Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
“KAMU NGAPAIN AJA, SIH?! KOK SETIAP AKU PULANG MAKANAN SELALU BELUM SIAP?!”
Shana memejamkan matanya erat. Tangannya sudah mengepal di sudut-sudut daster merah mudanya. Perkataan itu lagi. Itu itu terus yang selalu menjadi pembuka ketika Kaivan pulang.
Sikap Kaivan yang terlalu emosional ini sudah terjadi sejak lima bulan lalu. Tidak pernah terpikirkan di benak Shana bahwa laki-laki yang akan dia nikahi lima bulan lalu, adalah lelaki yang perfeksionis.
Shana hanya harus bisa mengendalikan dirinya. Tidak perlu ikut-ikutan terbawa emosi. Dia hanya harus berlapang dada, tanpa bisa berteriak balik di telinga suaminya.
“KAMU NGAPAIN AJA DI RUMAH, SHAN? HAH? JAWAB DONG!” Kaivan membalik badan dengan berkacak pinggang. Dadanya naik turun dengan wajah memerah. Memandangi Shana yang baru saja membuka mata, tanpa membalas tatapan Kaivan. Shana merasa tidak perlu melakukan itu. Dia hanya bisa mendengar teriakan-teriakan Kaivan, dan … setelah Kaivan menyelesaikan unek-uneknya, maka keadaan mereka kembali normal. Seperti pasutri pada umumnya. Biasanya seperti itu.
“Kamu pasti main hp aja, kan? Kenapa, sih?” Kaivan mendekat dan langsung memegang pundak Shana. Tidak erat, hanya ingin Shana membalas tatapannya. Namun, Shana masih memalingkan pandangannya. “Kenapa setiap aku ngomong, kamu selalu begini? Kamu selalu menghindar dari permasalahan. Lima bulan, Shana. Usia pernikahan kita sudah menginjak lima bulan. Kapan, sih, kamu berubah?”
Jleb.
Perkataan itu melekit, membuat hati Shana mencelos. Desir napasnya sudah tidak beraturan. Matanya mulai membalas tatapan Kaivan. Oh tidak. Itu hal bodoh. Karena jika Shana membalas tatapan Kaivan, air matanya pasti akan jatuh. Dan … ya, Shana mulai terisak.
Semua perkataan Kaivan, seakan-akan menodong dadanya dengan pisau kecil. Kecil, tapi yakin akan menembus kulit.
Kaivan tidak menyangka bahwa Shana akan menangis. Dia pikir Shana adalah perempuan yang kuat. Perempuan yang tidak gampang cengeng. Namun, kenyataannya tidak begitu. Shana tetaplah seorang perempuan. Makhluk yang memiliki hati serapuh kaca. Kaivan melupakan itu.
Tangan yang tadi memegang pundak Shana, mulai menjalar ke bagian punggung Shana. Tubuh Kaivan mendekat. Tangan yang lainnya mendorong tengkuk Shana agar masuk ke dalam dada bidangnya.
Hangat.
Shana memejamkan matanya, lagi. Kini, dia menikmati dekapan hangat yang diberikan Kaivan. Lihat? Ini alasannya mengapa Shana tidak pernah membantah atau membalas ucapan Kaivan. Karena hati Kaivan sangat lembut.
Mungkin saja, Kaivan marah-marah sepulang kerja karena mendapat tekanan di kantornya. Terlebih lagi, posisi Kaivan baru saja naik jabatan menjadi manager di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Pastk tekanannya tidak main-main.
“Maafin aku, ya?”
Pelan, namun sangat lembut diterima oleh telinga Shana. Di dalam dekapan hangat Kaivan, Shana tersenyum manis. Tangannya mulai terulur ke bagian belakang tubuh Kaivan, membalas pelukan lelaki itu. “Iya, Mas. Aku juga minta maaf. Belum bisa jadi istri yang baik buat—”
Perkataan Shana terpotong oleh suara bising dan aroma hangus dari wajan di dapur. Keduanya refleks berlari ke arah yang sama. Asap mengepul di udara. Tangan Shana cekatan mematikan kompor. Kepalanya menoleh pada wajah Kaivan yang berada di sisinya, sedang menghembuskan napas lega. “Untuuung aja cepat. Kalo enggak, bisa berabe.”
Shana tersenyum saat telapak tangan Kaivan mengacak puncak kepalanya. Dia pikir Kaivan akan mengomelinya lagi. Ternyata tidak. “Mas?”
