#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Rencana Amelia yang mulai berjalan
.
Masih di rumah keluarga Bramasta, di kamar tidur yang mewah. Alexander kembali menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan, tak sedikitpun melepaskan pelukannya dari Eliza, meskipun wanita itu tak berhenti memukul dadanya. Kepalan tangan wanita itu yang dilakukan secara bertubi-tubi dan sekuat tenaga seakan tak berefek bagi Alexander. Hingga semakin lama, pukulan itu semakin melemah seiring Eliza yang lelah karena kehabisan tenaga.
"Aku membencimu," ucap Eliza, dengan suara lirih.
"Terima kasih," jawab Alexander, dengan tenang. "Aku juga mencintaimu."
Alexander semakin membenamkan kepala Eliza ke dalam dekapannya dan mengecup rambut di atas kepala wanita itu dengan lembut.
"Amelia pergi karena kesalahanmu," ucap Eliza lagi, dengan kekesalan yang masih tertahan.
"Aku tahu," jawab Alexander, pria yang sama sekali tak berusaha menyangkal. Ia mengakui kesalahannya. Ia tahu, kepergian Amelia adalah akibat dari keputusannya yang gegabah.
Eliza yang merasa semakin kesal karena tingkah suaminya yang seolah bersikap santai. Wanita itu menepis dengan kasar tangan Alexander hingga pelukan Alexander terlepas. Ia menatap suaminya dengan tatapan penuh amarah.
"Kalau kamu tidak memaksakan perjodohan itu, Amelia tidak akan pergi," ucap Eliza, dengan nada tinggi. Ia menyalahkan Alexander atas semua yang terjadi.
Alexander memilih diam tak menjawab. Bicara dengan Eliza saat wanita itu sedang marah adalah sesuatu yang sia-sia.
Eliza berdiri dari duduknya di tepi ranjang, berkacak pinggang menatap ke arah Alexander dengan mata yang masih berkilat menahan emosi.
"Kenapa kamu tiba-tiba berubah menjadi ayah yang bodoh, kejam, egois dan tidak punya perasaan, haa?!" Eliza berseru kesal. Ia merasa, Alexander adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kepergian Amelia.
Alexander mengambil napas dalam-dalam kemudian membuangnya kembali, lalu menatap wajah istrinya. “Eliza, bisakah kamu tenangkan dirimu sebentar saja. Berikan aku kesempatan untuk menjelaskan."
Eliza bersedekap dan memalingkan wajah.
"Mana mungkin aku membiarkan putri yang aku besarkan dengan penuh kasih sayang jatuh ke dalam pelukan pria baj^ingan seperti Richard?" ucap Alexander, sambil menatap wajah Eliza dengan tatapan yang begitu dalam. Ia ingin Eliza tahu, ia memiliki alasan tersendiri untuk mengatakan hal seperti itu.
Eliza memicingkan mata tak mengerti. Bukankah kemarin memang Alexander yang mengatakan akan menjodohkan Amelia dengan putra dari keluarga Handoyo itu? Kenapa sekarang Alexander berbicara seperti itu?
"Aku tahu persis siapa itu Richard Handoyo," Alexander kembali berucap. "Yang aku katakan pada Amelia itu hanya sekadar ancaman karena aku tahu Amelia pasti akan menolaknya. Aku mengatakan seperti itu dengan harapan dia tersedia untuk terjun ke dalam perusahaan. Siapa sangka kalau dia malah memilih pergi dari rumah." Alexander kembali menghembuskan napas berat.
Tangan Eliza yang semula bersedekap turun perlahan. Ia merasa bingung dan heran dengan penjelasan Alexander. Lalu dia duduk di samping Alexander dan menatap wajah pria itu dengan tatapan menyelidik.
"Jadi, kamu tidak pernah berniat mengatur perjodohan antara Amelia dengan Richard Handoyo?" tanya Eliza, dengan nada tak percaya.
Alexander menggeleng tegas. "Tentu saja tidak," jawab Alexander. "Aku bukan orang bodoh. Amelia adalah putriku satu-satunya. Jika pun dia harus menikah, dia harus menikah dengan pria yang baik, yang bertanggung jawab, dan terutama harus bersih.”
Elisa masih menatap wajah suaminya dengan tatapan menyelidik. Tidak tahu apakah suaminya bisa dipercaya atau tidak.
Alexander menggenggam tangan istrinya dan mengapa pada wanita itu lembut. "Beberapa waktu lalu, Handoyo datang bersama dengan Richard ke perusahaan, dan kedatangannya adalah untuk mengajukan perjodohan antara Richard dengan Amelia. Tetapi aku langsung menolaknya, Karena aku tahu persis sepak Richard di luar sana.”
"Kamu tidak sedang menipuku?” Entah apa yang membuat Eliza masih merasa ragu.
Alexander membuang nafas kasar. “Apa mungkin aku akan main-main untuk sesuatu yang menyangkut masa depan putriku?”
Elisa menggelengkan kepala mendengar pertanyaan itu. Ia juga tahu kalau Alexander memang sangat mencintai putri mereka, sama seperti dirinya yang sudah mencintai Amelia, dan tak rela membiarkan Amelia terluka.
"Padahal aku hanya ingin Amelia setuju untuk terjun ke perusahaan, tapi dasar putrimu itu yang keras kepala.” Tiba-tiba Alex kembali merasa kesal.
Elisa menatap wajah suaminya tatapan sengit. "Dia keras kepala memangnya menurun dari siapa?”
"Ya ya. Aku memang keras kepala." Alexander memilih mengalah. “Dan asalkan kamu tahu, sekarang ini kepalaku atas dan bawah sama-sama kerasnya. Sekarang kamu yang harus bertanggung jawab untuk melunakkan kembali kepala bawahku!" Serta-merta, Alexander mendorong dada istrinya hingga terjengkang di atas kasur.
