Indah, seorang gadis dari kampung yang merantau ke kota demi bisa merubah perekonomian keluarganya.
Dikota, Indah bertemu dengan seorang pemuda tampan. Keduanya saling jatuh cinta, dan mereka pun berpacaran.
Hubungan yang semula sehat, berubah petaka, saat bisikan setan datang menggoda. Keduanya melakukan sesuatu yang seharusnya hanya boleh di lakukan oleh pasangan halal.
Naasnya, ketika apa yang mereka lakukan membuahkan benih yang tumbuh subur, sang kekasih hati justru ingkar dari tanggung-jawab.
Apa alasan pemuda tersebut?
Lalu bagaimana kehidupan Indah selanjutnya?
Akankah pelangi datang memberi warna dalam kehidupan indah yang kini gelap?
Ikuti kisahnya dalam
Ditolak Camer, Dinikahi MAJIKAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
“Kamu ngerasa gak sih, kayanya si Indah itu pake pelet guna-guna deh. Kalo gak, mana mungkin dia bisa gitu aja dinikahi sama Tuan Muda.”
Hari masih pagi, suasana di ruang laundry kediaman keluarga Wijaya sudah sedikit panas. Ana dengan segala kepiawaian nya mengolah kata, mulai menghasut dua orang temannya.
“Ish, Kamu ini. Jaman sekarang kok masih percaya yang begituan!” Lastri, yang sedang mengangkat pakaian dari mesin cuci mencibir ucapan Ana.
“Mbak Lastri kalo dibilangin gak percayaan amat sih.” Ana sewot karena tidak mendapat dukungan. “Aku itu pernah lihat dia komat-kamit baca mantra gitu, pas dia mau ngambil makanan buat tuan Rama.”
“Masa gitu sih, Mbak Ana? Kayanya gak mungkin deh. Nyonya kan rajin banget ibadahnya. Mana mungkin pake gituan?” Tati, yang usianya sebaya dengan Indah terlihat tidak percaya.
“Kamu panggil dia apa tadi? Nyonya? Mana pantas cewek kampung seperti dia dipanggil Nyonya?” Rasa geram yang bercokol di hati Ana semakin menjadi mendengar panggilan yang disematkan oleh temannya untuk Indah.
“Lhaah,,, Mbak Indah kan memang sudah menjadi Nyonya kita sekarang?” Tati bingung dengan pemikiran temannya itu.
“Aku gak sudi panggil dia nyonya. Lagipula, Kamu itu tidak tahu apa-apa, Tati! Dia itu hanya luarnya saja terlihat solehah, tapi sebenarnya itu hanya kedok. Dia itu hanya pura-pura alim agar semua orang simpati sama dia.” Ana kekeh dengan pendiriannya.
“Yo wes sak karepmu lah Mbak Ana. Aku ora melu-melu.” Tati segera melanjutkan pekerjaannya untuk menyetrika pakaian majikannya.
Ana merasa geram, karena sepertinya hal sepertinya tidak membuahkan hasil. Tapi tentu saja dia tidak akan menyerah sampai di situ. Dia akan membuat semua orang percaya bahwa apa yang telah diucapkan adalah benar.
Memangnya kalian gak ngerasa aneh? Tuan Rama itu seorang bos besar. Beliau bisa mendapatkan wanita seperti apapun yang lebih berkelas. Tinggal tunjuk jari saja. Kenapa malah menikah dengan cewek kampung yang baru dikenal. Mana perutnya melendung besar pula!” Ana benar-benar pantang menyerah.
Tati menatap Ana tanpa berucap. “Mbak Ana ini selalu ngatain Nyonya cewek kampung. Kayak Mbak Ana bukan dari kampung saja!” Ingin sekali Tati menyahut seperti itu, sayangnya itu hanya berani dia ucapkan dalam hati. Karena dia tahu perangai Ana, yang pasti akan sangat marah besar jika omongannya dibalik.
“Kalian ini bekerja atau ngobrol? Ana! Lanjutkan apa yang menjadi pekerjaanmu, jangan mengganggu pekerjaan yang lain!” Bi Sumi tiba-tiba datang menghentikan perdebatan mereka. Tatii dan Lastri yang sejak tadi memang tangannya bergerak melakukan pekerjaan mereka, cuek saja. Berbeda dengan Ana yang menjadi kesal.
“Bibi ini kenapa sih? Ikut aja kalo ada orang mau santai dikit!” bantahnya.
