Pernikahan Brian Zaymusi tetap hangat bersama Zaira Bastany walau mereka belum dikaruniai anak selama 7 tahun pernikahan.
Lalu suatu waktu, Brian diterpa dilema. Masa lalu yang sudah ia kubur harus tergali lantaran ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya yang semakin membuatnya berdebar.
Entah bagaimana, Cinta pertamanya, Rinnada, kembali hadir dengan cinta yang begitu besar menawarkan anak untuk mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfajry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Rinnada
Flashback~
Hati Rinnada sedikit tenang setelah menjelaskan semuanya pada Brian. Walau awalnya dia takut kalau Brian akan meninggalkannya, Namun setelah menunjukkan beban di pundaknya selama ini, Brian akhirnya sangat mengerti. Lelaki itu benar-benar menyayangi Rinnada.
Rinnada menghapus bekas air di matanya. Dia memencet bel, lalu pak Tono keluar tergopoh dengan wajah paniknya. "Non. Cepat masuk. Nyonya ada di dalam." dengan tergesa, Pak Tono membuka kait pintu gerbang.
"Kenapa, pak?" Tanya Rinnada yang bingung dengan reaksi pak Tono.
"Sudah, masuk dulu, Non". Ucapnya lalu menutup lagi gerbang itu.
Rinnada mempercepat langkahnya. Melihat pak Tono membuatnya penasaran sekaligus takut.
Di dalam, Bundanya sedang duduk di sofa, mengelus lembut rambut Dinnara yang menangkupkan wajahnya di pangkuan Bunda. Dinnara tengah tersedu-sedu. Suaranya lirih seolah-olah tengah merasakan penderitaan yang amat perih.
Dalam hati Rinnada tidak tenang. Dia takut Dinnara sudah berkata yang tidak-tidak tentang kejadian tadi siang.
Mata Ibunda menyorot tajam ke arahnya. Rinnada, tanpa disuruh langsung duduk di atas sofa. Dia sedikitnya sudah memprediksi apa yang akan terjadi. Dia menanangkan dirinya, menarik napas dalam dan membuangnya perlahan.
Bi Sum datang membawa nampan berisi air hangat. Wajahnya sangat khawatir. Sesekali dia melirik ke arah Rinnada yang mencoba tenang di atas sofa.
Bi Sum berdiri disebelah Rinnada. Dia sepertinya akan menjadi pembela gadis itu.
"Jika sudah selesai, kau boleh ke belakang, Sum." Winda tiba-tiba bersuara. Membuat Bi Sum tertunduk. Namun dia enggan untuk pergi.
Melihat itu, Winda menghela napasnya. Bi Sum, orang yang merawat ketiga anak kembarnya sedari bayi, entah mengapa selalu berada di pihak Rinnada.
"Kau habis dari mana?" Winda bertanya dengan nada yang lembut, namun terdengar tajam di telinga Rinnada.
"Aku dari luar." Jawabnya dengan gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat. Yang di hadapannya adalah ibu kandungnya. Entah mengapa seperti orang asing baginya.
"Jawablah dengan jelas!". Ucapnya dengan nada yang lebih tegas.
Rinnada menggenggam ujung bajunya. Dia tertunduk.
"Bertemu Brian di taman".
Winda terlihat tenang. Namun lirikan matanya tidak lepas dari wajah Rinnada.
"Kenapa kau lakukan itu, Nada!"
Rinnada kaku. Dia tidak bergeming. Bulir air mulai menyeruak dari matanya.
Ingin rasanya memberontak, namun lidahnya kelu.
"Beraninya kau mencintai lelaki yang adikmu cintai!" Seru Bundanya dengan nada yang memekik di telinga.
Mendengar itu, Rinnada menaikkan wajahnya. "Dia pacarku, Bunda. Dia memacari Rinnada. Bukan Dinnara".
"Tutup mulutmu, Rinnada!" Dinnara bangkit. Wajahnya sembab dan matanya memerah. "Kau tidak berhak mengatakan itu. Kaulah yang membuat aku berpacaran dengannya. Kau seharusnya yang sadar akan hal itu." Suara Dinnara meninggi. Dia menyusun kata demi kata agar Bunda berada di pihaknya.
"Akulah yang sering dia telfon, aku juga orang yang sering dia temui. Dia menyukai aku, bukan kau!". Suara Dinnara menggema di dalam ruangan. Wajahnya mulai memancarkan kebencian pada saudara kembarnya itu.
Rinnada memicingkan matanya. Dia mengetahui kebencian adiknya ini."Kali ini aku takkan mengalah, Dinnara. Kau camkan itu!".
"Cukup Rinnada!" Suara Winda membuat Rinnada menunduk. Dia takut dengan ibundanya sendiri.
"Nyonya, Nona Rinnadalah yang selalu di cari nak Brian saat datang kemari. Bukan Nona Dinnara." Dengan hati-hati Bi Sum berbicara, lalu ia mendapat tatapan ancaman dari Dinnara.
