutnya satu persatu.
Tepat ketika aku meraih pakaian dalamku, tiba-tiba pak Arsya keluar dari kamar mandi dengan handuk setengah pinggang, sementara salah satu tangannya mengeringkan rambut meggunakan handuk kecil.
Detik itu juga aku kembali naik ke atas ranjang kemudian menutupi tubuhku dengan selimut.
"Kenapa? Kaget?" Tanyanya heran, sambil terus mengusap handuk di rambutnya.
"E-enggak" Jawabku terbata.
Ekor mataku terus mengikuti kemana pak Arsya melangkah.
Dari balik selimut, aku berusaha memakai pakaianku meski sedikit kesusahan.
"Kamu nggak apa-apa?" Pak Arsya menatapku penuh menyelidik.
"Nggak apa-apa"
"Kok gerak-gerak? Lagi ngapain kamu?"
"Nggak ngapa-ngapain" Sahutku gugup, seraya menggelengkan kepala.
Pak Arsya mengangkat salah satu alisnya sebelum kemudian menjatuhkan pandangan ke lantai.
Setelahnya, dia kembali menatapku dengan tatapan menggoda.
"Kamu lagi pakai baju?"
Aku menggigit bibirku bagian bawah, merasakan salah satu bagian tubuhku yang masih sedikit sakit.
"Nggak kesulitan, pakai baju sambil selimutan?"
Aku menggeleng malu.
"Malu? Aku sudah lihat semuanya, ngapain malu" Pungkasnya, dengan senyum yang sulit ku artikan dan sekaligus membuatku kikuk.
Pak Arsya melangkah mendekat.
"M-mau apa?" Tanyaku ketika dia duduk di tepi ranjang.
"Kenapa masih malu? Aku ini suamimu, nggak perlu malu gitu. Sekarang buka selimutmu"
Aku menggeleng, tanganku mempertahankan selimut di dadaku.
Pria di depanku diam sambil menatapku penuh lekat.
Kesempatan ini aku manfaatkan untuk memakai bajuku meski aku juga salah tingkah karena sikapnya.
"Sudah?" Katanya.
"Sudah" Jawabku malu-malu. "A-aku mau ke dapur dulu"
Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung beranjak dari tempat tidur, tak peduli dengan pria yang mendadak tak lagi jaim di depanku.
****s
Pagiku berjalan sebagaimana mestinya, yang membedakan adalah pagi ini aku di temani nenek memasak. Wanita itu terus menanyaiku apa saja termasuk pekerjaanku.
Dia juga mengatakan kalau dirinya belum bisa percaya bahwa aku ini Afifah. Nenek juga terus memberitahuku kalau bu Prilly sebenarnya orang baik, akan tetapi aku belum sepenuhnya percaya.
"Kamu ada keluarga lain? Maksud nenek, paman, bibi atau adik?"
"Nggak ada nek"
"Benar-benar tidak ada?" nenek memastikan.
Aku menggeleng pelan.
"Ayah anak tunggal, sedangkan ibu dia di buang keluarganya kerena dia seorang_"
Ku jeda kalimatku untuk sejenak memasukkan udara ke paru-paruku.
"Seorang apa?" Nenek mengernyit menatapku.
"Ibu seorang wanita penghibur"
Nenek diam, mungkin diamnya itu karena shock.
"Lalu bagaimana ibumu bertemu ayahmu"
"Di tempat hiburan itu, nek" Sebenarnya aku tak nyaman bercerita tentang ini, tapi biar bagaimanapun aku memang harus jujur.
"Tapi setelah ibu dan ayah menikah, ibu di rumah saja" Imbuhku sedikit canggung.
"Selamat pagi, nek"
Syukurlah, obrolan kami di interupsi oleh suara pak Arsya yang tahu-tahu sudah berada di ruang makan.
"Pagi" Nenek tersenyum, menindai wajah pak Arsya yang juga sedang tersenyum. "Sarapan dulu sini. Istrimu yang masak"
"Iya, nek"
Pagi ini ku lihat pria itu begitu ceria, begitu sumringah, sampai aktifitas sarapan selesai pun wajah cemerlang itu tetap bertahan di sana.
"Aku pergi dulu" Pamitnya, aku yang mengantar sampai depan rumah, menyerahkan tas kerja ke tangannya.
"Hati-hati" Pesanku, tanpa menatapnya. Aku masih malu karena bayangan percintaan kami semalam terus terlintas di otakku. Apalagi saat membayangkan pria itu begitu intens menjamah seluruh bagian tubuhku.
Ah.. Rasanya aku ingin menghilang dari hadapannya.
"Jangan lupa habis ini langsung ganti sprei, ya. Kotor soalnya"
Aku mematung tanpa mengiyakan.
Pak Arsya pergi setelah mengusap pipi kiriku.
Karena mungkin masih sama-sama canggung dan belum terbiasa, sesi berpamitan serasa anyep.
Sesaat setelah mobil itu pergi, suara klakson mobil membuatku urung memasuki rumah.
Aku kembali berbalik kemudian melangkah untuk membuka gerbang.
Sebuah mobil berwarna merah langsung masuk setelah gerbang terbuka lebar.
Mobil itu milik Silvia, dan aku nggak tahu kenapa sepagi ini dia datang kemari. Padahal dia tahu kalau di jam seperti ini pak Arsya pasti berangkat ke kantor.
"Maaf, pak Arsya baru saja pergi" Kataku saat wanita dengan pakaian minim itu turun dari mobilnya.
Dia tersenyum ramah, lalu berkata. "Aku nggak cari Arsya. Aku di suruh tante Prilly buat temani nenek di sini"
"Kenapa repot-repot, nona. Saya disini bersamanya"
"Kerjaan kamu disini apa? Pembantu, kan? Jadi kerjakan saja apa yang sudah menjadi profesimu. Cuci baju, ngepel dan Cuci toilet" Dia menatapku sinis. "Di bagasi ada barang, tolong kamu ambil, masukan ke kulkas yang perlu di masukkan, simpan baik-baik yang lainnya. Setelah itu tolong buatkan saya lemontea hangat"
Aku mengiyakan, tapi dengan malas.
Beberapa menit berlalu, tepatnya setelah aku memilah barang bawaanya dan membuat lemontea untuknya, kupikir dia menemui nenek di kamarnya, namun nenek malah keluar tanpa Silvia bersamanya.
Lantas di mana wanita itu?
Otakku berfikir keras, kemudian reflek mengangkat kepala untuk melihat ke lantai dua.
Bersambung.
semoga end nya nanti sudah baikan semua 😊