“Ini bukan waktu untuk bersantai. Dan tugasmu juga belum kamu kerjakan. Tugasmu merawat taman bunga hias Nyonya besar kan? Kenapa malah berada di ruang loundry?” Bi Sumi tidak menghiraukan kekesalan Ana. Tugasnya adalah memastikan semua bekerja dengan baik. Termasuk Ana.
“Dan ingat posisimu. Jangan sampai melewati batas, atau kau akan kehilangan pekerjaanmu. Aku selalu mengawasimu. Dan aku sudah melihat semuanya dengan jelas. Aku tidak akan segan untuk melaporkannya pada Tuan Muda, jika mulutmu tak juga bisa berhenti!!” Bi Sumi menatap Ana dengan sorot mata tajam.
“Bibi ini kenapa sih. Kenapa Bibi selalu membela si cewek kampung itu. Sebenarnya keponakan Bibi itu aku atau dia??” Ana tak bisa meredam kemarahannya. Kenapa tak seorangpun bisa memahami dirinya. Bahkan juga bibinya yang telah membawanya ke dalam istana ini. Sebagai seorang bibi, bukankah sehat Bi Sumi lebih membelanya?
“Kamu salah jika kamu berpikir Bibi akan membenarkan semua tindakanmu, hanya karena kamu adalah keponakanku. Bibi di sini dibayar untuk memastikan semua berjalan pada tempat yang semestinya, bukan untuk membiarkan kamu berbuat onar. Jadi, Bibi tidak akan segan untuk mengantarmu pulang kalau kamu tidak bisa merubah perilakumu! Dan jangan lupa asal usulmu. Ingatlah kalau kamu juga berasal dari kampung!!”
***
Hari pertama masuk setelah libur semester di SMA Pelita Harapan. Wajah-wajah ceria dan segar berseri-seri setelah dua minggu menikmati waktu luang. Begitu pula dengan Resti, ia senang kembali bertemu teman-temannya.
Di kantin, di jam istirahat, Resti, bersama dua orang sahabatnya, Dinda dan Rani, memilih duduk di salah satu sudut kantin yang agak sepi. Dinda dan Rani memesan minuman dan makanan ringan. Sedangkan Resti masih setia dengan kotak bekal yang dibawakan oleh ibunya.
"Kalian liburan ke mana aja" tanya Resti, membuka percakapan sambil menggigit kue pastel buatan ibunya, dan menawarkan juga pada dua temannya.
Dinda, yang wajahnya selalu datar menjawab, "Aku di rumah aja, Res. Emangnya orang-orang kayak kita ini mau liburan ke mana? Gak ada bedanya juga hari libur dengan hari sekolah.” Dinda berasal dari keluarga kurang mampu, sama seperti Resti. Yang dikerjakan setiap hari hanya membantu ibunya menyetrika pakaian milik tetangga.
Rani menambahkan, "Aku juga cuma di rumah aja, Res. Bantu ibu di rumah. Tapi seneng juga sih, bisa kumpul sama keluarga. Biasanya kalo sekolah kan ngumpul cuma sore sama malem aja. Kalo libur kan dari pagi, he he,,,."
Resti mengangguk, dia pun biasanya juga cuma di rumah saja menggantikan tugas kakak ya membantu ibunya membuat kue yang nanti dititipkan ke warung tetangga. Kadang laku semua, Alhamdulillah , bisa beli beras. Kadang ada lebih dari separuh yang terpaksa dibawa pulang kembali karena gak ada yang beli.
Sekarang, meskipun, kak Indah sudah membantu meringankan kehidupan mereka, tapi mereka juga tetap berjualan kue. Bapaknya juga akan tetap.bekerja di sawah tetangga, agar mereka tidak terlalu menjadi beban bagi kakaknya.
"Aku… aku ke kota. Kak Indah menikah. Jadi, aku, ibu dan bapak, dijemput sama suami kak Indah.” Hanya sebatas itu yang Resti ceritakan. Ia tak mau membongkar aib kakaknya, yang juga menjadi aib keluarganya.
Obrolan santai ketiganya tiba-tiba terhenti. Saat sekelompok teman perempuan yang berjumlah lima orang, mendekat ke meja mereka. Resti mendesah berat. Malas sebenarnya harus selalu berurusan sama mereka.
Mereka adalah geng yang terkenal di sekolah. Mereka anak-anak dari keluarga kaya raya, selalu tampil modis dan angkuh. Kelimanya tertawa riang, dengan tatapan mata yang selalu sinis, lalu berhenti tepat di samping meja Resti dan teman-temannya.
