Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.
Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Pasukan Badung milik Aryandra yang berjumlah 1.000 orang tiba-tiba dihadang oleh sekelompok orang tak dikenal. Mereka tampak seperti sekumpulan remaja lokal dengan sorot mata tajam penuh niat jahat. Tujuannya mereka jelas merampas makanan yang dibawa oleh pasukan Badung.
"Selamat datang di Kediri!" Sambut salah seorang remaja dengan suara lantang. "Tinggalkan gerobak-gerobak berisi makanan itu, lalu kalian diperbolehkan melanjutkan perjalanan!" Ancamnya kepada Pasukan Badung.
Alex, yang mendengar perkataan itu, seketika tak bisa menahan tawa. Sungguh lucu melihat puluhan remaja yang hanya bersenjatakan tombak berani mengancam seribu pasukan bersenjata lengkap. Meski mereka berada di atas gedung dan bisa menyerang dari balik atap, tombak yang mereka miliki pasti terbatas. Pada akhirnya, mereka akan kehabisan senjata sebelum bisa memberikan perlawanan yang berarti.
“Hahaha,” Alex menyeringai. “Berani sekali kalian mencoba merampok kami. Apa kalian tidak melihat kami sedang membidik kalian dengan panah dan senapan?”
Suasana pun memanas. Sorot mata para remaja itu berubah menjadi penuh amarah dan ketidaksabaran. Pemimpin mereka, seorang remaja dengan tatapan tajam, mengangkat tangan kanannya. Gerakan itu seperti aba-aba bagi pasukannya untuk bersiap.
“Baiklah, kalau begitu…” Ucapnya dengan dingin, lalu mengayunkan tangannya ke bawah. “TEMBAK!”
Seketika, puluhan tombak kembali menghujan dari atas gedung. Meski tubuh mereka ramping, lemparan tombak mereka tidak main-main. Beberapa tombak berhasil menembus tameng dan menancap di tubuh pasukan Badung. Beberapa prajurit terjatuh dan menjerit kesakitan.
Aryandra dan Alex tertegun. Mereka tidak menyangka serangan sekecil itu bisa memberikan dampak yang signifikan.
“Wah, mereka kuat juga.” Gumam Aryandra, matanya menyipit penuh kewaspadaan.
Namun, seperti yang telah diprediksi, tombak mereka cepat habis. Para remaja itu pun mulai terlihat panik dan kebingungan. Mereka tidak punya pilihan selain mundur sekarang.
“Mohon izin untuk menembak, Aryandra!” Seru salah satu prajurit sudah siap dengan senapannya.
“Benar, mereka sudah kehabisan senjata. Sekarang saatnya kita balas!” Tambah prajurit lainnya.
“Tahan dulu, kita akan—” Sebelum Aryandra selesai bicara untuk menenangkan pasukannya, pemimpin remaja itu sudah memberikan perintah lagi.
“SERANG!”
Dengan gerakan cepat, para remaja itu mengeluarkan parang dan belati dari balik punggung mereka. Parang dan belati itu berkilat di bawah sinar matahari pagi, memberikan sedikit intimidasi kepada Pasukan Badung.
Mereka melompat dari atas gedung, mendarat dengan lincah di tanah, lalu langsung menyerbu pasukan Badung. Ayunan parang mereka begitu kuat, bahkan tameng kayu pasukan Badung bisa dihancurkan dalam dua hingga tiga tebasan.
“Jangan mundur sebelum mendapatkan makanannya!” Teriak sang pemimpin dengan suara menggelegar.
Semangat mereka berkobar-kobar. Meski satu orang harus melawan lima prajurit atau lebih, mereka terus menyerang dengan gigih, berusaha melumpuhkan pasukan Badung satu per satu.
Namun, pertarungan ini jelas tidak seimbang. Meski para remaja itu memberikan perlawanan terbaik mereka, melawan seribu pasukan Badung adalah hal yang hampir mustahil.
“Baik, pasukan!” Seru Aryandra dengan suara tegas dan penuh wibawa. “Lumpuhkan mereka dengan tameng, lalu ambil senjata mereka satu per satu!”
Tanpa ragu, pasukan Badung bergerak sesuai perintah. Tameng-tameng besar mereka menghantam tubuh kurus para remaja itu dengan kekuatan penuh. Suara benturan dan jeritan kesakitan seketika memenuhi udara. Senjata para remaja pun satu per satu direbut ketika mereka berhasil dilumpuhkan.
“Sialan…” Gerutu sang pemimpin kelompok remaja itu dengan wajah berkerut kesal. Meski begitu, ia tidak menyerah. Dengan belati di kedua tangannya, ia terus menyerang serta menangkis tameng yang datang dari segala arah dengan sekuat tenaga.
Namun, perlawanannya berakhir ketika Alex tiba-tiba muncul di hadapannya. Dengan satu pukulan telak di wajah, sang pemimpin kelompok remaja itu terhempas ke tanah, seketika tak sadarkan diri.
“Hah…” Alex mendengus ketika menatap tubuh remaja itu yang tergeletak tak berdaya. “Anak ini gigih sekali, ya,” Ujarnya sambil menggaruk kepala dengan rasa kagum dan keheranan terpancar dari sorot matanya.
