Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Fokus Nahla, sentuhan seperti itu hal biasa untuk pasangan halal," batin Nahla mencoba biasa saja. Walau tidak bisa dipungkiri hatinya merespon lain dan serasa berbeda.
Perempuan itu mengajar seperti biasa, dan berakhir di jam yang sama. Ia baru saja keluar dari gerbang tetiba sebuah mobil menghampirinya. Rupanya Mas Hanan tepat waktu menjemputnya. Bahkan, sudah menunggu beberapa menit lalu sebelum perempuan itu keluar.
"Icha nggak ikut Mas?" tanya perempuan itu sembari memasang seatbeltnya.
"Di rumah sama simbok," jawabnya seraya kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Bagaimana ngajarnya hari ini?" tanya pria itu menoleh sejenak, lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Seperti biasa, lancar," jawabnya sudah mulai akrab.
Mobil mengarah ke rumah Nahla, pria itu bukan serta merta mengantar dan menjemput, rupanya punya maksud lain di hatinya.
"Sore Buk," sapa Hanan pada ibu mertuanya. Diikuti Nahla lebih dulu, lalu masuk ke kamarnya.
"Sore, Nak, tumben jam segini sudah barengan?"
"Hanan belum masuk ngantor Buk, rencananya mau izin bawa Nahla sekalian ke rumah, boleh kan Buk?" pinta pria itu langsung pada ibu mertuanya.
"Kalau ibu sih tidak keberatan, kalian kan juga sudah halal tinggal berdua, jadi silahkan saja kalau mau bawa Nahla."
Nahla pikir, pria itu menjemput dengan suka rela terus mengantar. Tidak tahunya malah meminta boyongan, alias membawa Nahla menetap di rumahnya.
Pria itu ikut masuk ke kamar Nahla, terlihat istrinya belum beranjak sama sekali dari tempat duduk.
"Mas, boleh nggak tinggal serumahnya nanti saja setelah nikah resmi, aku masih betah di sini. Hanya dua minggu lagi."
"Banyak hal yang harus aku kerjakan dan cukup repot menjelang pernikahan. Aku kan sendiri, jadi lebih baik pindah sekarang. Icha juga pasti seneng banget ada kamu di rumah."
Nahla nampak menimbang-nimbang. Rasanya masih terlalu berat meninggalkan rumah orang tuanya.
"Ayo berkemas, tunggu apalagi, sembari menunggu bapak pulang."
Nahla mengambil koper miliknya, mulai mengisi pakaian yang biasa dipakai untuk sehari-hari dan juga pakaian kantor. Banyak barang yang sengaja ia tinggalkan, ia membawa yang lebih dibutuhkan saja, termasuk barang penunjang kerja.
"Cuma ini?" tanya Hanan memperhatikan banyaknya barang yang tertinggal.
"Bertahap saja, lagian aku masih ingin sering pulang," jawab Nahla yang masih belum mantap. Sangat wajar, mengingat terlalu mendadak dan seperti belum siap apa pun tetiba sudah ganti status saja.
Hanan menunggu di luar sembari menunggu ayah mertuanya pulang. Tak berselang lama yang ditunggu-tunggu datang. Pria itu membiarkan Bapak rehat sejenak, lalu setelah santai beberapa menit sambil ngobrol, Hanan langsung pada intinya yang meminta memboyong Nahla.
"Boleh kan Pak?" pinta Hanan sopan.
"Tentu saja Bapak tidak keberatan, Nahla sudah menjadi hak penuh dirimu, yang aku titipkan dengan penuh tanggung jawab. Tolong jaga putri bapak, Nan, dia masih awam masalah rumah tangga, bapak sangat menyayanginya, semoga kamu pun juga begitu. Aku titip dan serahkan tanggung jawab ini nerpindah padamu, jaga seperti aku menjaganya," ucap Bapak penuh nasihat dan haru.
"Insya Allah Pak, amanat ini telah Hanan emban, semoga bisa bersama-sama terus sampai tua dan sampai jannahnya."
"Aamiin ...." Entah mengapa mendengar ucapan Bapak membuat hati Nahla sedih. Walaupun suka datar dan terlihat cuek, tetapi dalam hati seorang Bapak penyayang dan sangat peduli.
Usai berpamitan, Nahla langsung dibawa pulang ke rumah Hanan. Rumah yang dulu ia sebut sebagai rumah anak didiknya, kini resmi ia tempati bersama suami dan putri sambungnya.
"Ayo masuk!" ujar Hanan mempersilahkan istrinya.
"Iya Mas, Icha mana ya kok sepi?" tanya perempuan itu mencari-cari putrinya.
"Kalau jam segini nggak ada biasanya udah dibawa simbok pulang, nanti biar aku jemput. Ayo masuk, sini kopermu biar aku yang bawa," ujar pria itu mengambil alih dari tangan Nahla.
Perempuan itu mengekor suaminya masuk ke kamarnya. Pertama kali masuk ke sana dibuat takjub, rupanya pria itu mempersiapkan dengan begitu rapi. Dekorasi kamar pengntin langsung menyambut kedatangannya. Membuat Nahla makin bersimpati saja, ternyata seniat ini pria itu mempersiapkannya.
"Ini kamar kita sekarang, barang-barang kamu bisa ditaruh di lemari sebelah kanan sini. Kalau kiri sini punya aku," ujarnya memberi petunjuk pada satu lemari panjang. Sementara di sebelahnya lagi terdapat satu lemari yang entah isinya apa, Hanan tidak menjelaskan ataupun menjabarkan.
"Iya Mas," jawab Nahla seraya mengitari pandangan ke seluruh ruangan.
"Kalau cuma berdua di kamar kaya gini buka saja hijabnya, nggak pa-pa kan?" ujar pria itu mencoba mengakrabkan diri mengikis kecanggungan.
"Iya Mas, nanti saja, aku beresin ini dulu," jawabnya setengah grogi. Ditatap sedemikian intens oleh suami barunya itu membuat hatinya jedag jedug tak karuan.