Siang ini udara panas berembus terasa membakar di ruas jalan depan gerbang Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Matahari meninggi mendekati kulminasi. Suara gaduh di sekeliling menderu. Pekikan bersahut-sahutan, riuh gemuruh. Derap langkah, dentuman marching band dan melodi-melodi bersahutan diiringi nyanyian-nyanyian semarak berpadu dengan suara mesin-mesin kendaraan.
Rudi salah satu laki-laki yang sudah tercatat sebagai mahasiswa Unsil selama hampir 7 tahun hadir tak jauh dari parade wisuda. Ia mengusap peluh dalam sebuah mobil. Cucuran keringat membasahi wajah pria berkaca mata berambut gondrong terikat ke belakang itu. Sudah setengah jam ia di tengah hiruk pikuk. Namun tidak seperti mahasiswa lain. Pria umur 28 tahun itu bukan salah satu wisudawan, tetapi di sana ia hanya seorang sopir angkot yang terjebak beberapa meter di belakang parade.
Rudi adalah sopir angkot. Mahasiswa yang bekerja sebagai sopir angkot....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Malam Penuh Keraguan
Aroma obat menyeruak dan seberkas cahaya mulai tampak. Rudi memicingkan mata. Samar-samar dilihatnya wajah seseorang. Perempuan berkerudung. Intan, ya Intan. Gadis itu tampak sedih dengan mata sembab.
“Dek!” panggil Rudi.
“Abang sudah sadar?”
“Ini di mana?”
“Di kosan Abang…”
Rudi belum sadar sepenuhnya. Ia mau bangkit tapi tak bisa. Rudi mengaduh. Badannya terasa sakit.
“Abang jangan gerak duluuu…”
Intan menitikkan air mata lagi sambil mengoleskan obat ke luka-luka di wajah dan kepala Rudi.
“Gerobaknya!” kata Rudi.
“Ada di luar Kang...” sahut seseorang. “Meja, kursi, spanduk dan terpal juga sudah kami rapikan dan disimpan dalam gerobak.”
Rudi mengedarkan pandang. Dilihatnya beberapa orang di dalam kamar. Resti, Evita, Aditia, Galih, Pak Irsyad, Jay dan Jono. Rudi ingat apa yang terjadi dengan dirinya.
“Kalian yang membawaku ke sini?”
“Iya Kang!” jawab Aditia dan Galih.
“Terimakasih ya, sudah nolong Abang!” ucap Intan sambil melirik ke arah Aditia dan Galih. Intan kembali menatap Rudi seraya berkata:
“Resti dan Evita juga sudah bawain obat untuk Abang. Pa Irsyad, Jono dan Jaelani juga nolongiiin, tadi bantu bawa pulang gerobak.”
“Terimakasih semua!” ucap Rudi sambil menjatuhkan kepala ke atas bantal. Mata Rudi terkatup sejenak seraya menghela nafas.
Resti dan Evita tak kuasa menahan air mata.
“Kang, Akang kenapa sebenarnya?” tanya Aditia. “Tadi saya menemukan Abang sudah terkapar.” lanjutnya.
“Aku ada yang nyerang Dit, dua orang!” jawab Rudi.
“Ada yang nyerang?!!”
Semua terkejut.
“Rampok?”
“Sepertinya…”
“Kejam banget sih!”
“Kalau ketemu biar kusikat mereka!” ujar Jay emosi.
“Hhhh… sudah gatal rasanya tangan ini!” timpal Jono.
“Kamu ingat ciri-cirinya Rud? Biar kami lapor polisi!” tanya Pak Irsyad.
Rudi coba mengingat-ingat.
“Pria tinggi besar, pake jaket hitam, yang satu lagi… tinggi kurus pake hoody…”
“Ada lagi?”
Rudi tidak bisa mengingat dengan baik.
“Wajahnya?”
“Tidak kelihatan… pake masker…”
“Sial...!!!”
Hening. Rudi melihat jam dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Sesaat kemudian ia menatap langit-langit.
“Hhhhh…mana besok mau berangkaaat!” keluh Rudi.
Teman-teman sekelas Rudi satu pun tidak ada yang berkomentar. Bingung. Mereka tahu siapa Edgar. Edgar adalah dosen yang nyaris tidak punya toleransi. Bahkan tak memiliki toleransi sama sekali.
Seperti beberapa kali diwanti-wantikan Rudi, jauh-jauh hari semua mahasiswa sudah saling mengingatkan supaya jaga diri baik-baik, jaga keselamatan, jaga kesehatan, jaga kebugaran sebelum berangkat kuliah lapangan. Tapi peristiwa yang menimpa Rudi ini benar-benar di luar dugaan.
“Ta, Ti, besok aku nggak ikut aja ya, mau rawat Abang...” ucap Intan sambil melirik ke arah Evita dan Resti.
“Tapi Tan….” kata Evita.
Resti dan Evita saling pandang. Mereka bingung mau jawab apa. Mereka menyandar tembok tanpa daya.
“Jangan Dek! Nanti kamu tidak lulus, kamu berangkat saja!” kata Rudi cemas.
“Tapi Abang gimanaaa?” sahut Intan, terisak.
“Kamu berangkat saja, biar Abang di sini memulihkan badan. Mungkin… eee… kalau ada kesempatan, nanti juga… bisa ngulang lagi!”
Sebenarnya Rudi tidak yakin.
“Iya Neng… nanti Rudi kami yang jaga!” sahut Pak Irsyad. “Jangan khawatir!”
Intan tak bicara. Ia melanjutkan pekerjaannya membersihkan lengan Rudi yang kotor oleh noda tanah sambil menyeka air mata.
“Abang yang sabar yaaa…!! Nanti kita lulus sama-sama, wisuda sama-sama…” kata Intan.
“Aamiin!” sahut Rudi.
Aditia dan Galih saling pandang. Begitu pula Resti dan Evita. Mereka semua tampak ragu. Apa mungkin harapan Intan akan terjadi? Tak ada yang yakin. Mereka semua hanya bisa menghembuskan nafas.