...***...
Setelah kekacauan kecil di pagi hari ini, Aryandra memeriksa keadaan pasukannya yang terluka. Syukurlah, tidak ada satu pun dari mereka yang menderita luka di organ vital. Hanya luka-luka ringan yang bisa diatasi dengan cepat. Namun, Aryandra tetap memastikan setiap prajuritnya mendapatkan perawatan yang layak.
Sementara itu, para remaja yang menyerang mereka dikumpulkan di pinggir jalan dengan tangan terikat kuat di belakang punggung. Sebagian besar dari mereka sudah sadar, meski wajah mereka masih dipenuhi rasa kesal dan kekalahan. Hanya sang ketua kelompok yang masih tergeletak tak sadarkan diri.
Mengingat Pasukan Badung tidak bisa berlama-lama di situ, Aryandra memutuskan untuk menginterogasi para remaja yang sudah sadar. Namun, upayanya sia-sia. Mereka menolak berbicara tanpa izin dari ketua mereka.
Melihat situasi itu, Alex mengambil inisiatif. Dengan gerakan cepat, ia menyiramkan air dari botol minumnya ke wajah pemuda yang masih pingsan itu.
“Uhuk… huk… uhuk!” Pemuda itu tersedak dan bangun tiba-tiba karena air yang masuk ke hidungnya. Matanya terbuka lebar, penuh kebingungan dan kemarahan. “Sialan kau!” Umpatnya dengan suara serak penuh amarah.
“Atur napasmu dulu.” Kata Alex dengan nada datar, tak terganggu oleh kemarahan pemuda itu. “Pemimpin kami ingin menanyakan beberapa hal kepadamu.” Setelah mengatakan itu, Alex melangkah pergi, meninggalkan Aryandra berhadapan langsung dengan sang ketua dari kelompok remaja itu.
Aryandra duduk di hadapan pemuda itu dengan tenang. Senyuman kecil mengambang di bibirnya memancarkan aura kehangatan. Ia mencoba menenangkan suasana, meski sorot mata remaja itu masih penuh permusuhan.
“Apa yang kau mau?” Tanya pemuda itu dengan nada kesal, matanya menyipit menatap Aryandra.
“Hmm…” Aryandra berpura-pura memikirkan pertanyaan, meski sebenarnya ia sudah tahu apa yang ingin ditanyakan. “Pertama-tama, biar aku tahu namamu dulu,” Ujarnya dengan suara lembut namun tetap berwibawa.
“Jodi. Aku biasa dipanggil Jodi,” Jawabnya singkat dengan nada suara ketus.
“Oke, namaku Aryandra, pemimpin Pasukan Badung saat ini. Aku datang ke Tabanan untuk bertemu dengan pemimpin kalian.” Aryandra memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan tujuannya.
Jodi mendengus sinis. “Hah! Pak tua itu bukan pemimpin kami lagi.” Ujarnya sambil memalingkan wajah, seolah enggan melanjutkan percakapan.
Aryandra tidak terkejut. “Aku mengerti. Dia mengambil makanan kalian secara paksa, kan?” Ucapnya perlahan, mencoba memancing reaksi.
Jodi terkejut dan matanya membesar. “Darimana kau—” Tanyanya, tapi sebelum kalimatnya selesai, ia menyadari sesuatu. “Oh, kalian menggali informasi dari kelompok yang menjarah Mengwi itu, ya?”
Aryandra tersenyum lebar dengan hangat. “Benar sekali, hahaha. Kau kenal mereka?” Tanyanya mencoba menjalin kedekatan.
“Iya, aku kenal beberapa orang dari mereka.” Jawab Jodi, kali ini nada suaranya sedikit lebih lunak.
“Baiklah, kalau begitu langsung saja ke intinya, ya. Aku mau tahu berapa banyak dan sekuat apa Pasukan Keamanan Tabanan itu. Apa kau tahu sesuatu tentang mereka?” Tanya Aryandra, matanya penuh rasa penasaran.
Jodi menghela napas seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab atau tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk berbicara. “Jumlah mereka sebenarnya nggak terlalu banyak. Tapi jika mereka berhadapan dengan pasukan yang kau bawa sekarang, tentu mereka akan lebih unggul dalam hal jumlah.” Jelasnya.
“Tapi kalau soal persenjataan, aku berani bilang kalian lebih unggul. Aku sangat jarang melihat Pasukan Keamanan membawa panah, apalagi senapan. Mereka hanya berkeliaran membawa pedang dan parang saja. Selain itu, kebanyakan dari mereka berjaga di wilayah perbatasan Jembrana dan Tabanan, sehingga tidak terlalu banyak yang berjaga di kota.” Tambahnya.
Aryandra mengangguk puas. Informasi itu sangat berharga baginya. “Oke, terima kasih atas jawabannya.” Ujarnya sambil berdiri. “Sebagai imbalan, kami akan memberi kalian sedikit makanan dan air. Tapi sebelum itu, kami mau sembahyang pagi terlebih dahulu.”
