Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Ajeng terjaga saat merasa punggungnya begitu hangat. Perempuan itu membuka matanya menemukan tangan kekar melingkar indah di pinggang memeluk perutnya yang membuncit. Perlahan Ajeng menyingkirkan tangan itu, lalu bangkit dari pembaringan. Walaupun status mereka halal untuk bersentuhan, demi kesejahteraan bersama, Ajeng merasa keberatan dan tentunya tidak nyaman.
Pria itu terlihat masih teelelap dengan begitu nyenyak. Ajeng pun membiarkan saja dan memilih keluar mencari kesibukan sendiri. Perempuan itu sengaja jalan pagi untuk kebugaran. Ibu-ibu hamil biasanya sangat dianjurkan jalan-jalan sehat mendekati lahiran.
"Pagi Bu!" sapa Ajeng pada seorang ibu tetangga sebelah.
"Pagi, olahraga Dek?" tanya ibu itu sembari menyapu teras. Keduanya saling mengangguk ramah.
Ajeng menyusuri pinggir jalan kompleks tempat tinggalnya. Saling bertegur sapa saat berpapasan dengan orang yang sering dilihat sebagai warga kompleks yang sama.
Perempuan itu mampir di warung bubur ayam untuk sarapan. Suasana cukup ramai saat perempuan itu memasuki halaman warung. Ajeng memesan satu porsi untuk dimakan di sana, dan satu porsi berniat membelikan untuk suaminya.
Beruntung Abi menempatkan di kompleks yang warganya termasuk individualisme atau tidak begitu peduli dengan kehidupan tetangga. Jadi, orang-orang tahunya Ajeng sering ditinggal keluar kota sendirian oleh suaminya.
Sementara Abi terjaga tidak menemukan istrinya di mana pun. Suasana masih pagi, tetapi istrinya ke mana? Mungkinkah Ajeng marah?
"Dari mana? Pagi-pagi sudah ngilang," tanya Abi menemukan istrinya dari arah luar.
"Jalan pagi sebentar, sama beli ini," tunjuk Ajeng pada kantong kresek di tangannya.
"Sudah bangun dari tadi?"
"Kamu nggak marah sama aku, semalam ketiduran di ranjang."
"Percumah juga marah, toh udah kejadian juga, 'kan? Besok-besok jangan lupa pindah," jawab Ajeng santai.
Tidak ingin banyak marah-marah atau akan merusak mood pagi ini hingga seharian. Masa-masa terakhir sebelum melahirkan, Ajeng sepertinya sudah terlalu terbiasa dan tidak mau ambil pusing asal tidak melampaui batas menurut versinya.
"Kapan kunjungan ke dokter lagi?" tanya pria itu sambil membuka kertas sterefom berisi bubur ayam yang tadi dibeli.
"Nanti insya Allah periksa terakhir, tidak usah repot mengantar kalau sibuk. Aku bisa sendiri."
"Apa selama ini aku pernah absen? Tidak, 'kan?"
Abi memang selalu meluangkan waktunya untuk anaknya. Hanya saja Ajeng ingin menikmati berdua saja, berdua dengan anaknya sebelum waktu memisahkan mereka.
"Nanti biar Anto menjemputmu seperti biasa, aku berangkat sampai siang saja, selebihnya akan aku temani dirimu."
"Boleh nggak aku meminta chek up yang terakhir ini sendiri saja, sebagai kenang-kenangan untukku nanti. Itu pun kalau boleh," pinta Ajeng membuat Abi bingung menyikapi hal ini.
"Aku harus melaporkan hasil chel up itu ke Vivi, maaf Ajeng, aku nggak bisa," ucap Abi lirih.
Mungkin bagi kebanyakan ibu hamil di seluruh dunia ini begitu bahagia saat melakukan pemeriksaan bersama suaminya. Tetapi itu tidak berlaku untuk Ajeng, setiap kali menatap hasil USG dengan Abi yang begitu semangat mengklaim anaknya saja, selalu membuat hatinya pilu.
Memang benar anak ini akannya, tetapi selalu saja begitu seakan lupa kalau ibunya ada di sana. Abi seakan lupa bahwa anaknya tumbuh di rahim seorang ibu.
Ajeng pun tak ingin mendebat, terdiam menghibur diri. Selepas Abi berangkat, perempuan itu ingin melakukan sesuatu yang nantinya akan menjadi kenangan terindah untuk dirinya dan bayinya.
Perempuan itu sengaja keluar, ia memberanikan diri jalan-jalan ke mall. Ajeng sengaja foto maternity sebagai kenang-kenangan. Walaupun mungkin nantinya akan membuat susah lupa, nyatanya sampai kapan pun tidak akan pernah lupa kalau sempat memiliki selama sembilan bulan.
