Dia memilihnya karena dia "aman". Dia menerima karena dia butuh uang. Mereka berdua tak siap untuk yang terjadi selanjutnya. * Warisan miliaran dollar berada di ujung sebuah cincin kawin. Tommaso Eduardo, CEO muda paling sukses dan disegani, tak punya waktu untuk cinta. Dengan langkah gila, dia menunjuk Selene Agueda, sang jenius berpenampilan culun di divisi bawah, sebagai calon istri kontraknya. Aturannya sederhana, menikah, dapatkan warisan, bercerai, dan selesai. Selene, yang terdesak kebutuhan, menyetujui dengan berat hati. Namun kehidupan di mansion mewah tak berjalan sesuai skrip. Di balik rahasia dan kepura-puraan, hasrat yang tak terduga menyala. Saat perasaan sesungguhnya tak bisa lagi dibendung, mereka harus memilih, berpegang pada kontrak yang aman, atau mempertaruhkan segalanya untuk sesuatu yang mungkin sebenarnya ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kursus Membuat Kue
Pesawat pribadi Tommaso Eduardo melesat meninggalkan Maldives, membawa Selene kembali ke realitas yang sesungguhnya.
Di dalam kabin yang sunyi, Selene menatap jendela. Tom duduk di seberangnya, matanya tertutup, wajahnya netral seolah perjalanan romantis seminggu itu hanyalah tugas lain yang harus diselesaikan.
Kontrak mereka masih jelas terukir dalam ingatannya, pernikahan satu tahun untuk memenuhi wasiat kakek Tom, tanpa ikatan emosi, tanpa komitmen sesungguhnya.
“Bagaimana kepalamu? Pusing?” tanya Tom.
Selene menoleh. “Tidak. Aku baik-baik saja.” Wanita cantik itu tersenyum lalu menoleh kembali ke arah jendela, sebelum Tom mengalihkan wajahnya ke arah tabletnya, seperti biasa.
*
*
Keesokan harinya, New York menyambut mereka keriuhan kota yang tak kenal henti. Selene kembali ke mansion megahnya.
Rutinitasnya dimulai lagi, pagi hari makan pagi sendirian dan terkadang melihat Tom berangkat dengan setelan sempurna melalui balkon kamarnya.
Belum ada kegiatan sosialita yang harus didatanginya. Tapi Selene masih terus berlatih dengan ketiga pelatihnya untuk tampil sempurna sebagai Nyonya Eduardo.
Hari ke-lima setelah kepulangan mereka, chef yang dijanjikan Tom akhirnya datang. Selene membayangkan seorang koki berusia setengah baya dengan seragam putih dan wajah berwibawa.
Yang membuka pintu justru seorang pria muda dengan senyum ramah dan mata biru yang cerah.
“Robert Chandler,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. “Senang bertemu Anda, Nyonya Eduardo.”
Selene tersenyum sedikit terkejut. Robert mungkin seusianya, mungkin lebih tua sedikit di atasnya.
Rambutnya pirang terang dengan potongan pendek, rahangnya tegas, dan senyumannya begitu bersahabat.
Tapi yang lebih mengejutkan bagi Selene adalah betapa biasa saja dia melihatnya. Ketampanan Robert tidak meninggalkan bekas apa pun di hatinya yang sudah terisi oleh bayangan Tommaso—pria yang dingin, jauh, namun entah mengapa telah berhasil menyelinap ke dalam pikirannya setiap saat.
“Panggil saja Selene,” balasnya, tersenyum sopan. “Mari kita ke dapur.”
*
*
Tujuh hari berlalu dengan cepat. Di bawah bimbingan Robert, Selene menunjukkan kemajuan yang mengejutkan.
Dari yang awalnya kesulitan membedakan beberapa bahan, kini dia sudah bisa membuat souffle lemon yang sempurna dan cake dengan hiasan yang rumit.
Robert adalah guru yang sabar dan penuh semangat. Ia menjelaskan setiap teknik dengan detail dan antusias, dan Selene menemukan dirinya benar-benar menikmati proses belajar itu.
Mereka pun menjadi teman. Robert bercerita tentang masa kecilnya di pedesaan Perancis, serta ibunya yang mengajarinya membuat croissant pertama kali.
Selene berbagi sedikit tentang masa kecilnya yang sering memasak dengan sang nenek. Tapi, dia tak sedikit pun cerita tentang orang tuanya atau pun suaminya sendiri, Tommaso Eduardo.
“Bagaimana kau dan Tuan Eduardo bertemu?” tanya Robert suatu siang saat mereka menunggu adonan mengembang.
Selene sudah menyiapkan jawaban ini sejak menikah dengan Tom. “Di perusahaan. Kami berpapasan di koridor. Kisah cinta klasik. Dia melamarku dan kami menikah.”
“Waaah … secepat itu? Dia pasti jatuh cinta pada pandangan pertama padamu. Tapi … itu sangat mungkin, mengingat kau sangat cantik. Siapa yang tak terpana melihatmu.”
Selene tertawa mendengar itu. “Tidak, kau salah. Dulu aku memakai kacamata dan berpenampilan kuno. Tom mungkin berpikir aku sangat polos dan dia suka tipe sepertiku,” jawab Selene, berharap itu memang benar.
“Mata pria tak bisa ditipu. Penampilanmu tak akan menghilangkan kecantikanmu yang sesungguhnya, Selene. Aku yakin, pasti dulu banyak yang menyukaimu, ya kan?”
Selene mengedikkan bahunya. Selene ingat betul bagaimana dulu Daniel berusaha mengejarnya di saat banyak pemuda di kampus menyukai Selene.
Selene bahkan dimusuhi oleh ketua cheerleader karena merasa tersaingi. Selene yang sederhana tapi kecantikannya begitu alami dan natural tanpa sentuhan tangan dokter dan riasan tebal, pernah menjadi idola di kampusnya.
Ditambah dengan kepintaran otaknya yang sejak awal selalu mendapatkan beasiswa sampai dirinya lulus.
“Oh ya, aku tak pernah melihat Tuan Eduardo. Apakah dia selalu pulang malam?” tanya
Selene mengangguk, berusaha tersenyum. “Dia sibuk. Perusahaannya membutuhkan banyak perhatian.”
“Tapi kalian baru menikah,” Robert melanjutkan, suaranya pelan. “Biasanya pasangan pengantin baru sulit berpisah.”
Selene menunduk, fokus pada adonan di hadapannya. “Kami … punya aktivitas sendiri dan tak ingin terganggu hanya karena status pengantin baru.”
Ia tidak bisa menjelaskan lebih dari itu. Tidak bisa mengungkapkan bahwa pelukan dan ciuma. mereka di depan umum hanyalah sandiwara.
Dan yang paling tidak bisa dia akui bahwa di tengah semua kepura-puraan itu, hatinya mulai berdetak berbeda setiap kali melihat Tom.
Ketika aroma parfumnya yang maskulin telah membuatnya merinding. Dan kontrak itu sekarang terasa seperti rantai yang mencegahnya mengakui perasaan yang tumbuh tanpa izin.
*
*
pasti keinginanmu akan tercapai..