Winda terdiam sejenak. Dia sebenarnya tidak tahu apa yang benar-benar terjadi. Rengekan Dinnara sudah membuatnya kasihan dengan anaknya itu. Dia takut, jika nanti salah satu dari anak kembarnya akan menyusul Rihanna.
"Kau bohong! Dia hanya mengetahui Rinnada karena dia mengira itu aku!" Pekik Dinnara pada Bi Sum yang tertunduk mendengar jeritan majikannya.
Kini, matanya tertuju pada Bunda. Dia duduk lagi di bawah. Memohon pada Bundanya. "Bunda, memang pada awalnya, dia berkenalan pada Rinnada. Lalu setelah itu, akulah yang menjalani semuanya". Dia lalu nangis tersedu-sedu.
Hati Rinnada panas. Dia bahkan tidak pandai bersandiwara seperti apa yang Dinnara lakukan. Untuk mempertahankan ucapannya saja, dia tidak mampu.
"Suruh dia datang kemari. Malam ini juga, masalah seperti ini harus selesai." Winda berdiri. Mendengar ucapan Bi Sum tadi sepertinya membuat pikirannya sedikit berubah.
"Tono!" Teriak Winda. Tak lama, Tono datang setengah berlari. "Pergilah. Cari dan bawa laki-laki itu". Ucapnya lalu pergi meninggalkan kedua anak gadisnya yang tengah menangis.
Tono langsung bergerak keluar.
"Pak." Suara Rinnada menghentikan langkahnya. "Alamatnya di Kompek Indah, No.06."
"Baik, Nona". Tono menunduk, lalu melangkah keluar.
Dinnara terdiam. Dia tidak mengira bahwa Rinnada lebih tahu banyak dari pada dirinya.
"Sudahilah, Nara. Kau akan mempermalukan dirimu sendiri".
"Tutup mulutmu!" Bentaknya dengan bahunya yang naik turun karena napasnya terengah akibat amarah yang memuncak.
Rinnada berdiri dari duduknya. "Terserah padamu. Kau akan dengar langsung nanti dari mulut Brian, kekasihku." Ucapnya sambil tersenyum tipis pada Dinnara.
Rinnada beranjak meninggalkan Dinnara dengan wajah yang padam. Dia tidak bisa membalas, karena pikirannya sedang berkecamuk. Dia memikirkan bagaimana caranya supaya Brian mengakui dirinyalah yang sebenarnya kekasihnya. Bukan Rinnada.
Dia lalu tidak tenang. Dia berjalan kesana kemari memikirkan nasibnya beberapa jam yang akan datang. Dia menggigit kukunya. Matanya menyiratkan kekhawatiran.
Dia kemudian berjalan cepat menuju kamar Rinnada saat sesuatu terlintas di pikirannya.
"Nada, Nada, keluarlah!" Gedoran pintu Dinnara membuat Rinnada terperanjat. Dia lalu membuka pintu.
Dinnara masuk dan menutup pintu dengan cepat. Dia tidak ingin ada orang yang mendengarkan apa yang akan dia katakan pada kembarannya.
"Kau, mengalahlah padaku." Ucapnya sambil menggenggam kedua bahu Rinnada dengan kuat.
Rinnada memekik kesakitan. "Lepaslah. Apa yang kau lakukan!".
"Tidak! Kau harus mengalah. Kau harus mengaku menjadi aku. Kau harus menolongku. Aku janji dan pastikan, inilah yang terakhir aku minta bantuan padamu!" Ucapnya dengan berapi-api. Goret ketakutan dan kekhawatiran begitu jelas terlihat di wajahnya.
"Lepaskan!" Rinnada mengguncang tubuh dan menepis keras tangan Dinnara hingga berhasil melepaskan cengkraman kuat di bahunya.
Rinnada mundur beberapa langkah. Dinnara sudah kelewat batas. Dia sepertinya terlalu berlebihan menanggapi perasaannya terhadap Brian.
"Tidak.. aku tidak akan mengalah padamu untuk masalah kali ini". Ucap Rinnada lantang. Dia harus mempertahankan perasaannya. Dia takkan mau menggantikan posisinya dengan Dinnara. Untuk hal ini, dia rela walau harus berkorban apapun itu.
"Apa kau tidak kasihan padaku? Kau bahkan akan mati, Rinnada. Kau harus tahu itu!"
PLAK!!
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dinnara. Amarah yang ia pendam selama ini, akhirnya ia keluarkan. Bertahun-tahun dia sabar dan memaklumi sikap Dinnara yang kekanakan, ternyata perlahan mencekiknya tanpa ampun. Kali ini, Rinnada harus melawannya.
"Aku akan bertahan hidup. Aku akan terus menjalani hidupku demi Brian. Aku juga akan hidup bahagia dengannya dan keluar dari rumah ini bersama Brian. Aku akan hidup bahagia bersamanya. Pergilah. Aku sudah sangat muak melihat tingkahmu itu!"
Bersambung....
cow gk tahu diuntung