Jodi terkejut. Matanya terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Meskipun ia dan pasukannya telah mencoba merampok Pasukan Badung, bahkan melukai beberapa dari mereka, Aryandra tetap bersedia memberikan mereka makanan dan air. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya. Akan tetapi, ia berusaha menutupinya dengan tetap menjaga ekspresi wajahnya yang keras.
...***...
Setelah selesai melaksanakan persembahyangan, Aryandra menepati janjinya dengan melepaskan kelompok remaja itu serta memberi mereka makanan dan air. Para remaja itu terlihat bingung, seolah tidak percaya bahwa masih ada kebaikan di tengah zaman krisis seperti ini.
“Terima kasih…” Ucap Jodi dengan suara pelan. Matanya menatap Aryandra dengan campuran rasa syukur dan rasa bersalah. Ia seolah tidak yakin apakah ini sebuah mimpi atau kenyataan.
“Sama-sama. Semoga Tuhan memberkati kalian.” Balas Aryandra dengan senyum hangat sebelum berbalik dan meninggalkan mereka.
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan!” Seru Aryandra kepada pasukannya dengan penuh semangat.
Dengan langkah yang mantap, Pasukan Badung melanjutkan perjalanan menuju kota Tabanan. Hanya dalam 40 menit, mereka sudah memasuki wilayah kota tersebut. Suasana di Tabanan jauh berbeda dengan Kediri.
Kota ini terlihat lebih ramai dan hidup. Orang-orang berlalu-lalang membawa hasil panen serta hewan ternak mereka. Di tengah keramaian itu, Pasukan Keamanan Tabanan terlihat berpatroli menggunakan rompi hitam dengan aksen merah di pundaknya. Seragam itu menjadi sebuah lambang yang sangat ikonik bagi mereka.
Namun, baru beberapa detik Aryandra dan pasukannya menginjakkan kaki di Tabanan, mereka sudah dihadang oleh beberapa anggota Pasukan Keamanan.
“Berhenti!” Teriak salah satu dari mereka, tangannya terangkat sebagai isyarat untuk menghentikan langkah Pasukan Badung. “Siapa kalian dan apa tujuan kalian datang ke sini?” Tanyanya dengan nada tegas.
Aryandra melangkah maju sebagai seorang pemimpin. Sikapnya tenang dan juga penuh wibawa. “Aku Aryandra, pemimpin Pasukan Badung. Kami datang ke sini untuk mendiskusikan beberapa hal dengan pemimpin kalian.” Jawabnya dengan jelas.
Salah satu anggota Pasukan Keamanan langsung berbalik dan berlari menuju kudanya yang terparkir di dekat tiang listrik. Ia menaiki kudanya dengan cepat dan pergi untuk melaporkan kedatangan Pasukan Badung kepada pemimpinnya.
“Apa yang ingin kau diskusikan dengan Pak Cipta?” Tanya salah satu orang yang menghadang mereka dengan mata yang menyipit penuh kecurigaan.
“Oh, jadi Bapak Bupati Tabanan masih memimpin sampai sekarang?” Ujar Aryandra kagum, tak menyangka bahwa Cipta berhasil memimpin Tabanan hingga sekarang. “Beliau orang yang hebat, ya!” Pujinya tulus.
Namun, pujian itu justru membuat wajah orang itu berkerut kesal. Begitu juga dengan anggota Pasukan Keamanan lainnya yang berdiri di belakangnya. Mereka tampak tidak nyaman dengan basa-basi Aryandra.
“Nggak usah basa-basi! Katakan apa tujuan kalian datang ke sini?!” Bentak orang itu dengan nada suara yang meninggi.
“Cih, sok galak banget.” Celetuk Alex dengan nada menyindir kesal.
Aryandra yang mendengar itu langsung menendang pelan kaki Alex, memberinya isyarat untuk diam. Ia kemudian menjelaskan dengan tenang kepada prajurit keamanan di depannya.
“Begini, beberapa warga kalian telah melakukan aksi penjarahan di Mengwi. Kami juga mengetahui bahwa kalian sedang mengalami masalah serius. Jadi, kami datang untuk menawarkan bantuan berupa perjanjian yang akan menguntungkan kita berdua.”
Mendengar penjelasan itu, anggota Pasukan Keamanan saling berpandangan satu sama lain. Mereka berbisik-bisik, seakan mendiskusikan apa yang harus dilakukan terhadap tamu dari Badung ini.
“Ekhem…” Salah satu dari mereka akhirnya melangkah maju, mendekati Aryandra. “Kalau begitu, biarkan kami mengawal kalian menuju kantor Bupati Tabanan.” Tawarnya, kali ini dengan nada yang sedikit lebih ramah.
Aryandra mengangguk, lalu mengikuti Pasukan Keamanan Tabanan menuju kantor Bupati bersama pasukannya. “Baiklah, terima kasih banyak.” Ucap Aryandra dengan senyuman hangat menyeringai di wajahnya.
Dengan ini, mereka bisa bertemu langsung dengan Cipta, sang Bupati Tabanan, untuk menyelesaikan permasalahan di antara mereka berdua.