Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu Yang Pahit
Bu Lilis terdiam dan termenung, wajahnya menyiratkan kesedihan yang amat dalam, kembali dia teringat luka itu.
Luka yang sudah lama dia kubur, dan kini mau tidak mau dia harus mengingatnya kembali.
"Kenapa Ibu diam? Tidakkah Ibu ingin menceritakannya padaku?" tanya Dinda.
Kemudian Bu Lilis berdiri dari tempatnya, dia mengambil tasnya yang ada di atas meja, kemudian mengeluarkan dompetnya.
Dari dalam dompetnya itu, dia mengeluarkan satu lembar foto seorang laki-laki.
Selama ini Dinda tidak pernah melihat foto itu, selalu ibunya sembunyikan di dalam dompetnya, foto itu nampak kusam, dan warnanya sudah sedikit memudar karena dimakan usia.
"Ini foto Ayahmu Nak! Ibu tidak akan menyebut namanya, karena terlalu sakit hati ibu jika mengingat nama itu!" ucap Bu Lilis sambil kembali duduk di sebelah Dinda, dan menyodorkan foto itu di hadapan Dinda.
Dinda mengamati foto itu, foto seorang laki-laki yang terlihat sangat tampan dan masih terlihat muda, pastinya sekarang orang yang ada di foto itu sudah seumuran ibunya, bahkan mungkin lebih tua.
"Kalau dia Ayahku, kenapa Ibu tidak bersamanya?" tanya Dinda.
Bu Lilis menarik nafas panjang, seperti ada beban berat yang dipikulnya selama ini.
Sesuatu yang disimpan dan sembunyikan dalam hidupnya, kini dia harus menceritakan dihadapan putrinya sendiri, yang beranjak dewasa.
"Dulu ibu bekerja di rumah orang kaya sebagai pengasuh Putri mereka, laki-laki yang ada di dalam foto itu adalah majikan ibu, dulu istrinya adalah seorang wanita yang bekerja sehingga anaknya ibu asuh!"
"Lalu?"
"Keluarga mereka terlihat harmonis di depan orang, padahal sebenarnya sangat rapuh, seringkali mereka bertengkar hanya karena masalah sepele, dan nyonya rumah itu yang adalah istrinya majikan ibu, berselingkuh dengan laki-laki lain dan membuat suaminya itu murka!"
"Karena kurangnya kepuasan dalam berhubungan, majikan ibu merayu ibu dengan berbagai macam cara, sehingga ibu di jebak, singkatnya karena perbuatannya itu, ibu hamil!"
Bu Lilis nampak menangis, beberapa kali dia mengusap air matanya, Dinda yang mendengarkan cerita ibunya itu itu juga nampak sedikit terguncang.
Ternyata masa lalu ibunya begitu pahit dan kelam, wajar saja kalau sampai saat ini ibunya tidak pernah sedikitpun menyinggung tentang sang Ayah.
"Lanjutkan Bu!" ucap Dinda sambil memegangi bahu Ibunya yang kini nampak berguncang.
"Nyonya itu mengusir Ibu dari rumahnya, saat dia tau Ibu hamil dari suaminya, sejak saat itu Ibu bersumpah, akan mengurus bayi ini sendirian, dengan sekuat tenaga Ibu!"
Bu Lilis kembali menangis, kenangan itu teramat sangat pahit.
"Setelah Ibu pergi dari rumah itu, Ibu langsung menghilang dari kehidupan mereka, Ibu ke luar kota, memulai hidup baru bersama denganmu!" lanjut Bu Lilis.
Dinda menganggukkan kepalanya, sangat mengerti dan paham dengan apa yang diceritakan oleh ibunya itu.
"Baiklah Bu, aku mengerti sekarang, aku tak akan lagi menanyakan soal siapa Ayahku!" ucap Dinda sambil menggenggam tangan Ibunya.
Mereka kemudian berpelukan untuk saling menguatkan satu sama lain.
****
Sementara itu Dio dan Chika masih dalam perjalanan menuju ke rumah mereka.
Sesekali Dio memegangi bibirnya yang terasa masih sedikit nyeri, entah kenapa jantungnya sedikit berdebar, manakala dia teringat saat Dinda mengobati bibirnya yang berdarah, karena dipukul oleh Ken itu.
"Papa kenapa kok senyum-senyum sendiri?" tanya Chika yang memperhatikan wajah papanya, yang terkadang senyum-senyum sendiri.
