Berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus tak membuat Mario Ericsson Navio kewalahan. Istrinya pergi meninggalkan dirinya dengan bayi yang baru saja dilahirkan. Bayi mereka ditinggalkan sendirian di ruang rawat istrinya hingga membuat putrinya yang baru lahir mengalami kesulitan bernapas karena alergi dingin.
Tidak ada tabungan, tidak ada pilihan lain, Mario memutuskan pilihannya dengan menjual rumah tempat tinggal dia dan istrinya, lalu menggunakan uang hasil penjualan untuk memulai kehidupan baru bersama putri semata wayang dan kedua orang tuanya.
Tak disangka, perjalanannya dalam mengasuh putri semata wayangnya membuat Mario bertemu dengan Marsha, wanita yang memilih keluar dari rumah karena dipaksa menikah oleh papinya.
“ Putrimu sangat cantik, rugi sekali pabriknya menghilang tanpa jejak. Limited edition ini,” - Marsha.
“Kamu mau jadi pengganti pabrik yang hilang?”
Cinta tak terduga ! Jangan lupa mampir !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baby Iren
‘Oekkk… oekkkk.. Oekkkk’ suara tangisan bayi terdengar sangat nyaring. Mario pria itu berusaha melepaskan pakaian putrinya. Dia akan belajar memandikan putrinya. Vion mantau gemas putranya yang terlihat sangat kaku.
‘Oekkk… Oekkkk… Oekkk…’
“Heeeehhh Rio ! Bukan begitu cara bukanyaaaaa.. Bisa memar tangan cucu ibu kalau kamu begitu pegang tangannya !!” pekik Vion saat putranya memegang tangan Maureen untuk melepaskan baju yang dikenakan Maureen.
“Nggak kuat kok bu, udah lembut ini !” seru Mario kesal direcoki oleh ibunya sendiri.
“Aduhhhhhh… ngilu ibu liatnya. Sini ! Biar ibu yang lepasin. Ntar yang lepas bukan bajunya ..”
“Terus kalo yang lepas bukan bajunya, lalu apa bu ?” tanya Mario polos.
“Tangannya !” ketus Vion merasa gemes dengan pertanyaan putranya.
“Ya, jangan dong bu ! Gimana sih bu,” cebik Mario.
“Sudahlah, ibu saja yang mandiin. Kamu siapkan peralatan mandinya, handuk, pakaiannya dan alat dandannya Maureen !” perintah Vion.
“Alat dandan ? Untuk apa bu ??? Bayi Rio masih kecillll !!”.
“ Lihatlah, cu. Ayahmu itu udah b*d*h, kaku, hidup lagi !” adu Vion entah mengapa hal itu membuat Maureen tersenyum kecil.
“Wowwww cucu nenek senyummmmm, manis kaliiiiii…”
Mendengar perkataan Vion, Mario segera melihat putrinya yang ternyata tidak tersenyum. Mario mencebik kesal.
“Ibu ngadi-ngadi,” Namun, tanpa Mario sadari putrinya memang benar tersenyum hanya saja saat ayahnya ingin melihat dirinya tersenyum Maureen merubah ekspresinya. Mario memilih keluar rumah, hari ini dia meminta ijin untuk tidak bekerja dan akan bekerja kembali di hari esok. Karena dia ingin menghabiskan waktu bersama putrinya dirumah.
“Ayahmu itu yang ngadi-ngadi,”.
Setelah Vion memandikan Maureen, wanita paruh baya itu memasang Maureen pakaian yang dipilih Mario untuk cucunya.
“ Wowwww, cucu nenek cantik sekali !”.
“Oaaaa…”
“Hahaha, senang ya dipanggil cantik.”
“Oaaaa…”
Tawa Vion menggema di ruang tamu. Dia membawa cucunya untuk duduk di luar rumah dimana putranya bersantai. Suaminya sudah berangkat ke toko tadi pagi untuk melihat stok barang disana.
“Ayah… Iren sudah mandi !” seru Vion menirukan suara anak kecil.
Suasana pagi di rumah orang tua Mario terlihat adem. Apalagi semalam baru saja turun hujan. Mario takut sesak nafas putrinya kambuh sehingga dia tidur memeluk putrinya agar tetap hangat.
“Anak ayahhh… cantiknyaaa” mendengar pujian ayahnya bayi cantik itu tersenyum manis dalam gendongan Vion.
“Ihhh, Iren senyum bu. Anak aku senyum !!” pekik Mario yang membuat Maureen terkejut.
“Kamu ini ! Anakmu sampai terkejut loh !!”.
“ Ya– Ya maaf bu,” ucap Mario mengusap tengkuknya yang tak gatal.
Vion mengajak putranya untuk membicarakan kemana Dea yang sudah dua hari tidak pulang. Vion sedikit merasa kesal kepada menantunya itu. Dia awalnya tidak menyetujui pernikahan putranya yang dadakan. Saat dirinya mulai ikhlas menerima pernikahan putranya, malah dirinya kembali dibuat kesal dengan hilangnya sang menantu.
“Istrimu benar-benar seperti, seperti jel4ngkung ! Tiba-tiba menghilang, “.
“ Bu….”
“Apa ? Kami mau bela istrimu itu ? Bahkan anakmu ini belum minum asi ibunya loh ! Kamu kira minum susu formula itu bagus ? “.
“ Kata dokter bagus kol, bu. Asal minum susu aja yg sesuai kebutuhan,” ucap Mario yang mana membuat kepala Vion mengembang.
“Punya anak laki, ot4knya ketiban jel4ngkung ?”.
“Waaaaahhhh, ada dedek bayiiiii !! ” seru seorang anak perempuan mengenakan seragam paudnya. “ Mama, Balla mau liat dedek bental ya !” ijin anak itu kepada ibunya yang dibalas anggukan.
