Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Terakhir Ariana
Langit mendung seakan ikut berduka. Angin berhembus pelan, membawa kesedihan yang terasa begitu nyata.
Iring-iringan mobil berjalan perlahan, membawa Ariana ke tempat peristirahatan terakhirnya. Di dalam mobil utama, Dewa duduk diam di samping peti Ariana. Matanya sembab, wajahnya terlihat begitu lelah. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa gadis yang dicintainya kini telah pergi.
Di belakangnya, Alana duduk di antara Bang Ardan dan Rangga. Matanya terus menatap peti saudarinya. Ia menggenggam jemari Bang Ardan erat, seolah mencari kekuatan. Rangga di sampingnya hanya bisa diam, sesekali mengusap punggungnya dengan lembut.
Ezra menyetir mobil di belakang mereka, membawa orang tua Ariana. Sang ibu terisak dalam pelukan suaminya, air matanya terus mengalir. Tidak ada kata yang bisa diucapkan, hanya kesedihan yang mendominasi suasana.
Setelah beberapa waktu, mereka akhirnya tiba di pemakaman. Banyak orang sudah berkumpul, menunggu kedatangan Ariana untuk memberikan penghormatan terakhir.
Dewa turun lebih dulu, diikuti oleh Ezra dan Rangga. Mereka membantu mengangkat peti, langkah mereka terasa berat.
Di antara semua yang hadir, Alana adalah yang paling terpukul. Melihat tanah merah yang sudah digali membuat dadanya semakin sesak. Ini nyata… Ariana benar-benar telah pergi.
Saat prosesi berlangsung, tangis mulai pecah. Dewa berdiri di tepi makam, menatap nisan yang bertuliskan nama Ariana dengan perasaan kosong.
Ketika tiba saatnya menaburkan bunga, Dewa menggenggam sekuntum mawar putih, lalu meletakkannya di atas pusara Ariana. Suaranya bergetar saat berbicara, “Aku mencintaimu, Ariana. Selamanya.”
Alana berlutut, menyentuh tanah yang kini menjadi tempat peristirahatan saudari kembarnya. “Terima kasih karena sudah berjuang sejauh ini… Aku janji akan menjalani hidup dengan baik, untukmu.”
Satu per satu orang bergantian menaburkan bunga, mengucapkan doa dan selamat tinggal.
Dan di bawah langit mendung itu, Ariana pergi dengan damai, meninggalkan cinta yang akan selalu hidup di hati semua orang yang mencintainya.
...****************...
Pelukan Hangat Rangga untuk Alana
Langit masih mendung, seakan turut merasakan duka yang menyelimuti hati semua orang. Pemakaman sudah selesai, namun Alana masih berlutut di depan pusara Ariana. Jemarinya menyentuh nisan dengan lembut, matanya masih basah oleh air mata yang tak kunjung kering.
Rangga berdiri tak jauh darinya, memperhatikan bagaimana gadis itu mencoba menahan kesedihannya sendiri. Ia tahu, kehilangan saudara kembar pasti terasa lebih menyakitkan.
Perlahan, Rangga mendekat. Tanpa berkata apa-apa, ia berjongkok di samping Alana dan merangkulnya ke dalam pelukan erat.
Alana terkejut sesaat, namun kemudian tubuhnya melemas di dalam dekapan Rangga.
Tangis yang tadi berusaha ia tahan, kini pecah begitu saja. Tangannya mencengkram lengan Rangga, seolah mencari pegangan di tengah badai kesedihannya.
“Aku kehilangan dia, Rangga… satu-satunya orang yang selalu ada untukku…” suaranya bergetar di sela tangis.
Rangga mengusap punggungnya dengan lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. “Aku tahu, Alana… Aku tahu ini berat. Tapi kau tidak sendirian. Kami semua ada di sini untukmu.”
Alana semakin tenggelam dalam pelukan itu. Untuk pertama kalinya sejak Ariana pergi, ia merasa sedikit lebih tenang.
Rangga tidak banyak bicara, ia hanya ingin Alana tahu bahwa ada seseorang yang akan selalu mendukung dan menguatkannya, apa pun yang terjadi.
...****************...
Satu Bulan Tanpa Ariana
Waktu berlalu begitu cepat. Sudah satu bulan sejak kepergian Ariana, tapi bagi Dewa, rasanya seperti baru kemarin ia menggenggam tangan gadis itu.
Hari-harinya kini kembali berjalan seperti biasa. Bekerja di perusahaan ayahnya, sarapan bersama keluarga, berbincang dengan Ezra dan Rangga. Dari luar, Dewa tampak baik-baik saja.
Tapi kenyataannya… ada sesuatu yang masih kosong di hatinya.
Setiap kali pulang kerja dan melewati tempat-tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Ariana, kenangan itu kembali menghantam.
Senja di bukit tempat mereka dulu berbincang, tawa Ariana saat makan di pinggir jalan, dan genggaman tangannya yang selalu terasa hangat.
Semuanya masih ada dalam ingatannya.
Suatu malam, setelah pulang kerja, Dewa duduk di balkon kamarnya. Angin berhembus lembut, membawa ketenangan yang semu. Ia menatap langit, mencari sesuatu yang kini hanya bisa ia temui dalam kenangan.
