Kael Draxon, penguasa dunia bawah yang ditakuti dan dihormati pada masa nya. Namun, di puncak kekuasaan nya, Kael Draxon di khianati oleh teman kepercayaan nya sendiri, Lucien.
Di ujung kematian nya, Kael bersumpah akan kembali untuk balas dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon asep sigma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan diri
Suara langkah kaki semakin dekat. Dante, Edgar, Elira, Iris, dan Kael menyiapkan diri. Mereka baru saja terbebas dari borgol, tetapi keadaan masih jauh dari aman. Dengan napas tertahan, mereka bergegas keluar dari ruang tahanan, menyusuri lorong sempit yang lembap dan berbau logam berkarat.
Namun, begitu mereka sampai di ujung lorong, sosok yang tidak asing menghadang mereka.
Lukas.
Ia berdiri di tengah koridor dengan ekspresi tenang, seolah sudah menunggu mereka sejak lama. Cahaya redup dari lampu di langit-langit menerangi wajahnya yang sulit ditebak. Tatapan matanya tetap dingin, tetapi ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya—sesuatu yang sulit diterjemahkan.
Kael langsung maju selangkah, matanya menyala penuh kemarahan. "Kau... Aku seharusnya sudah tahu kau pengkhianat sejak awal."
Lukas mengangkat alis, tetap tidak bergerak dari tempatnya. "Dan aku seharusnya sudah tahu bahwa kalian bodoh jika berpikir bisa mengalahkan Cobra Zone."
"Kau tidak punya hak bicara!" bentak Edgar. "Kau menusuk kami dari belakang, Lukas! Kau bahkan tidak pantas menyebut dirimu bagian dari kami!"
Lukas hanya mendengus. "Bagian dari kalian? Aku tidak pernah merasa menjadi bagian dari kelompok kalian. Aku punya tugas, dan aku menjalankannya dengan baik."
Kael mengepalkan tinjunya, rahangnya mengeras. "Kau bermain dengan nyawa kami semua. Kau membuat kami percaya, dan sekarang kau berdiri di hadapanku seperti ini, tanpa rasa bersalah?"
Lukas menatapnya, tatapannya tetap tak berubah. "Kalian hanya pion dalam permainan yang lebih besar. Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan."
Kemarahan Kael mencapai puncaknya. Tanpa pikir panjang, ia melangkah maju dan mengayunkan tinjunya, hendak menghantam wajah Lukas dengan sekuat tenaga.
Namun, sebelum tinjunya bisa mengenai target, Elira dengan cepat meraih lengannya, menghentikannya. "Kael, jangan!" bisiknya tegas. "Kita harus pergi sekarang!"
Kael menoleh, napasnya memburu, tetapi ia melihat kebenaran dalam mata Elira. Prioritas mereka adalah bertahan hidup. Lukas memang pengkhianat, tetapi mereka tidak bisa membuang waktu untuk melampiaskan amarah saat ini.
Dengan enggan, Kael menurunkan tinjunya, tetapi tatapannya tetap menusuk ke arah Lukas. "Aku bersumpah, Lukas. Ini belum berakhir."
Yang mengejutkan mereka, Lukas malah mundur selangkah ke samping. Ia mengangkat tangannya dengan santai dan memberi isyarat ke lorong di belakangnya. "Pergilah."
Iris mengerutkan kening. "Apa?"
"Kalian dengar sendiri," kata Lukas, suaranya tetap datar. "Pergilah. Aku tidak akan menghentikan kalian."
Kelima orang itu saling berpandangan. Ini jelas sebuah jebakan, bukan? Tidak mungkin Lukas akan membiarkan mereka pergi begitu saja.
Namun, ekspresi Lukas tetap tenang. Tidak ada ancaman, tidak ada provokasi. Hanya ketenangan yang justru lebih mencurigakan.
"Kau pikir kami akan percaya begitu saja?" Edgar mendesis.
Lukas mengangkat bahu. "Aku tidak peduli kalian percaya atau tidak. Tapi jika kalian ingin hidup, pergilah sekarang sebelum seseorang datang."
Kael menatapnya dalam diam, mencoba membaca niat sebenarnya di balik sikapnya. Namun, waktu mereka semakin menipis.
Dante akhirnya bergerak lebih dulu. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Kita harus pergi."
Dengan hati-hati, mereka melewati Lukas satu per satu, tetap waspada kalau-kalau ini hanya tipu daya. Tetapi Lukas tidak bergerak sedikit pun, hanya menatap mereka dengan pandangan yang sulit ditebak.
Begitu kelompok itu menghilang di ujung lorong, Lukas menarik napas dalam. Ia menoleh ke belakang, ke arah ruang tahanan yang kini kosong.
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya—sebuah pemicu kecil dengan lampu berkedip merah.
Tatapannya tetap dingin saat ia menekan tombolnya.
BOOM!
Ledakan dahsyat mengguncang seluruh markas Cobra Zone. Api dan debu berhamburan ke udara saat ruang tahanan hancur berkeping-keping. Seluruh bangunan bergetar, alarm berbunyi, dan suara teriakan panik menggema di udara.