“Hm?” Kaivan bergerak mengambil air minum. Wajahnya melirik sekilas pada Shana yang berdiri di belakangnya.
“Aku … masak lagi aja, ya. Kamu nggak apa-apa ‘kan kalau harus nunggu lagi?” Ragu, namun Shana berusaha keras agar Kaivan tidak kembali marah.
Kaivan menaikkan alisnya satu, bersamaan dengan gerakan tangannya yang meletakkan gelas. Kini, dia bergerak mendekati Shana. Tangannya memainkan ujung rambut Shana hingga wajah mereka berdekatan. “Nggak usah. Kita go-food aja. Sekarang … kita ke kamar, yuk. Mas, gerah nih dari tadi liat kamu pake daster ginian.”
Kaivan dengan cepat menggendong tubuh Shana ala bridal style. Merengkuhnya dengan lembut, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar yang telah dirapikan. Kaivan hanya tersenyum saat Shana menutup wajahnya malu-malu. Walaupun sudah lima bulan, tapi mereka masih fresh sebagai pasutri baru.
Tangan Kaivan dengan lembut meletakkan tubuh mungil Shana di atas ranjang. Matanya menatap mata cokelat milik Shana. Mata yang selalu menjatuhkan hatinya. Setelah memastikan tubuh mungil Shana sudah bersandar di sandaran ranjang, wajah Kaivan mulai mendekat.
Desiran halus menerpa hati keduanya. Debar-debar di dada tidak pernah hilang jika mereka bersama. Shana masih dengan senyum malu-malunya. Tangannya kadang mendorong dada Kaivan dengan pelan, namun Kaivan pandai menenangkan Shana.
Saat wajah Kaivan sudah sangat dekat, bibir mereka berjarak dua sentimeter. Shana mulai bertanya, “M-mas? Kamu katanya ma-mau pesan go-food? Ng-nggak jadi, ya?” Shana tampak salah tingkah. Perkataannya barusan menggelitik perut Kaivan, akhirnya dia pun tertawa kecil.
“Kamu grogi banget,”ujar Kaivan. Dan, Shana tidak menjawab. Bibirnya hanya terkatup rapat saat Kaivan mulai memberinya kecupan di bibir. “Hanya kecupan, tapi kamu sudah panas dingin.” Kaivan mulai mendaratkan satu kecupan lagi. Dia tersenyum senang melihat Shana yang masih mematung grogi. Lalu, wajahnya mulai mendekat dengan tangan yang mendorong tengkuk Shana. Bukan kecupan lagi. Kali ini Kaivan memberikan ciuman hangat nan lembut. Melumat dan bergerak liar hingga bibir Shana mulai membuka.
Shana mulai menikmati ciuman liar Kaivan. Kaivan sangat pandai membuatnya bungkam dan menikmati walau hanya sebuah ciuman. Liar, tapi lembut, makanya Shana senang. Tangan Kaivan mulai bergerak liar, membuat Shana menggigit bibirnya kuat. Melihat itu, Kaivan cekikikan. Dia mulai melepaskan Shana, berdiri di sisi ranjang. Tangannya mulai bergerak melepas kancing kemeja putihnya satu per satu.
Mata Shana mengerjab beberapa kali dengan air liur yang susah ditelannya beberapa kali. Melihat pemandangan di hadapannya, membuat tubuh Shana kembali panas dingin. Seperti ada aliran listrik yang menyengat dan mendebarkan di dadanya. Padahal ini bukan kali pertama, tapi entah kenapa setiap melihat roti sobek dan bahu kokoh milik Kaivan, hati Shana selalu menjerit. Ribuan kupu-kupu menghinggapi perutnya, membuatnya menikmati kesenangan ini.
Kaivan terkekeh kecil melihat Shana meremas ujung daster merah mudanya dengan pipi merona. Kaivan tahu pikiran Shana sudah kemana-mana sekarang, dan itu cukup membuat Kaivan mulai melepaskan kemejanya dan mendekati Shana lagi. Tangan Kaivan menggenggam tangan Shana, keduanya bersitatap dengan jantung berdebar. “Kamu cantik banget, Shan. Bikin aku kangen rumah terus. Pengen deh cepat-cepat punya anak perempuan yang cantik kayak kamu.”
Shana menunduk, menyembunyikan pipinya yang semakin memerah. Lalu, “Langsung digas aja.” Pelan, namun dapat didengar Kaivan. Menggelitik perutnya, namun Kaivan segera melakukannya. Dia tidak menyia-nyiakan waktu ini.