"Ariana… aku rindu," bisiknya pelan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Alana.
— Dewa, bisa temani aku ke suatu tempat besok?
Dewa menatap layar ponselnya sejenak, sebelum akhirnya mengetik balasan.
— Tentu. Aku jemput jam 10 pagi.
Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum tipis. Mungkin, ini saatnya untuk mulai melangkah, meskipun luka itu masih ada.
...****************...
Pertemuan Alana dan Dewa
Pagi itu, Dewa datang tepat waktu. Mobilnya berhenti di depan rumah keluarga Ariana, dan Alana sudah menunggunya di teras. Gadis itu mengenakan sweater krem dan celana jeans, tampil sederhana tapi tetap anggun.
Saat Dewa keluar dari mobil, Alana tersenyum tipis. "Pagi, Dewa."
"Pagi," jawab Dewa singkat. Matanya menatap Alana, ada sedikit kerinduan yang tak bisa ia jelaskan. Wajah Alana sangat mirip dengan Ariana, tapi ada sesuatu yang berbeda—tatapannya lebih tegas, caranya berdiri lebih percaya diri.
"Ayo, kita pergi," kata Alana sambil membuka pintu mobil.
Selama perjalanan, mereka tidak banyak bicara. Hanya suara musik lembut yang mengisi kesunyian di antara mereka. Dewa sesekali melirik Alana, ingin bertanya ke mana mereka akan pergi, tapi ia memilih untuk menunggu.
Setelah hampir setengah jam berkendara, Alana meminta Dewa berhenti di sebuah taman yang cukup sepi.
Mereka berjalan beriringan, hingga akhirnya Alana berhenti di bawah pohon besar. Ia menarik napas dalam, sebelum akhirnya berkata, "Dewa, aku ingin bicara."
Dewa menatapnya dengan tenang. "Tentang apa?"
Alana menggigit bibirnya sesaat, seolah ragu, sebelum akhirnya berkata pelan, "Tentang Ariana… dan tentangmu."
Dewa terdiam. Namanya disebut, dan hatinya langsung terasa berat. Tapi ia tetap menatap Alana, menunggu kata-kata berikutnya.
"Aku tahu betapa besar perasaanmu untuk Ariana," lanjut Alana. "Aku juga tahu… kau belum bisa melupakannya. Itu wajar, Dewa. Aku pun masih merasa kehilangan."
Dewa menarik napas panjang. "Aku memang belum bisa melupakan dia, Alana. Aku tidak tahu apakah aku bisa."
Alana tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Aku juga tidak ingin kau melupakan dia. Aku hanya ingin kau tahu… bahwa kau tidak sendiri."
Dewa menatap gadis di depannya dengan perasaan campur aduk. Alana begitu mirip dengan Ariana, tapi bukan Ariana. Dan di saat yang sama, kehadirannya membawa ketenangan yang berbeda.
"Terima kasih, Alana," kata Dewa akhirnya. "Terima kasih sudah ada di sini."
Alana mengangguk, lalu tanpa ragu, ia meraih tangan Dewa dan menggenggamnya erat.
Di bawah langit yang cerah, dua hati yang sama-sama kehilangan mulai menemukan ketenangan dalam kebersamaan.
...****************...
Kejujuran Rangga
Dewa dan Alana masih berdiri di bawah pohon besar ketika suara langkah kaki terdengar mendekat. Rangga muncul dengan senyum khasnya, membawa aura santai seperti biasa.
"Nah, kalian di sini rupanya," katanya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana.
Dewa menoleh dan mengangkat alis. "Kenapa kau tiba-tiba datang, Rangga?"
Rangga terkekeh pelan. "Aku cuma ingin memberi tahu sesuatu. Sesuatu yang penting."
Alana menatapnya dengan heran. "Apa itu?"
Rangga menarik napas dalam, kemudian menatap Dewa dengan serius. "Aku dan Alana… sedang menjalani hubungan."
Dewa terdiam sesaat. Matanya berpindah dari Rangga ke Alana, yang hanya tersenyum kecil sambil menunduk.
"Dan kami benar-benar serius," tambah Rangga.
Dewa masih terdiam, bukan karena terkejut, tapi lebih karena ia tak menyangka akan mendengar kabar itu begitu cepat. Namun, beberapa detik kemudian, senyum kecil terukir di wajahnya.
"Aku ikut senang mendengarnya," kata Dewa akhirnya. "Rangga, aku tahu kau orang yang bisa dipercaya. Jaga Alana baik-baik, ya?"
Rangga tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku tidak akan main-main."
Alana menatap Dewa dengan penuh haru. "Terima kasih, Dewa… Aku sempat takut kau akan keberatan."
Dewa menggeleng. "Ariana pasti ingin kau bahagia, Alana. Jika kau menemukan kebahagiaan dengan Rangga, maka aku akan mendukung kalian sepenuhnya."
Rangga menepuk bahu Dewa. "Terima kasih, bro. Kau memang teman terbaik."
Di bawah langit biru yang cerah, mereka bertiga berbagi senyum dan kehangatan.
Mungkin, kehidupan telah mengambil seseorang yang mereka cintai.
Tapi itu bukan berarti mereka harus berhenti mencari kebahagiaan.