“Eh, Barra sudah pulang sekolah ?” ucap Vion kepada anak tetangganya.
“Sudah nek, “ jawab Barra. Anak itu menghampiri Vion dan Mario yang duduk di kursi bambu.
“Ini anak na om Malio ?” tanya Barra dengan nada lucu.
“Iya anak om Rio. Cantikkan ?” kata Mario membuat Barra mengangguk polos. Rambutnya yang lepek karena keringat terlihat begitu menggemaskan.
“Om, nanti Balla main cama dedek bayi boleh nda ?” tanya Barra pelan seraya memegang tangan Maureen yang tertutup sarung tangan.
“Boleh kok, tapi Barra ganti seragam dulu. Baru nanti, ke rumah om main sama dedek Maureen..”
“Ooo namanya dedek Ulin ya ?”
“Ureen, bukan urin..” ucap Mario memperbaiki pengucapan Barra.
“Ureeennnn.. E nya double…” kata Mario.
“Ih kamu ini, “ tepuk Vion kepada putranya. “ Barra panggilnya dedek Iren aja ya, biar mudah Barra manggilnya….”
Barra mengangguk. “ Dedek Ilen,”.
“Sayang, ayo ganti seragam dulu. Nanti baru main ke rumah nenek Vion..”
“Iya mama. Dedek Ilen, abang Balla pulang dulu ya, nanti abang ke lumah dedek. Kita main !” seru Barra lucu.
Setelah berpamitan, Barra dan ibunya berjalan ke rumah mereka yang hanya beberapa langkah dari rumah orang tua Mario.
*
*
*
*
*
“Maksud papi apa ?!!! Papi mau nikahin Marsha sama pria itu ??? Piii !!! Marsha masih muda, kenapa papi tega terima lamaran pria itu !!”
“Umur kamu sudah dua puluh satu tahun, Marsha. Papi takut tidak ada pria yang mau menerima kamu !” seru Gilbert kepada putri bungsunya.
“ Kakak aja yang umurnya tiga puluh tahun, kenapa nggak didesak nikah ?? Kenapa harus Marsha pi ?”.
“Aduhhh, kamu nggak ngerti. Kalau papi bilang kamu nikah ya kamu harus mau !” seru Nella kesal karena putri bungsu suaminya tidak mau menuruti keinginan mereka.
“Kalau begitu, suruh saja putrimu yang menikah !” ucap Marsha tajak ke arah ibu tirinya.
“Marsha jaga ucapanmu ! Jangan tidak sopan kamu sama ibumu !!” bentak Gilbert membuat Marsha tersentak kaget.
“Dia bukan ibu Marsha, pi !”
“Ada apa sih kalian, berisik banget. Turutin aja deh, Marsha lagian umurmu dua puluh satu tahun. Takutnya nggak ada laki-laki yang mau sama kamu !” ketus Dora.
“Apa bedanya aku sama kamu ! Umur kita sama, kamu saja yang nikah !” marah Marsha. Lalu dia menatap papinya tajam.
“Kalau papi terus memaksa Marsha untuk menikah, lebih baik Marsha pergi dari rumah !” ucapnya tegas.
“Keluar kamu dari rumah ini jangan harap kamu bisa kembali dan ingat semua fasilitas yang papi berikan jangan ada satupun yang kamu bawa !!” ancam Gilbert.
Mendengar ancaman itu tak membuat Marsha takut. Dia mengangguk tegas. Berjalan naik ke lantai atas. Di kamarnya, Marsha mengambil kalung peninggalan ibu kandungnya. Kartu atm yang dirinya buat tanpa sepengetahuan papinya. Dia juga menyelipkan beberapa berkas, pakaian dan hadiah dari kakak kandungnya yang memilih tinggal di kota lain.
“Maaf mi, Marsha terpaksa keluar dari rumah ini,” ucapnya memeluk bingkai foto mendiang ibunya. “Nenek gayung itam lope, bikin Marsha engap,”.
Marsha dengan langkah tegap keluar dari kamarnya. Dia hanya membawa tas ransel lama yang diberikan abangnya. Melewati Gilbert begitu saja.
“Ingat jangan pernah injakan kaki ke rumah ini lagi !”. Marsha memilih tidak menghiraukan. Dia pergi tanpa tahu mau kemana.
Sementara di rumah orang tua Mario. Barra berusaha menenangkan Maureen yang menangis. Bocah itu terlihat frustasi karena Maureen tak berhenti menangis.
“Janan nanis ! Janan nanis !” ucap Barra panik.
“Pok, Pok lepok.. Patah kayu lepok.. Lepokna dimakan api, api na keculupan. Bengkokna dimakan api, api na keculupan…”
“Dedek Ilen janan nanis, nanti dikaci ail cucu !” seru Barra berusaha membuat Maureen berhenti menangis.
“Oaaaaa…” Saat Barra menyebut air susu, ajaibnya Maureen berhenti menangis hal itu membuat Maureen melongo.
“Benelan mau cucu ? Tapi Abang Balla nda punya cucu, gimana dong ?” katanya sambil mer4b4 d4d4 tanpa kembungan.
“Mau cucu ya ?” kedua mata Maureen mengerjap lucu. “ Bental ya, Abang Balla nego dulu cama mama na Abang Balla. Cucuna mama abang cepeltina macih ada stok buat dedek..”
“Sabal ya,” Barra beranjak dari duduknya berjalan ke arah jendela kamar Mario yang menghadap keluar rumah. Dia melihat mamanya sedang mengobrol dengan Vion di teras rumah.
“MAMAAAAAA !!! DEDEK ILEN MAU CUCUUUUU NA MAMAAAAAA !! NEGO DIKIT BOLEH NDAAAA ???!!”
“Ha ?!”