"Rangga, gue suka sama lo!"
Mencintai dalam diam tak selamanya efektif, terkadang kita harus sedikit memberi ruang bagi cinta itu untuk bersemi menjadi satu.
•
Rangga Dinata, sosok pemuda tampan idola sekolah & merupakan kapten tim basket di sekolahnya, berhasil memikat hati sosok wanita cantik yang pintar dan manis—Fira. Ya itulah namanya, Fira si imut yang selama ini memendam perasaannya kepada kapten basket tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Harapan yang tumbuh
Fira masih belum bisa percaya bahwa Rangga, kapten tim basket sekolah yang selama ini hanya ia kagumi dari jauh, kini mulai menyapanya dan berbicara dengannya. Perasaannya bercampur aduk setiap kali mengingat percakapan-percakapan singkat mereka. Ada rasa bahagia yang menari di hatinya, tapi juga kekhawatiran yang menumpuk. Bagaimana jika semua ini hanya kebetulan? Bagaimana jika Rangga hanya bersikap baik tanpa ada maksud lebih?
Namun, setiap sore setelah latihan basket, Fira terus datang. Kini, dia tak lagi duduk dengan perasaan was-was atau terlalu berusaha untuk bersembunyi. Meski perasaannya terhadap Rangga masih menjadi rahasia yang ia jaga erat, ada sesuatu yang berubah dalam cara ia melihat dunia di sekelilingnya. Harapan yang tumbuh di hatinya semakin sulit untuk diabaikan.
Hari demi hari berlalu, dan interaksi kecil antara Fira dan Rangga semakin sering terjadi. Rangga kini sudah terbiasa menyapa Fira saat latihan berakhir, kadang hanya sekadar menanyakan kabar, kadang membicarakan hal-hal ringan seperti kelas atau cuaca. Awalnya, Fira tak yakin bagaimana harus bersikap. Tetapi lambat laun, dia mulai merasa lebih nyaman berbicara dengan Rangga, meski hatinya tetap berdebar tiap kali Rangga mendekatinya.
Sore itu, setelah latihan selesai, Rangga kembali menghampiri Fira yang tengah sibuk memasukkan buku ke dalam tasnya. “Fira, minggu depan lo nonton pertandingan lawan SMA Harapan, kan?” tanya Rangga sambil tersenyum.
Fira terdiam sejenak. Pertandingan yang dimaksud Rangga adalah pertandingan besar melawan salah satu sekolah terkuat di kota. SMA Harapan terkenal dengan tim basket yang tangguh dan tak mudah dikalahkan. Fira tahu betapa pentingnya pertandingan ini bagi Rangga dan timnya.
“Eh, gue... mungkin iya, sih,” jawab Fira dengan sedikit ragu. Sebenarnya, ia tak pernah menghadiri pertandingan resmi tim basket. Dia lebih nyaman menonton latihan daripada pertandingan yang ramai dan penuh sorak-sorai penonton.
Rangga mengangguk. “Bagus. Gue seneng kalau lo datang. Kita butuh semua dukungan yang bisa kita dapet, apalagi ini lawan berat.”
Fira tersenyum tipis, merasa sedikit tersanjung bahwa Rangga berharap dia datang. Meski keraguan masih ada, Fira tahu bahwa dia tak akan bisa menolak permintaan Rangga. Dia ingin ada di sana, menyaksikan dan mendukung dari tribun, seperti yang selalu dia lakukan selama ini—meski diam-diam.
Ketika hari pertandingan tiba, suasana sekolah berubah drastis. Semua orang berbicara tentang pertandingan melawan SMA Harapan, bahkan di kantin dan lorong-lorong sekolah. Bendera sekolah berkibar di mana-mana, dan poster-poster yang mendukung tim basket menghiasi dinding-dinding. Di antara kerumunan siswa yang bersorak-sorai, Fira merasa kecil. Dia tak terbiasa dengan keramaian seperti ini, apalagi menjadi bagian dari euforia yang begitu besar.
Meskipun merasa canggung, Fira tetap memutuskan untuk datang. Ia berjalan pelan menuju tribun, berusaha menemukan tempat yang tidak terlalu ramai. Namun kali ini berbeda—tak ada tempat sepi seperti biasanya. Semua bangku penuh dengan siswa yang mengenakan seragam kebanggaan sekolah, lengkap dengan teriakan-teriakan semangat yang memenuhi udara.
