Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 04
Sudah empat tahun sejak kepergian ibunya yang entah ke mana. Hingga kini, Kamala masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu.
Hari ini, ia duduk melamun di pinggir jalan, matanya kosong menatap lalu lalang kendaraan yang tak pernah berhenti. Hanya suara bising kota yang menemani, hingga tiba-tiba seseorang membuyarkan lamunannya.
"Anaknya malah kamu biarin ngamen di jalan, kamu enak-enakan duduk di sini," tegur seorang pria paruh baya yang berdiri di hadapannya.
Kamala tersentak, lalu menoleh ke arah pria itu. Dengan napas sedikit berat, ia menggeleng.
"Dia bukan anak saya, Pak. Saya sudah bilang berkali-kali, dia bukan anak saya," jawabnya, suaranya datar namun terdengar lelah.
Pria itu menghela napas, "Daripada kamu melamun di sini, lebih baik bantuin saya di toko. Setidaknya kamu punya kerjaan dan nggak cuma duduk bengong," katanya lagi.
Kamala menatap pria itu sejenak, mempertimbangkan tawarannya. Dalam hati, ia tahu bahwa bertahan hidup di jalanan semakin sulit. Tawaran itu mungkin lebih baik daripada terus melamun tanpa arah.
Kamala menghela napas, lalu membuang puntung rokoknya ke aspal dan menginjaknya hingga padam.
"Reyna!" panggilnya.
Dari seberang jalan, seorang anak kecil berusia empat tahun berlari kecil mendekatinya. Rambutnya berantakan, kakinya kotor karena seharian berkeliaran di jalan. Namun, senyum polos masih tergambar di wajahnya.
"Iya, ibu?" jawab Reyna dengan suara riang, meski tubuh mungilnya tampak lelah.
Kamala menatap bocah itu sejenak. Empat tahun sudah berlalu sejak hari itu di mana ibunya menghilang. Kini, ia hanya punya Reyna, meskipun sejak awal, ia tahu gadis kecil itu bukanlah adiknya, ataupun anaknya.
Namun, ia selalu memanggil dirinya sebagai ibunya.
"Ayo, kita pergi dari sini," kata Kamala, suaranya lirih namun tegas.
Tanpa banyak tanya, Reyna mengangguk dan menggenggam tangan Kamala.
Mereka melangkah pergi, menuju ke tempat pria paruh baya itu berada.
Setelah beberapa menit berjalan, ia sampai di depan sebuah toko kelontong kecil.
"Akhirnya datang juga," gumamnya, lalu melirik Reyna. "Dan bawa anak itu juga."
Kamala mendengus pelan. "Saya nggak tega meninggalkan dirinya sendirian."
Pria itu hanya menghela napas. "Ya udah. Kalau kamu mau kerja, masuk ke dalam. Ada banyak yang harus diberesin."
Kamala diam sejenak, lalu menoleh ke Reyna. "Lo bisa duduk di sini, jangan ke mana-mana."
Reyna mengangguk patuh dan duduk di bangku kayu di depan toko. Kamala menatapnya sebentar, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam toko.
Reyna yang sedang duduk di bangku kayu, kedua tangan kecilnya menggenggam sebuah kaleng yang berisikan uang recehan yang berhasil ia kumpulkan dari mengamen seharian.
Meskipun kecil, uang itu adalah hasil jerih payahnya sendiri, dan ia merasa bangga meski usia masih sangat muda. Ia memeriksa koin-koin tersebut, menghitung satu per satu dengan teliti, mencoba memastikan apakah ada yang kurang.
Namun, tiba-tiba, tangan seorang remaja dengan cepat meraih tumpukan uang di genggamannya, lalu berlari meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun. Reyna terkejut, dan tak sempat bereaksi.
"Hei! Itu uangku!" teriak Reyna dengan suara kecil yang masih polos.
Tanpa pikir panjang, Reyna segera berlari mengejar anak itu, meski kakinya masih kecil dan lelah. Namun, jaraknya terlalu jauh. Ia jatuh beberapa kali, lututnya terbentur keras di aspal. Setiap kali terjatuh, ia langsung berusaha bangkit lagi, air mata mulai mengalir, meski ia berusaha menahan tangisannya.
"Ibu! Ibu!" teriak Reyna sambil menangis, memanggil Kamala yang berada di dalam toko. "Ibu! Tolong!"
Jalanan mulai sepi, hanya beberapa kendaraan yang lewat sesekali, namun tak ada satu pun yang menghentikan langkah remaja itu atau peduli pada tangisan Reyna. Kamala, yang berada di dalam toko, tak mendengar teriakan itu.
Reyna berlari lagi, meskipun tubuh kecilnya kelelahan, ia terus berusaha mengejar. Tangisan semakin keras, tak bisa ditahan lagi, dan keringat mengalir deras di wajahnya. "Ibu! Ibu tolong!" ia terus memanggil, namun tak ada jawaban.
Anak itu semakin jauh, dan Reyna semakin putus asa. Ia mulai kehilangan harapan, dan tanpa disadari, langkah kakinya semakin lemah.
Akhirnya, Reyna terjatuh lagi, tubuhnya terkulai di jalan. Tangisannya makin parah, dan dengan suara tercekat, ia berbisik, "Ibu..."
Di saat itulah, seorang pria dengan tubuh tegap membantunya.
Pria itu berjongkok, menatap Reyna yang terisak di atas aspal. Wajahnya terlihat keras dan kaku, tapi sorot matanya menyiratkan kebingungan dan sedikit kepedulian.
"Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam namun terdengar lembut di telinga Reyna.
Reyna mengusap air matanya dengan punggung tangan yang kotor. Dengan suara terputus-putus, ia menunjuk ke arah jalan, ke sosok remaja yang sudah hampir menghilang di kejauhan. "Uang... u-uangku diambil...," isaknya.
Pria itu mengikuti arah telunjuknya, lalu berdiri dengan cepat. "Tunggu di sini," katanya singkat, sebelum berlari mengejar remaja itu dengan langkah cepat dan sigap.
Reyna hanya bisa duduk di tempatnya, tubuhnya masih bergetar karena ketakutan dan kelelahan. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi entah kenapa, hatinya ingin percaya bahwa orang itu akan membantunya.
Beberapa menit berlalu dalam ketegangan. Reyna masih terisak, menundukkan kepalanya dalam keputusasaan. Namun, tiba-tiba suara langkah kaki mendekat. Saat ia mengangkat wajahnya, pria itu sudah berdiri di depannya, mengulurkan kaleng berisi uang receh yang tadi dirampas darinya.
"Ini uangnya," katanya.
Reyna menatap kaleng itu dengan mata terbelalak. Tangannya gemetar saat menerimanya, seolah takut itu hanya mimpi. "B-bapak dapetin ini lagi?" tanyanya dengan suara lirih.
Pria itu hanya mengangguk. "Anak itu masih di sana, saya kasih dia sedikit pelajaran." Tatapan matanya dingin sejenak, sebelum kembali menatap Reyna dengan lebih lembut. "Lain kali, jangan duduk sendirian di tempat sepi, ya."
Reyna mengangguk pelan, masih terisak kecil.
"Nama kamu siapa?" tanya pria itu.
"Reyna..." jawabnya pelan.
Pria itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ayo, saya antar kamu balik."
Reyna mengangguk lagi, lalu berdiri dengan kaki kecilnya yang masih gemetar. Saat pria itu berjalan lebih dulu, Reyna menggenggam erat kaleng uangnya, lalu mengikuti pria itu dengan langkah kecil.
Pria itu melirik ke belakang, melihat Reyna kesusahan untuk berjalan.
Ia menghentikan langkahnya sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, ia berjongkok dan mengulurkan tangannya. "Naik ke punggungku," katanya singkat.
Reyna menatap pria itu dengan mata ragu. "Boleh?" tanyanya pelan.
Pria itu mengangguk. "Kaki kamu pasti sakit. Ayo, biar cepat sampai."
Dengan sedikit canggung, Reyna merangkak naik ke punggung pria itu. Tangannya yang kecil melingkar di lehernya, sementara pria itu berdiri tegak dan mulai berjalan kembali ke arah toko.
Dari kejauhan, Kamala masih berdiri di depan toko kelontong, matanya menyipit, mencoba mengenali sosok yang menggendong Reyna. Jantungnya berdegup lebih kencang.
Siapa pria itu? Apa yang terjadi pada Reyna? Kenapa dia terlihat seperti habis menangis?
Saat pria itu semakin dekat, Kamala menyadari bahwa ia belum pernah melihatnya sebelumnya. Wajah pria itu asing baginya, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kamala tidak bisa mengalihkan pandangan.
Dengan langkah mantap, pria itu berhenti tepat di depan toko dan menurunkan Reyna dengan hati-hati. Reyna langsung berlari kecil ke arah Kamala dan memeluknya erat.
"Ibu... uangku tadi diambil sama anak nakal, tapi bapak ini bantuin aku," kata Reyna, suaranya masih bergetar.
Kamala menunduk, menyeka kotoran di wajah Reyna dengan tangannya. "Kamu nggak apa-apa?" tanyanya pelan.
Reyna mengangguk, meski matanya masih sembab. Kamala menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dan menatap pria itu.
"Terima kasih," katanya singkat, suaranya tetap dingin.
Pria itu menatap Kamala sejenak, lalu mengangguk. "Hati-hati kalau bawa anak kecil di jalanan. Banyak orang jahat," katanya, lalu bersiap untuk pergi.
Namun, sebelum ia sempat melangkah, Kamala bertanya, "Siapa kamu?"
Pria itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Nggak penting. Saya cuma kebetulan lewat."
Tanpa menunggu jawaban Kamala, pria itu berbalik dan melangkah pergi. Kamala masih menatap punggungnya, lalu beralih ke arah Reyna.
Ingin memarahinya karena menghitung uang sembarangan. Namun, saat matanya menangkap lutut kecil Reyna yang terluka dan kotor akibat terjatuh di aspal, kemarahan itu langsung sirna.
Ia menghela napas panjang, lalu berjongkok di hadapan Reyna. Dengan lembut, ia menyentuh lutut bocah itu, membuat Reyna meringis pelan.
"Kamu jatuh?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari yang ia maksudkan.
Reyna mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca.
Kamala mengusap wajah Reyna dengan tangannya yang kasar. "Lain kali, jangan sembarangan ngitung uang di tempat seperti ini. Orang jahat bisa lihat dan mencuri uang kita." katanya, suaranya lebih tenang.
Reyna mengangguk cepat. "Iya, Ibu. Aku nggak akan ngulangin lagi..."
Kamala mendesah, lalu berdiri dan menggenggam tangan Reyna. "Ayo, kita bersihin lukamu dulu."
Reyna tersenyum kecil meski wajahnya masih penuh air mata. Ia menggenggam tangan Kamala erat, merasa aman kembali.