Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27 - Sedikit (Lagi) Tentang Rajendra
Mata Aruni mendelik tajam manakala kata-kata sayang itu terlontar dari bibir Rajendra. Sebuah panggilan yang Aruni yakini kerap diobral untuk para mantannya itu terdengar menggelikan, sungguh dia tidak berkenan.
Anehnya, sikap Aruni yang demikian justru Rajendra anggap salah tingkah hingga berakhir gelak tawa. "Kamu kenapa? Salting kah?"
"Salting apanya?" Kali ini, dia menoleh demi bisa menatap lawan bicaranya.
"Salah tingkah."
"Siapapun juga tahu salting itu salah tingkah ... maksudku, siapa juga yang salah tingkah?"
"Di dalam kamar ini hanya ada kita berdua, jadi-"
"Jangan mimpi!! Perkara panggilan sayang doang nggak akan bikin aku salah tingkah, Rajendra," timpal Aruni tetap konsisten dengan suara meledak-ledak dan emosi yang berkuasa dalam benaknya.
Bahkan, dia berani hanya memanggil nama untuk Rajendra yang sejatinya lebih tua tiga tahun darinya.
Walau tidak begitu jauh, tapi tetap saja dalam keluarga mereka hal semacam ini masuk kategori tidak sopan.
Andai saja ada yang mendengar, bisa dipastikan Aruni akan disemprot habis-habisan.
Kendati begitu, bagi Rajendra sikap Aruni sama sekali tidak masalah dan tidak juga keberatan.
Baginya, panggilan nama adalah hal biasa dan dia bukan kategori seseorang yang gila hormat.
Meski satu kampus memanggilnya dengan panggilan Kak atau semacamnya, tapi panggilan nama dari Aruni sama sekali bukan masalah.
"Oh iya?" selidik Rajendra yang kini menatap Aruni dengan mata sendunya.
Dapat dipastikan bahwa dirinya telah mengantuk berat, tapi bibirnya seakan masih enggan untuk berhenti berucap.
Anggap saja tengah melakukan pillow talk, walau isinya hanya sebatas debat.
"Iya lah, dikira aku sama seperti fans-fans kamu itu? Dipanggil sayang langsung mleyot."
Seteguh itu pendiriannya, dan Rajendra yang menatap hanya tersenyum tipis, nyaris tak terlihat saking tipisnya.
"Ehm gitu." Rajendra mengangguk pelan, beberapa kali seolah tengah menyetujui pernyataan Aruni. "Lalu, aku harus gimana manggilnya biar mleyot?"
Tak segera menjawab, Aruni seketika melotot dan berakhir berdecak kesal di akhir. "Jangan banyak tanya deh, Kak ... aku mau tidur."
Kembali Aruni ke posisi semula, membelakangi Rajendra dan memeluk guling di sebelahnya.
Meninggalkan Rajendra yang sesekali masih melirik ke arahnya, kemudian perlahan ikut memejamkan mata karena sejak tadi memang dia lelah.
Tabungannya sudah terkuras demi memenuhi mahar Aruni yang bagi Rajendra cukup besar nominalnya.
Walau sebenarnya Bagas mengatakan tidak perlu diganti, Rajendra hanya perlu menggantikan posisinya saja sebagai suami Aruni, Rajendra menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa dia mampu melakukan kewajiban demi memenuhi hak Aruni sebagai istri.
Berbekal uang jajan pemberian Bagas selama bertahun-tahun, juga tabungannya atas kerja kerasnya ternyata cukup untuk memenuhi mahar Aruni.
Bahkan, masih ada sisa yang bisa dikategorikan lumayan karena kemarin, dia tetap mampu ganti rugi atas perbuatan istrinya.
Namun, untuk mandiri jelas belum bisa. Karena dia tahu, anak orang kaya seperti Aruni mana mungkin bisa betah jika hanya tinggal di apartemen sewa dengan ukuran minimalis yang hanya cukup untuk berdua.
Dan, andai hendak kost atau sewa rumah, tetap berat bagi seorang perintis yang juga merangkap sebagai karyawan seperti Rajendra untuk membayar tempat tinggal dengan fasilitas yang nyaman untuk Aruni.
Mengingat usahanya bersama Mahen - teman dekatnya itu baru jalan beberapa bulan terakhir, dan baru mulai dikenal.
Sebuah cafe yang mereka dirikan dengan modal patungan setelah cukup lama menghabiskan waktu sebagai pekerja part time di berbagai tempat sejak semester lima.
Jika orang berpikir bahwa Rajendra menghabiskan malam untuk bersenang-senang, itu tidak salah, tapi juga tidak benar.
Tidak sepenuhnya dia hanya bermain-main. Rajendra tahu betul posisinya, dia terlahir dari rahim wanita haus harta yang lebih patuh pada suami kaya dan mengabaikan hak Rajendra lantaran dianggap sebagai anak pembangkang.
Hal itu terjadi karena Rajendra menolak dengan tegas kehadiran papa tiri yang di matanya tidak lebih dari sekadar perusak rumah tangga orang.
Status konglomerat membuat pria yang pada akhirnya menjadi papa tiri Rajendra itu bertindak semena-mena dan karena itulah, Rajendra memilih enggan patuh seperti Bagaskara.
Dan karena sikapnya ini, Rajendra tak ubahnya bak anak tersisih di rumah, dan dianggap sebagai benalu.
Terlebih lagi, dia memiliki kakak dan juga adik tiri super cerewet, jelas semakin membuat posisi Rajendra terpojokan dan makin tidak nyaman.
Pun ada Bagas yang seharusnya jadi tempat berlindung, tapi pria itu tidak selalu di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktu di kantor sebagai direktur utama di perusahaan papa tirinya.
Beberapa kali Bagas memintanya untuk serius dalam menyelesaikan pendidikan agar bisa bekerja di perusahaan seperti dirinya, tapi Rajendra enggan menerima tawaran Bagas dan justru sengaja menunda agar tidak lulus-lulus karena syarat untuk bisa masuk ke perusahaan papanya untuk posisi yang Bagaskara persiapan haruslah seorang sarjana.
"Rajendra?"
"Hem?"
Pagi-pagi sekali, yang dipikirkan Rajendra sepanjang malam tiba-tiba menghubungi.
Ini adalah kali pertama setelah menikah Bagas sudi bicara padanya. Sebelumnya tidak demikian, dan Rajendra juga enggan menghubungi pria itu.
"Kau sedang apa?"
"Langsung saja pada intinya, ada apa Kakak menghubungiku?" Rajendra mengusap kasar wajahnya, dia duduk di tepian ranjang dengan Aruni yang super kepo di belakangnya.
"Uang jajanmu masih ada?"
"Sudah kukatakan tidak perlu, aku bisa bertanggung jawab atas diriku ... berhenti mengasihaniku seperti bayi."
"Bukan begitu, tiba-tiba saja aku kepikiran ... aku tahu kau memang bukan pengangguran, tapi istrimu itu Aruni, uang jajannya banyak, aku dan kedua orang tuanya pernah membahas itu sewaktu meminangnya, minimal 100 juta kira-kira satu bulannya."
Rajendra menghela napas kasar sebelum kemudian menjawab pelan. "Itu kalau dia jadi istrimu, kalau jadi istriku beda lagi."
"Mana bisa begitu, kau harus mengimbangi gaya hidupnya, Rajendra."
"Whatever, Aruni istriku ... uang jajannya ya terserah aku, kenapa jadi ngatur begitu?"
.
.
- To Be Continued -