"Apa yang kamu lakukan?!” Eliza terpekik kaget. Ini berontak tapi tak bisa karena kedua tangannya terkunci di atas kepala.
"Apalagi?” Alexander menatap dengan seringai licik. "Tentu saja melakukan sesuatu agar kepala bawahku tak lagi keras."
*
*
*
Pagi menyapa dengan cerah. Sinar matahari pagi yang hangat menyinari desa Karangsono. Halaman rumah Bu Sukma terlihat hijau dan segar. Tanaman sayur dan cabai milik Amelia mulai tumbuh dengan subur.
Bayam, kangkung, dan sawi hijau tumbuh subur di lobang paralon yang tersusun rapi di sepanjang pagar rumah. Sementara itu ada juga terong, cabai, dan tomat tumbuh di dalam bak bekas yang diletakkan di halaman depan.
Amelia benar-benar menerapkan ilmu yang dia peroleh dari universitas nya untuk merawat tanaman-tanaman itu. Ia menyiramnya setiap pagi dan sore. Ia juga memberikan pupuk secara teratur, serta menyemprotkan insektisida alami yang ia buat dari rendaman kulit bawang merah bawang putih dan lengkuas.
Hasilnya, tanaman-tanaman itu tumbuh dengan subur dan sehat. Amelia sangat senang melihat hasil kerja kerasnya. Bu Sukma dan Pak Marzuki juga merasa bangga. Bahkan Raka yang sesekali datang dengan alasan kebetulan lewat juga merasa takjub.
Pagi hari seperti biasa, Mas Diman datang dengan membawa gerobak penuh dengan sayuran segar.
“Yurrr sayuuurrr…!” Teriak Mas Diman nyaring memanggil pembeli.
Mas Diman memarkirkan gerobaknya di depan rumah Bu Sukma. Para ibu-ibu tetangga yang hendak berbelanja pun mulai berdatangan.
Amelia ikut berbelanja bersama dengan Bu Sukma dan para tetangga. Ia membeli beberapa barang belanjaan yang tidak ada di rumah.
Saat Amelia sedang memilih-milih sayuran, tiba-tiba, Mas Diman berceletuk. "Wah, habis gini Mbak Amel nggak akan beli sayur di tempat aku lagi nih," ucap Mas Diman, dengan nada bercanda.
Amelia terkekeh mendengar celetukan Mas Diman. Ia tahu, Mas Diman hanya bercanda. Tapi, ia merasa tidak enak hati.
"Ah, nggak juga lah, Mas Diman," jawab Amelia, dengan senyum canggung. "Nanti kan Ibu tetep butuh tahu, tempe, kelapa, sabun dan yang lain."
Mas Diman tertawa mendengar jawaban Amelia. "Aseek…," ucap Mas Diman. "Soalnya kan sayang kalo aku kehilangan pelanggan setia seperti Mbak Amel.”
"Mas Diman ini bisa aja.” Amelia kembali terkekeh. " Pelanggannya Mas Diman kan bukan cuma aku aja. Kalau cuma hilang satu orang nggak akan berefek kali, Mas."
“Ya berefek, lah, Mbak."
Sambil mendengar celotehan Mas Diman, Amelia menatap ke arah sayurannya yang baru berusia 15 hari setelah tanam. Masih butuh waktu sekitar 20 hari lagi untuk sayur-sayur itu bisa dipotong. Dan Amelia sudah mulai ingin menjalankan rencananya. Untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan Mas Diman.
"Mas Diman," panggil Amelia, dengan nada serius.
Mas Diman menoleh ke arah Amelia, dengan tatapan penasaran. "Ada apa, Mbak Amel?" tanya Mas Diman. Para ibu-ibu yang sedang berbelanja juga ikut menoleh karena penasaran.
"Gimana kalau nanti sayur-sayur Amelia, aku nitip ke Mas Diman?" tanya Amelia, menawarkan idenya.
Mas Diman yang mendengar pertanyaan itu merasa terkejut dan senang dengan tawaran Amelia. Ia memandang sayur-mayur yang ditanam Amelia.
"Kalau Mas Diman mau, kita kan bisa sama-sama untung. Yang aku tanam ini sayuran murni organik loh. Tanpa pupuk dan obat kimia," ucap Amelia, dengan nada meyakinkan.
Mas Diman mengangguk. Ia mengakui, sayuran Amelia memang terlihat sangat segar dan menggiurkan untuk dipetik. Warna hijaunya cerah, bukan hijau bercampur hitam legam akibat kebanyakan pupuk seperti sayuran yang sering ia jual.
Ia berpikir sejenak. Jika ia menerima tawaran Amelia, ia tidak perlu lagi repot-repot mencari sayuran dari pasar yang tentu harganya lebih mahal karena sudah berpindah tangan entah keberapa kali. Ia cukup mengambil sayuran dari Amelia. Apalagi saat ini sayur organik lebih diminati oleh para ibu-ibu rumah tangga.
Setelah mempertimbangkan semua hal, Mas Diman akhirnya menyetujui tawaran Amelia.
"Oke deh, Mbak Amel," ucap Mas Diman, dengan senyum lebar. "Saya setuju. Nanti kalau sayurannya sudah siap, Mbak Amel kabari saya ya."
Amelia tersenyum senang mendengar persetujuan Mas Diman. Ia merasa lega karena rencananya berjalan dengan lancar.
"Siap, Mas Diman," jawab Amelia, dengan penuh semangat. "Lagian kan Mas Diman tiap hari datang ke sini, pasti tahulah nanti."
Dan begitulah, kesepakatan pun terjadi.
bentar lagi nanam padi jg 🥰