Dari kejauhan, Kael dan yang lainnya menoleh, mata mereka membelalak saat melihat asap hitam membubung tinggi dari gedung tua, ruang tahanan Cobra Zone.
"Apa yang terjadi?" Elira terengah.
Kael menyipitkan mata ke arah ledakan itu, lalu berbisik, "Lukas..."
Tak ada yang tahu pasti kenapa Lukas melakukan itu. Tapi satu hal yang jelas—Cobra Zone baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.
...****************...
Di dalam ruang kerjanya yang luas dan megah, Ronan Lucien tengah menikmati segelas anggur merah. Lampu ruangan redup, menciptakan suasana yang menenangkan. Ia bersandar di kursinya, matanya memandangi dokumen di meja dengan ekspresi tenang.
Namun, ketenangan itu seketika hancur ketika suara ledakan dahsyat mengguncang seluruh bangunan. Gelas anggurnya hampir jatuh dari genggamannya. Jendela bergetar, dan alarm darurat berbunyi nyaring.
"Apa—?!"
Dengan cepat, Ronan berdiri dan berjalan ke arah jendela. Dari balik kaca besar, matanya membelalak melihat kobaran api yang membumbung tinggi. Gedung tua tempat ruang tahanan berada kini telah hancur, dengan puing-puing beterbangan dan api melahap sisa-sisa bangunan.
Ekspresinya berubah dingin, kemarahannya mulai membara. Ia segera mengambil jasnya, mengenakannya dengan gerakan cepat, lalu keluar dari ruangannya.
"Kumpulkan semua orang!" teriaknya saat melangkah ke lorong.
Para anak buahnya yang panik segera bergerak mengikuti perintah. Ronan berjalan cepat menuju lokasi ledakan, diikuti oleh puluhan orang bersenjata.
Setibanya di sana, pemandangan yang ia lihat semakin memperparah amarahnya. Api masih berkobar, menerangi malam yang gelap. Bau asap dan bahan bangunan terbakar menyengat di udara. Para anggota Cobra Zone sibuk mencoba memadamkan api dan mencari korban yang selamat.
Di antara reruntuhan, Ronan melihat sosok familiar—Lukas.
Pakaian Lukas berantakan, penuh debu dan sobek di beberapa bagian. Ada bekas luka di wajah dan tangannya, seolah ia baru saja bertarung dengan seseorang yang tangguh.
Ronan langsung berjalan menghampirinya, ekspresinya penuh amarah. "Lukas! Apa yang terjadi di sini?!"
Lukas, yang tampak kelelahan, mengangkat kepalanya. Ia menarik napas dalam sejenak sebelum menjawab, "Para tahanan sudah kabur."
Ronan mengepalkan tinjunya. "Bagaimana bisa?! Kau yang seharusnya menjaga mereka!"
Lukas mengangguk lemah, lalu menjelaskan dengan suara yang tetap tenang, "Ada seseorang yang cukup handal membantu mereka. Aku menghadang mereka, bertarung dengan mereka semua... Tapi mereka terlalu kuat. Aku kalah."
Ronan menatapnya tajam, mencoba membaca ekspresinya. Lukas tampak kesulitan berdiri, tubuhnya penuh luka dan debu. Semua tanda menunjukkan bahwa ia memang telah mengalami pertarungan sengit.
"Aku mencoba menghentikan mereka," lanjut Lukas, suaranya terdengar penuh beban. "Tapi mereka menghancurkan gedung ini dengan bom sebelum pergi. Aku nyaris mati di dalam reruntuhan... Beruntung aku bisa keluar tepat waktu."
Ronan mendengus marah. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-bukunya memutih.
"Sialan!" geramnya. "Berarti Kael sudah memutuskan untuk berperang dengan diriku. Sungguh naif!"
Tanpa pikir panjang, Ronan berbalik menghadap anak buahnya yang masih berkumpul. Suaranya menggema penuh kemarahan.
"Dengar semua! Aku ingin mereka ditemukan! Kejar Kael dan semua orang yang bersamanya! Jangan beri mereka kesempatan untuk bersembunyi!"
Para anak buahnya segera bergerak, menyebar ke berbagai arah untuk melacak keberadaan Kael dan kawanannya.
Ronan menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarahnya. Ia kembali menatap Lukas, yang masih berdiri dengan napas terengah.
"Kau cukup beruntung bisa selamat," kata Ronan dengan suara lebih tenang, meskipun matanya masih menyiratkan kecurigaan. "Kita akan membalas mereka. Dan kali ini, mereka tidak akan punya tempat untuk melarikan diri."
Lukas hanya mengangguk pelan.
Namun, satu hal yang Ronan tidak tahu. Bahwa yang dikatakan Lukas, semuanya adalah kebohongan. Walau memang ada seseorang yang membantu, akan tetapi bukan Kael yang meledakkan bangunan tua ini.
Kael dan kelompoknya memang kabur, tetapi bukan karena mereka mengalahkannya. Justru Lukas yang telah memberi mereka jalan keluar.
Dan luka-luka yang ia miliki, dia buat sendiri agar kebohongannya terlihat lebih realistis.
Entah apa yang ada di pikiran Lukas saat ini, Jalan pikirnya memang sulit ditebak.