(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!)
Demi mendapatkan uang untuk mengobati anak angkatnya, ia rela terjun ke dunia malam yang penuh dosa.
Tak disangka, takdir mempertemukannya dengan Wiratama Abimanyu, seorang pria yang kemudian menjeratnya ke dalam pernikahan untuk balas dendam, akibat sebuah kesalahpahaman.
Follow IG author : Kolom Langit
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lihat, Betapa Dangkalnya Pemikiranmu!
Bima mematung, begitu pun dengan Surya. Sesekali mereka hanya saling lirik sambil memberi kode. Sedangkan Bibi Arum sudah terlihat panik. Bukan perkara mudah jika seseorang bernama Tuan Gunawan sudah murka. Ia dapat menghancurkan siapapun tanpa ampun.
"Jadi begini kelakuanmu selama ini," ucapnya dengan geram. Wira menunduk, merasa malu untuk mengangkat kepalanya di depan sang ayah. "kau meminta izinku menikahi Via hanya untuk memperlakukannya seperti ini?" Bentakan ayah menggema di setiap sudut ruangan itu.
Wira masih terdiam. Lautan rasa bersalah seakan menenggelamkannya. Penyesalan sedang menggerogoti jiwanya.
Dengan kepala masih menunduk, Wira berkata, "Maafkan aku, Ayah ... Aku sudah salah menilai Via. Aku mengira dia hanya seorang wanita ...."
"Cukup!"
PLAK! PLAK!
Belum sempat Wira menyelesaikan kalimatnya, dua tamparan keras mendarat lagi di wajahnya, kanan dan kiri. Ayah semakin geram mendengar ucapan anak semata wayangnya itu.
"Lihat betapa dangkalnya pemikiranmu! Kau hanya melihatnya dari satu sisi dan sudah merasa bisa menilainya secara keseluruhan, begitu?" tanya ayah. Kedua tangannya sudah mengepal geram. "Bodoh!!" teriakannya kembali menggema.
Selama beberapa saat, keheningan tercipta di ruangan itu. Tidak seorangpun berani menyahut atau sekedar mencoba meredam kemarahan Tuan Gunawan. Mereka yang ada di sana hanya menjadi penonton.
"Apa kau tahu, untuk apa Via melakukan semua itu? Pernahkah kau pikirkan alasannya? Tidak, kan?" Pria paruh baya itu beberapa kali terlihat menghela napas panjang, berusaha meredam emosi yang seakan membakarnya. Ia kembali menatap Wira. Namun, tatapannya kali ini telah berubah sendu, saat mengingat pengorbanan Via untuk seorang anak yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri. "Via melakukannya demi Lyla. Dengan mudahnya dia berkorban begitu besar demi seorang anak yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya, dan lihat apa yang dia dapatkan darimu. Kau tidak punya hati, Wira! Kau begitu tega meninggalkan mereka di sebuah kamar yang tidak layak! Bahkan untuk membeli susu pun Via harus menjual ponselnya."
Air mata yang sejak tadi ditahan Wira mulai berjatuhan. Setiap kata yang diucapkan sang ayah bagaikan sayatan sembilu. "Aku bersalah, Ayah! Tolong beritahu aku dimana Via dan Lyla."
"Untuk apa? Kau baru menyadari kesalahanmu?! Kau sudah sangat keterlaluan, Wira! Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti mereka lagi."
Ayah baru akan melayangkan tamparan lagi, namun suara yang berasal dari sebuah kamar menghentikannya, sehingga tangannya yang telah terangkat menggantung.
"Jangan, Mas! Cukup! To-long jangan!" ucap seorang wanita paruh baya. Suaranya terputus-putus, namun begitu jelas terdengar. Wajahnya terlihat basah oleh air mata. Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
Bibi Arum dan Tuan Gunawan segera mendekat, dan membawa wanita itu masuk kembali ke dalam kamar. Sementara Wira masih begitu terkejut sekaligus bahagia. Melihat ibu yang selama ini hanya duduk di kursi roda dengan tatapan kosong, kini bisa berdiri dan berbicara walaupun masih terbata-bata. Ia segera menyusul ke kamar itu.
Wira berlutut di hadapan ibunya, yang kini duduk di bibir tempat tidur. Wanita itu masih terlihat lemah, namun wajahnya tidak sepucat biasanya.
"Ibu ..." panggil Wira. Ia masih tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagai sebuah mimpi, ibu mulai pulih setelah empat tahun dalam keadaan sakit.