Monica, pemimpin dari geng itu dengan santainya menyikut meja, membuat minuman Resti tumpah. “Ups,,, sorry,,, sengaja,,,” ucapnya sambil tertawa, seolah itu adalah satu hiburan yang sangat lucu.
ha ha ha,,,
Teman-temannya ikut tertawa mengejek. Seisi kantin hening. Hanya suara mereka berlima yang terdengar.
"Heh,,, anak-anak miskin! Kalian, nongkrong di sini, makan, minum, bisa bayar gak?" tanya Monica dengan suara penuh ejekan. Sengaja mengeraskan suara, sehingga menarik perhatian beberapa siswa di sekitar.
“Aku ada penawaran bagus, mau gak?” Monica mengangkat sebelah kakinya dan meletakkan di atas kursi yang ada di samping Resti. “Bersihkan sepatuku pakek lidah kalian, maka aku akan kasih kalian gratis makan sepuasnya selama seminggu, gimana?”
“Ha ha ha,,,” ucapan Monica langsung disambut oleh gelak tawa anggota geng nya. Banyak yang menyaksikan, tapi tak ada satupun yang berani ikut campur, mereka takut akan ikut dibuly oleh geng itu.
Resti, Dinda, dan Rani sama sekali tidak menjawab. Mereka hanya menunduk, dengan tangan terkepal, menahan sebisa mungkin untuk tidak terprovokasi oleh ejekan Monica. Ketiga gadis itu sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Jika sampai mereka terpancing dan membalas, itu hanya akan semakin menyulitkan mereka. Pihak sekolah akan lebih membela anak-anak orang kaya itu.
Monica menyeringai, melihat reaksi Resti dan teman-temannya. "Ck, nggak seru. Eneg banget sih, liat penampakan orang miskin. Dasar lemah," katanya, sedikit kecewa karena tidak mendapatkan reaksi yang diharapkan.
Tangan Resti terkepal. Hampir saja dia berdiri dan bersiap untuk membalas, tapi Rani menghentikan dengan mencekal pergelangan tangannya.
"Eh, Bestie,,, ngomong-ngomong, kalian tahu gak?” Sonia, salah satu dari geng tersebut, menyela.
“Apaan ,,?” sahut Siska.
Sonia berjalan mendekati Resti, lalu menumpukan kedua tangannya di meja di samping Resti. “Gue lihat postingan di sosmed. Kakak lo nikah ya, Res?" tanya Sonia, suaranya terdengar mengejek. Sambil melirik teman-temannya.
Resti masih menunduk, berusaha mengabaikan mereka. Namun, Sonia nampaknya masih belum selesai.
"Perutnya udah gede banget, tahu gak? Pasti udah… hmm… gimana ya… udah… hamil duluan!”
“What,,,!!” Keempat temannya terkejut dengan informasi itu.
“Demi apa loo,,?” pekik Monica. Gadis tampak kaget, tapi juga begitu girang, seakan mendapat senjata baru untuk semakin menindas Resti dan kawan-kawan.
"Aku rasa sih, dia naik ranjang majikan biar dinikahin. Miris banget ya, nasib kakak lo," ujar Sonia lagi, gadis itu tertawa terbahak-bahak, diikuti teman-temannya. Mereka semua menatap Resti dengan tatapan penuh penghinaan.
Ha ha ha ha,,,,
“Dasar orang miskin. Untung aja majikannya mau nikahin. Kalo kagak,,, huuu, mau jadi apa dia?” sahut Lucy.
“Ehh, tapi bahaya lho ini. Kalo kakaknya aja jadi perempuan nggak bener kaya gitu, bisa jadi adiknya juga kan?” Ratih ikut menimpali.
“Berarti mulai sekarang kita semua harus waspada, jangan sampai pacar kita yang nantinya dia serobot!
Rani mencekal tangan Resti semakin erat saat merasakan kalau temannya itu ingin memberontak.
“Tapi kakak Loo o’on juga ya, kenapa pula memilih buru-buru nikah? Coba dia gak nikah, kan bisa dapet duit lebih banyak. Aku mau deh open BO buat kakak loo, pasti laris manis. Secara tampang kakak lo kan suka sok pura-pura polos gitu!”
ha ha ha ha,,,
Brakkk…
bukan rama
tapi sama aja sih😅😅