"Eh, Chika lihat saja kalau Papa senyum-senyum!" sahut Dio.
"Ingat Bu Dinda ya!" goda Chika.
"Siapa bilang?"
"Tuh mukanya merah!" cetus Chika.
"Sudah! Masih kecil di larang menggoda Papanya!" sahut Dio.
"Malu tuh, ketahuan!" ledek Chika.
"Eh Chika, kira-kira Bu Dinda mau tidak ya sama Papa?!" tanya Dio.
"Pasti mau! Di jamin!" sahut Chika cepat.
"Dari mana kau begitu yakin??"
"Kalau dekat Papa itu, Bu Dinda kelihatan senang tapi malu, makanya nunduk terus!" kata Chika.
"Ah, Chika sok tau!"
"Tau dong! Waktu aku tanya Papa ganteng atau tidak, Bu Dinda senyum-senyum, terus dia bilang ganteng!" jawab Chika.
"Ah, Chika buat Papa senang saja!"
"Makanya Papa yang romantis dong, kayak di film-film itu tuh, kasih bunga atau coklat gitu, masa kalah sama anak kecil, aku saja pernah di kasih bunga sama Evan!" ungkap Chika.
"Siapa Evan??" Dio melotot.
"Teman sekelas aku, dia bilang aku cantik, sambil kasih bunga! Tapi di hukum sama Pak Roni karena bunganya boleh nyolong di taman sekolah!" seloroh Chika.
Dio tertawa mendengar cerita polos dari Chika, selama ini Dio jarang mengobrol dari hati ke hati dengan putrinya itu.
Hingga mereka sudah sampai di depan rumah, Bang Jarwo, security rumah itu membukakan gerbang.
Dio tertegun melihat ada mobil lain yang terparkir di garasi rumahnya yang luas itu.
"Siapa yang datang Bang Jarwo?" tanya Dio.
"Tuan dan Nyonya besar Pak! Baru datang tadi sore!" jawab Bang Jarwo.
Setelah Dio dan Chika turun dari mobilnya, mereka kemudian melangkah masuk kedalam rumahnya.
Seorang laki-laki dan wanita paruh baya nampak sedang duduk bersantai di ruang keluarga itu.
Mereka adalah Pak Frans dan Bu Lian, orang tua dari Dio. Selama ini mereka tinggal dan menetap di luar negri.
"Ayah! Bunda! Kapan kalian sampai? Kenapa kalian tidak mengabariku? kan aku bisa menjemput ke bandara!" tanya Dio sambil memeluk kedua orang tuanya itu.
"Kami memang sengaja datang mendadak! Duduklah Dio, mana Sini cucu Opa, Opa sudah kangen! Chika sini Opa pangku!" kata Pak Frans sambil langsung mengangkat Chika dalam gendongannya dan memangku anak itu.
"Oma, juga kangen sama cucu Oma yang cantik ini! Oma dan Opa bawa banyak hadiah untuk Chika!" timpal Bu Lian.
"Sebenarnya dalam rangka apa Ayah dan Bunda datang mengunjungi kami? Bukankah bisnis Ayah sedang berkembang pesat di Singapura?" tanya Dio.
"Kau jangan berkata seperti itu Nak, justru kedatangan kami ke sini, karena kami peduli padamu, juga Chika!" sahut Bu Lian.
"Apa maksud Bunda?" tanya Dio.
"Dio, Mau sampai kapan kau akan menjadi duda? kasihan Chika, dia pasti butuh sosok seorang Ibu! Tidakkah kau ingin kembali berkeluarga?" tanya Bu Lian balik.
"Lalu, apa hubungannya dengan kedatangan kalian?" tanya Dio lagi.
"Ayahmu bermaksud memperkenalkan mu dengan Putri kolega kami, anak seorang pengacara handal, dia sangat cantik dan seumuran denganmu, dan pastinya sangat cocok menjadi pendamping hidupmu!" jawab Bu Lian.
"Tapi Papa sudah punya pacar!" celetuk Chika tiba-tiba.
Pak Frans dan Bu Lian langsung menoleh kearah Chika.
"Benarkah?"
"Ya benar dong! Pacarnya Papa itu guru kelas aku! Namanya Bu Dinda, cantik deh orangnya!" jawab Chika bersemangat.
"Seorang guru? Kau tidak salah Dio? kenapa seleramu jadi rendah begini sih? Dulu kau beruntung bisa menikahi seorang Dokter!" tanya Bu Lian sambil geleng-geleng kepala.
Bersambung ....
****