"Wi-raa ..." Tangannya terulur, mengusap puncak kepala anaknya. Seulas senyum tulus hadir di sana. "Wira, Via ..."
Mendengar ibunya menyebut nama Via membuat air mata Wira kembali berderai. Ia menyandarkan kepalanya di pangkuan wanita yang telah melahirkannya itu. "Aku sudah melakukan kesalahan besar, Bu! Via tidak akan memaafkanku."
"Tidak, Nak! Mi-nta ma-aflah pa-da Via ..." ucapnya lemah. Wanita itu menatap suami dan juga Bibi Arum bergantian seolah memberi kode. Mereka pun keluar dari ruangan itu. Membiarkan Wira dan ibu bicara berdua.
Tuan Gunawan memilih masuk ke ruang kerja. Seperti biasa, Surya akan selalu mengekor di belakangnya. Sementara Bima yang menunggu sejak tadi akhirnya memilih pulang.
Di dalam ruang kerja, Surya mendekat pada tuannya yang kini duduk di sebuah kursi. Tidak lama setelahnya, Bibi Arum masuk dengan membawa air putih. Surya meraih gelas dan memberikannya pada pria paruh baya itu.
Tuan Gunawan masih dengan sisa kemarahan yang terlihat sangat jelas di wajahnya. Ia mengendurkan dasi yang melilit kerah kemejanya, sambil beberapa kali menghela napas.
"Tuan, apakah Tuan akan menyembunyikan keberadaan Via dan anaknya dari Den Wira?" tanya Bibi Arum.
"Aku tidak punya hak memisahkan sepasang suami istri. Tapi sebagai seorang ayah, aku tidak bisa membiarkan anakku memperlakukan istrinya dengan buruk. Wira sudah sangat keterlaluan."
*****
Di sebuah ruangan di rumah sakit ...
Via sedang menceritakan pada Lyla tentang kisah para Nabi. Seperti biasa, sebelum tidur Via selalu menceritakan berbagai kisah pada putri kecilnya itu. Dan malam itu, ia menceritakan tentang kisah Nabi Yusuf. Lyla selalu mendengarkan dengan baik setiap kisah yang diceritakan sang bunda padanya, walaupun kadang belum mengerti sepenuhnya.
Selepas menceritakan kisah itu, Via membuatkan susu, lalu mencoba menidurkan Lyla. Namun, Lyla tak kunjung tertidur juga. Gadis kecil itu seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Bunda, opa bilang, nanti Lyla boleh ikut opa pulang ke lumah opa. Di lumah opa ada kamal yang ada banyak bonekanya. Lyla mau ikut opa ya, Bunda!" Lyla menarik-narik ujung pakaian bundanya.
"Opa bilang begitu?" tanya nya dengan kerutan di alis. Lyla mengangguk pelan, gadis kecil itu benar-benar berharap akan memiliki sebuah kamar layaknya istana boneka.
"Lyla mau pulang ke lumah opa ajah, Bunda. Lyla tidak mau ke lumah Om Wila lagi. Om Wila kan jahat sama Bunda."
Via mengusap pucuk kepala gadis kesayangannya itu. Senyum teduh tak pernah lepas dari wajahnya, walau pun ada luka menganga di hati. Hampir dua hari di rumah sakit, namun Wira seolah tak peduli pada mereka. Walau begitu, ia tidak mau mengisi pikirannya dengan hal-hal negatif. Via tetap berpegang teguh pada keyakinannya bahwa ridha seorang suami adalah surga bagi istri, dan marahnya suami adalah Murkanya Allah. Terlepas dari semua perlakuan buruk Wira selama ini. Mengingat semua itu membuat air mata Via kembali berderai. Namun, ia menyembunyikannya agar Lyla kecil tak melihat.
"Om Wira tidak jahat, Sayang."
"Om Wila jahat, Bunda. Lyla takut sama Om Wila." Kedua bola mata Lyla kembali berkaca-kaca, jika mengingat betapa kasar Wira mendorong bundanya hingga terhuyung ke lantai. Via pun segera memeluk gadis kecil itu. Ia mengerti hati seorang anak begitu bersih dan polos, mereka akan trauma saat melihat kekerasan di sekitarnya.
Kasihan anakku. Dia masih begitu kecil tapi harus trauma dengan hal-hal yang terjadi di sekitarnya. Maafkan bunda, Nak ... Hanya kehidupan seperti ini yang bisa bunda berikan untukmu.
*****
tp ntar mau baca ulang lagi 😁😁
lubang yang salah 😆😆😆😆😆😆
banyak mengandung bawang 😭😭😭😭