Dengan sedikit kesulitan, Fira berhasil menemukan tempat duduk di salah satu sudut tribun. Dari sana, dia bisa melihat lapangan dengan cukup jelas. Saat tim basket sekolah mereka masuk ke lapangan, gemuruh sorak-sorai terdengar. Rangga berada di barisan depan, mengenakan seragam biru dengan nomor punggungnya yang khas, angka 7. Fira hanya bisa menatap dari jauh, berusaha meredakan kegugupannya.
Pertandingan berlangsung sengit sejak awal. SMA Harapan bermain dengan agresif, menyerang tanpa henti dan membuat tim sekolah Fira terus berada di posisi bertahan. Fira, yang awalnya merasa gugup dengan keramaian, kini terhanyut dalam permainan. Setiap kali Rangga membawa bola, hatinya ikut berdebar. Namun, SMA Harapan tak memberi mereka banyak ruang untuk bergerak.
Waktu terus berjalan, dan babak pertama hampir selesai. Skor sementara menunjukkan bahwa tim Rangga tertinggal beberapa poin. Suasana di tribun mulai tegang, dan Fira merasakan tekanan yang sama. Namun, dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari lapangan, terutama dari Rangga. Wajah Rangga penuh konsentrasi, namun ada garis kelelahan yang terlihat jelas di sana. Meski begitu, dia tetap memimpin timnya dengan semangat yang tak pernah padam.
Saat jeda pertandingan, para pemain kembali ke bangku untuk mendengarkan arahan pelatih. Fira menyeka telapak tangannya yang dingin, merasa cemas. Pertandingan ini tak hanya penting bagi sekolah, tapi juga bagi Rangga. Ini adalah kesempatan besar untuk menunjukkan kemampuannya sebagai kapten tim. Dan Fira, meski tak bisa berbuat banyak, hanya bisa berharap dari jauh.
Ketika babak kedua dimulai, tempo permainan semakin cepat. Rangga dan timnya bermain lebih agresif, mencoba membalikkan keadaan. Ada beberapa kali Rangga hampir mencetak poin penting, tetapi lawan mereka terlalu kuat. Setiap kali usaha Rangga gagal, Fira merasakan kekecewaan yang mendalam, seolah itu adalah kegagalannya juga. Namun, di sisi lain, setiap kali Rangga berhasil mencetak poin, seluruh tubuh Fira terasa ringan, seolah dia terbang bersama kemenangan kecil itu.
Waktu pertandingan semakin menipis, dan tim Rangga masih tertinggal beberapa poin. Semua orang di tribun mulai berdiri, bersorak dan meneriakkan dukungan mereka dengan lebih keras. Fira pun ikut berdiri, meski suaranya nyaris tak terdengar di tengah lautan suara penonton lain.
Pada detik-detik terakhir, Rangga mendapat kesempatan emas. Dia berlari dengan cepat, menghindari pemain lawan dan melompat tinggi untuk melakukan tembakan terakhir. Bola melayang di udara, seolah waktu berhenti sejenak. Semua mata tertuju pada bola itu, termasuk Fira. Jantungnya berdetak kencang, menunggu hasilnya.
Bola masuk ke keranjang dengan sempurna.
Sorak-sorai menggema di seluruh lapangan. Tim sekolah Fira berhasil menang tipis di detik-detik terakhir. Tribun meledak dalam euforia, dan Fira merasa lega sekaligus gembira. Dia tak bisa menyembunyikan senyumnya saat melihat Rangga dan timnya merayakan kemenangan.
•••
Saat pertandingan usai dan para penonton mulai bubar, Fira berjalan pelan menuju pintu keluar, berharap bisa menghindari keramaian. Namun, sebelum dia berhasil keluar, dia mendengar seseorang memanggil namanya.
“Fira!”
Dia menoleh dan melihat Rangga, masih mengenakan seragam basahnya, tersenyum lebar sambil berjalan ke arahnya. “Makasih udah dateng. Gue lihat lo di tribun tadi.”
Fira terkejut. “Iya, gue… Gue enggak nyangka lo bisa menang di detik terakhir.”
Rangga tertawa. “Gue juga enggak nyangka. Tapi lihat, dukungan lo berpengaruh besar buat kita!”
Fira hanya bisa tersenyum, sementara jantungnya kembali berdebar. Mungkin, perlahan-lahan, harapan yang tumbuh di hatinya mulai mendekati kenyataan.
---
Begitulah bab kedua dari cerita ini. Semoga kamu menikmati kelanjutan ceritanya ya!