Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Anggun duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela yang hanya menyajikan kegelapan malam. Dingin merayapi kulitnya, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil—melainkan jawaban Kala.
"Aku tidak tahu."
Kata-kata itu terus berputar di kepalanya, seperti rekaman yang diputar ulang tanpa henti. Dadanya terasa sesak, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar mempertanyakan keberadaannya di rumah ini. Apakah ia hanya seorang istri dalam status, tanpa makna, tanpa rasa?
Di luar kamar, langkah kaki terdengar mendekat. Kala. Anggun tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Pria itu berhenti di ambang pintu, diam selama beberapa detik sebelum akhirnya bersuara.
"Anggun…"
Nada suaranya terdengar lebih berat dari sebelumnya, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di tenggorokannya.
Anggun tidak menjawab.
Kala mendekat, duduk di tepi ranjang, tapi masih menjaga jarak. "Aku tidak ingin kau salah paham."
Anggun tertawa kecil, getir. "Salah paham? Tentang apa? Tentang kenyataan bahwa kau bahkan tidak tahu apakah kau mencintaiku atau tidak?"
Kala mengusap wajahnya dengan frustasi. "Aku hanya tidak ingin memberi harapan palsu."
"Bagus," Anggun menjawab cepat. "Setidaknya kau masih memiliki sedikit hati nurani untuk itu."
Kala menunduk, diam.
Suasana dalam kamar itu begitu sunyi, hanya diisi oleh tarikan napas keduanya yang berat. Anggun akhirnya berdiri dan berjalan menuju lemari.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Kala, mengangkat kepala.
"Pergi."
Kala langsung bangkit. "Apa?"
Anggun membuka lemari dan menarik koper dari dalamnya. Ia mulai memasukkan beberapa baju dengan gerakan cepat dan kaku.
"Anggun, hentikan." Kala meraih pergelangan tangannya, tapi Anggun dengan cepat menarik diri.
"Kenapa? Kau bilang sendiri, kan? Kau tidak tahu apakah kau mencintaiku atau tidak. Kalau begitu, untuk apa aku tetap di sini?"
Kala menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. "Aku tidak ingin kau pergi."
"Kenapa? Karena kau peduli?" Anggun tertawa sinis. "Atau karena aku hanya seseorang yang kebetulan ada di sini?"
Kala mengatupkan rahangnya. "Karena aku tidak bisa kehilanganmu."
Anggun berhenti memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Kata-kata itu begitu mengganggunya. "Kala, jangan membingungkan aku. Jangan membuatku berpikir kau menginginkanku jika kau sendiri tidak yakin."
"Aku hanya butuh waktu," desak Kala.
"Berapa lama?"
Kala terdiam.
Anggun menghela napas dalam. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin dicintai, Kala. Aku ingin tahu bahwa aku ada di hidup seseorang bukan hanya sebagai istri dalam nama, tapi sebagai seseorang yang benar-benar berarti."
Kala merunduk. "Anggun, aku…"
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara ponselnya berbunyi. Kala menghela napas, mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan melihat layar.
Anggun memperhatikan wajahnya berubah.
"Siapa?" tanyanya dingin.
Kala mengabaikannya dan menekan tombol jawab. "Halo?"
Anggun tidak bisa mendengar suara di seberang, tapi ia melihat rahang Kala mengencang.
"Aku akan ke sana sekarang," kata Kala, lalu menutup telepon.
"Siapa?" ulang Anggun, lebih tajam kali ini.
Kala menghela napas. "Ada urusan kantor. Aku harus pergi."
Anggun tertawa pahit. "Tentu saja."
Kala berjalan menuju pintu, lalu berhenti sejenak. "Jangan pergi, Anggun. Aku akan kembali."
Anggun tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu, membiarkan tatapannya menyampaikan semua luka dan kecewa yang ia rasakan.
Kala menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari kamar, meninggalkan Anggun sendirian dalam kegelapan.
Beberapa jam kemudian…
Pintu rumah terbuka dengan keras, menandakan kedatangan Kala. Anggun, yang duduk di sofa dengan tatapan kosong, mendongak melihatnya.
Kala tampak lelah, tetapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang membuat Anggun mengernyit.
"Kau belum tidur?" tanya Kala, menutup pintu.
"Sudah tidak bisa," jawab Anggun dingin. "Urusan kantor yang begitu penting, huh?"
Kala tidak langsung menjawab. Ia membuka jasnya, melemparkannya ke sofa, lalu duduk di hadapan Anggun.
"Ada sesuatu yang harus kau tahu," katanya akhirnya.
Anggun menyilangkan tangan di dada. "Apa?"
Kala menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Aku tahu aku terlihat seperti seseorang yang tidak peduli. Aku tahu aku sulit untuk dimengerti. Tapi, ada alasan kenapa aku seperti ini."
Anggun mengernyit. "Maksudmu?"
Kala menarik napas panjang. "Dulu, aku pernah kehilangan seseorang."
Anggun menegang.
"Dia adalah seseorang yang sangat berarti bagiku. Aku berpikir bahwa aku mencintainya… bahwa dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa hidup."
Anggun tidak mengatakan apa-apa, hanya menunggu kelanjutannya.
"Tapi pada akhirnya, dia pergi," lanjut Kala dengan suara pelan. "Dan aku sadar, mungkin aku tidak cukup baik untuk siapa pun. Mungkin aku hanya akan membuat orang-orang yang bersamaku terluka."
Anggun merasakan sesuatu mencubit hatinya. "Kala…"
Kala menatapnya, matanya penuh luka. "Aku tidak ingin itu terjadi lagi, Anggun. Aku tidak ingin menyakitimu. Itu sebabnya aku tidak pernah berani mengatakan apa pun tentang perasaanku."
Anggun merasa dadanya semakin sesak. "Jadi, kau menahanku di sini karena kau takut kehilangan, tapi kau juga tidak bisa memberikan kepastian?"
Kala menunduk. "Aku hanya tidak ingin membuat kesalahan yang sama."
Anggun menggeleng. "Kala, cinta bukan tentang tidak membuat kesalahan. Cinta adalah tentang berani mengambil risiko."
Kala tetap diam.
Anggun berdiri. "Aku lelah, Kala. Aku tidak bisa terus berada di dalam hubungan yang hanya penuh ketidakpastian."
Kala mendongak. "Jadi, kau tetap ingin pergi?"
Anggun menatapnya dengan mata yang penuh luka, tetapi juga dengan ketegasan. "Aku ingin kau berpikir. Aku ingin kau mencari tahu apa yang sebenarnya kau inginkan. Jika kau mencintaiku, buktikan. Jika tidak, lepaskan aku."
Kala menatapnya lama, tetapi akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah."
Anggun menghela napas, lalu berbalik menuju kamar.
Kala hanya bisa menatapnya pergi, dengan hati yang semakin kacau.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar takut kehilangan.