Akibat memiliki masalah ekonomi, Gusti memutuskan bekerja sebagai gigolo. Mengingat kelebihan yang dimilikinya adalah berparas rupawan. Gusti yang tadinya pemuda kampung yang kolot, berubah menjadi cowok kota super keren.
Selama menjadi gigolo, Gusti mengenal banyak wanita silih berganti. Dia bahkan membuat beberapa wanita jatuh cinta padanya. Hingga semakin lama, Gusti jatuh ke dalam sisi gelap kehidupan ibukota. Ketakutan mulai muncul ketika teman masa kecil dari kampungnya datang.
"Hiruk pikuknya ibu kota, memang lebih kejam dibanding ibu tiri! Aku tak punya pilihan selain mengambil jalan ini." Gusti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desau, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28 - Dilecehkan Perempuan
"Eumph!" Gusti mengerutkan dahi ketika Ana mellumat bibirnya tanpa permisi. Tangan perempuan itu juga bermain nakal di organ intim Gusti.
Karena diserang di bagian paling sensitif, Gusti tak bisa mengelak. Apalagi saat Ana mulai melepas celana lelaki tersebut.
Perlahan Ana menurunkan dirinya hingga berhenti di depan alat vital Gusti. Ia bermain lollipop di sana.
Sekujur badan Gusti bergidik akibat efek sentuhan yang diberikan Ana. Walau dalam keadaan setengah sadar, dia bisa merasakan hasratnya memuncak.
"Gusti!" Pintu mendadak terbuka. Elang dan Widy muncul dari sana. Mereka kembali karena sebelumnya Elang tak sengaja menjatuhkan kunci mobil di kamar Gusti. Kedatangan keduanya membuat Ana gelagapan. Perempuan itu langsung menghentikan aksinya. Ia juga tak lupa menutupi alat vital Gusti dengan selimut.
"Apa yang kau lakukan pada temanku?!" timpal Widy.
"A-aku... Aku hanya ingin membantu Gusti." Ana tergagap. Dia jelas tertangkap basah.
"Benarkah begitu? Gusti kan sedang mabuk berat. Dia tidak tahu apa yang kau lakukan padanya!" Elang ikut menimpali Ana.
"Sinting! Dia sepertinya memang sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan!" geram Widy. Dia segera menghampiri Ana. Tanpa ba bi bu, Widy jambak rambut perempuan tersebut.
"Aaarkhh!!" Ana memekik karena kesakitan. Meskipun begitu, dia pasrah dan tidak melawan.
"Sudahlah, Wid. Apa perlu kau begitu?!" tukas Elang yang malas membuat keributan di tengah malam. Terlebih dia sadar sedang berada di lingkungan orang.
"Perlu lah! Apa kau akan diam saja melihat temanmu dilecehkan?! Sialan!" sahut Widy. Jati dirinya yang asli sekarang terlihat jelas. Ia ternyata bukanlah Widy yang dikenal baik dan sopan, melainkan sosok yang tangguh dan tak tahu malu.
"Maafkan aku! Aku janji tidak akan mengulanginya lagi..." rintih Ana memohon.
"Kau pikir aku percaya? Kau benar-benar mempermalukan harkat dan martabat perempuan! Bisa-bisanya perempuan yang melecehkan cowok!" Widy terus mengomel.
Sementara itu Gusti, sejak tadi dia hanya meracau tidak jelas. Matanya bahkan sulit untuk terbuka lebar. Gusti tidak tahu sama sekali dengan apa yang terjadi sekarang.
Elang merasa jengah melihat Widy dan Ana. Dia lantas mendekat dan memaksa Widy melepas cengkeramannya.
"Elang! Kau kenapa menghentikanku?!" geram Widy memberengut.
Elang tak acuh. Dia justru fokus bicara dengan Ana. "Dengar ya. Kalau kau berani berbuat begitu lagi pada Gusti, maka aku akan melaporkanmu ke polisi!" ancamnya.
"Iya. Aku tidak akan melakukannya lagi... Maafkan aku..." Ana menunduk penuh penyesalan.
"Simpan maafmu itu untuk Gusti!" tegas Elang.
Ana mengangguk. Dia bergegas pergi dari kamar Gusti dengan perasaan takut dan menyesal.
Widy mendelik ke arah Elang. "Kau pasti merasa dirimu paling bijak!" komentarnya sinis.
"Kau lebih baik pulang dengan taksi saja. Aku akan bermalam di sini!" kata Elang.
"Enak saja. Aku juga berniat bermalam di sini!" tolak Widy sembari duduk menghempas ke tepi ranjang. Dia menoleh ke arah Gusti yang tampak menyedihkan.
"Kasihan sekali cowok kampung ini. Dia padahal pintar, tapi menjadi bodoh karena budaya kota," ungkap Widy.
"Silahkan bacot aja terus. Aku mau tidur." Elang menutup pintu. Kemudian merebahkan diri ke sebelah Gusti. Ia dalam posisi miring membelakangi Widy.
Sebuah bantal dilemparkan Widy ke kepala Elang karena kesal. Dia lalu ikut telentang ke ranjang. Widy dan Elang dalam posisi saling membelakangi.
"El, apa kau mau tahu alasanku bekerja untuk Om-om itu?" cetus Widy.