"Maaf mama, Nak, tolong jangan membenci mama jika suatu hari nanti kebenaran tentang dirimu terungkap. Aku ibumu yang terpaksa menyerahkan untuk orang lain. Aku menyayangimu, sehat selalu sampai nantinya kita berjumpa untuk pertama kali, dan mungkin juga yang terakhir kali untuk kita, karena ibu hanya sebagai ibu pengganti," gumam Ajeng sendu.
Tak terasa matanya berembun, menangis haru dan sedih, secepat itu waktu berlalu. Waktu yang Ajeng harapkan untuk segera berlalu, tetapi kenapa sekarang rasanya ingin nanti saja. Agar bisa lebih lama lagi memilikinya.
Selepas mengabadikan beberapa foto sebagai kenangan. Perempuan itu berjalan-jalan di sekitar. Tak sengaja melihat depan toko pakaian bayi, beberapa pakaian bayi terpajang di sana, membuat langkahnya terhenti.
"Ini lucu sekali, pasti sangat cocok dipakai olehmu, Nak," gumam Ajeng sambil mengelus perutnya.
"Apa Abi dan Vivi sudah belanja perlengkapan bayi ya? Ah, pasti sudah, aku tak perlu khawatir. Tapi apa salahnya juga aku belikan beberapa pasang untukmu, sayang. Ini imut sekali."
Ajeng bergumam-gumam sembari memilih yang paling disukai.
Tanpa sengaja tangannya menarik satu pakaian yang sama dengan seseorang.
"Maaf, Bu, ini sudah aku pilih," ucap Ajeng sopan.
"Yah ... padahal itu lucu sekali, cucuku pasti akan sangat imut nanti memakainya," sesal seorang Ibu menyayangkan.
"Bagaimana kalau aku bantu memilih warna lainnya, cucu Ibu perempuan?" tanya Ajeng tak enak hati. Kelihatan sekali Ibu itu sangat berantusias.
"Iya, menurut hasil USG perempuan, belum lahir, masih delapan bulan. Kamu sendiri hamil berapa bulan?" tanya Ibu itu ramah.
"Delapan bulan, Bu, insya Allah perempuan juga," jawabnya mengakrabkan diri.
"Kamu belanja sendirian? Suamimu mana?" tanya Ibu itu keheranan sambil memperhatikan sekitar.
"Iya, suami lagi kerja, jadi nyempetin sambil jalan. Ibu sendirian juga?"
"Aku malah pingin banget ngajakin menantuku sekedar jalan seperti ini tidak pernah kesampaian. Dia selalu sibuk, beruntung bertemu denganmu, siapa namamu, Nak?"
"Ajeng, salam kenal Bu, senang bertemu dengan Ibu," salam Ajeng mengangguk sopan.
"Saya Bu Warsa, karena kamu sudah bantuin milihin, aku traktir makan ya?"
"Wah ... rezeki yang baik untuk hari ini. Sebenarnya ingin sekali Bu, tapi habis ini mau ke rumah sakit," tolak Ajeng sopan.
Ponselnya sedari tadi bergetar, ternyata suaminya yang menghubunginya.
"Owh ya, sayang sekali, tapi tidak apa-apa, terima kasih ya, semoga persalinannya nanti diberikan kelancaran," ucap Bu Warsa merasa lebih dekat. Padahal baru saja bertemu, namun merasakan aura yang berbeda.
Ajeng mengangguk sopan memungkasi pertemuan itu dengan senyuman. Handphone di tangan Ajeng kembali memekik, Abi terus menelpon karena Anto tidak menemukan perempuan itu di rumahnya.
"Maaf, Mas, aku lagi di luar, aku akan langsung ke rumah sakit," jawab Ajeng di telepon.
"Kirim lokasinya, aku akan menjemputmu," potong Abi cepat.
Ajeng menghela napas sepenuh dada, ia pun memilih menunggu saja dari pada lelah mendebat yang ujungnya kalah.
Abi baru saja turun dari mobil, terlihat dari sebrang Ajeng tengah berdiri menunggunya. Pria itu melangkah cepat karena melihat istrinya membawa beberapa barang yang kelihatannya repot. Tanpa diduga, suara dari seseorang yang begitu familiar menyerukan namanya lebih dulu. Membuat langkah pria itu terhenti, membatu di tempat.
.
Bersambung
.
Teman-teman aku punya rekomendasi bacaan punya teman nih. Sambil menunggu novel ini up, kepoin yuk ...!
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik