Mbak Bian itu cantik.
Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.
Mbak Bian itu cantik.
Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.
Ah, mbak Bian benar-benar cantik.
Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata
"Menikahlah denganku Cha!"
Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.
Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Keanehan Mbak Bian
10.45
Aku memandangi jam dinding yang terletak tepat di dekat Laminar Air Flow, salah satu alat laboratorium yang seolah menjadi pacar untukku. Gimana nggak? Setiap hari aku harus nongkrong di alat yang digunakan untuk kegiatan penelitianku, bahkan di saat weekend sekalipun. Hampir saja air mata beserta ingusku meleleh mengingat penderitaan tiada akhir yang ku alami semenjak aku masuk kuliah dan mengambil jurusan Biologi. Awalnya sebelum memilih jurusan ini, aku tak pernah menyangka bahwa kuliah di jurusan Biologi akan seperti ini.
Jiwa masa SMA-ku yang sering dicekoki dengan sinetron perkuliahan yang sangat santai, membuatku berakhir terlalu halu. Aku pikir, saat kuliah aku bisa seperti para mahasiswa di sinetron-sinetron. Wajah cakep dengan make up tipis, baju modis dan jam belajar yang fleksibel, sekaligus bumbu-bumbu cinta lokasi yang sudah menari-nari di kepalaku.
Tapi ekspektasiku langsung hancur berkeping-keping, bahkan saat pertama kali semester pertama di mulai. Semester satu memang diisi praktikum laboratorium dasar seperti Biologi dasar, Kimia dasar dan Fisika dasar. Tapi disinilah awal khayalanku dikandaskan sekandas-kandasnya.
"Bufo dua per partner, Rana dua per partner, Haemodipsa dua per partner, Hirudo dua per partner, Mabouya dua per partner...."
Aku menganggukkan kepala dengan antusias begitu mendengar daftar hewan praktikum yang harus kami bawa. Asisten laboratorium yang bertugas mendampingi kami saat praktikum dengan nyaring mengumumkan bahan praktek dengan nama latin. Maklum saja, saat itu aku masih geblek soal Biologi, satu-satunya alasan aku memilih jurusan Biologi adalah karena dalam asumsiku, jurusan ini tak perlu berurusan dengan matematika. Walaupun pada kenyataannya semua hanyalah ilusi!
Wajahku langsung berubah masam saat aku mengetahui arti dari nama latin yang diumumkan oleh asisten lab. Kalian tahu apa? Mereka meminta kami untuk membawa kodok, katak, pacat, lintah, kadal dan beberapa hewan lain bahkan cacing! Bayangkan bagaimana hampir gilanya aku saat mengetahui arti semua spesimen yang harus di bawa.
"Kalau bisa cari sendiri ya dek, kampus kita luas. Pasti kalian bisa nemu semua bahan yang diminta di sini."
Aku menelan ludah saat membayangkan harus menangkap hewan-hewan tersebut dengan tanganku. Apalagi kodok! Ya ampun, bunuh aja adek bang!
Tapi justru berkuliah di Biologi membuat phobiaku pada hewan mulai membaik, bahkan sekarang aku sudah biasa saja saat melihat ular. Malah kalau ada ular melintas, yang ada dipikiranku justru seperti ini,
"Syukur lo munculnya sekarang kan lar, kalau nggak, udah berakhir di meja praktikum deh lo!”
Kuliah di Biologi juga mengajarkanku untuk teliti gaes. Gimana nggak? Pernah di salah satu judul praktikum, kami harus membawa sepuluh jenis kodok yang berbeda. Eh buset dah, bagiku semua kodok sama aja. Yang penting berlendir, gendut, kaki empat bisa lompat dan nggak pandai berenang seperti katak. Dan lagi-lagi kami diminta untuk mencari sendiri, agar bisa mengenal para kodok secara lebih dekat. Eakkk, berasa gebetan deh!
Dan perihal tiada matematika, ternyata aku salah besar gaes!. Sangat salah besar! Biologi punya matematikanya sendiri, yaitu pada bidang genetika. Matematika yang dikombinasikan dengan keahlian meramal. Misalnya begini, seorang pria buta warna akan menikah dengan seorang wanita carier (pembawa) buta warna, berapakah jumlah keturunannya yang normal? Kadang aku berpikir, nih orang mau nikah kenapa malah aku yang ribet? Lagian masih mau nikah loh ini. Bisa aja kan mantannya dateng atau pelakor muncul, gagal deh mereka nikah.
Tapi begitulah, tetap saja aku bersyukur masuk ke jurusan ini. Berkat jurusan ini jiwa magerku sedikit berkurang, jiwa penakutku pun juga. Karena keluar masuk hutan sudah menjadi agenda rutin yang kami lakukan. Ketemu makhluk ghaib? Ops, sudah biasa. Jangankan di dalam hutan, di laboratorium tempat aku melakukan penelitian-pun bisa dijadikan mas botak dan acara masih dunia lain sebagai sarana uji nyali.
Mulai dari mbak kunti yang suka ngetok-ngetok jendela laboratorium, mas ocong yang demen nongkrong di tangga dekat mushollah dan makhluk astral lainnya. Bahkan aku pernah punya pengalaman pribadi bersama mereka. Aku masih ingat kejadian itu. Seperti biasa, karena penelitian yang menyita waktu dan harus diamati secara berkala, aku harus menginap di kampus. Aku sengaja mengajak ketiga temanku, Cancan, Tia dan Siska untuk menginap, dengan imbalan aku akan ikut menginap di lab bersama mereka saat nanti mereka membutuhkan.
Malam itu seperti biasa, kami berniat ngobrol ngalor ngidul sebentar sebelum tidur sambil bermain kartu uno. Kebetulan kami adalah tipe manusia bar-bar yang nggak bisa mengontrol suara saat bermain. Saat kami sedang seru-serunya dan giliran temanku mengeluarkan kartu, tiba-tiba ada seseorang yang mengatakan "uno!"
Awalnya kami pikir Cancan-lah yang bersuara, karena saat itu adalah giliran dia yang mengeluarkan kartu. Tapi ternyata kami salah, Cancan bahkan belum melihat kartunya. Dia justru termenung, membuat kami memandangnya dengan ekspresi ngeri.
"Lo barusan ngomong Can?"
Tanya Tia hati-hati.
Cancan langsung menggeleng dan menelan ludah. Hening sejenak, tak ada yang berani bersuara. Kami hanya bisa saling berpandangan.
"Hahaha, yaudahlah. Lanjut Can!"
Ucap Siska, yang berusaha mencairkan suasana.
Kami lalu tertawa canggung dan mulai melanjutkan permainan lagi. Tak butuh waktu lama kami mulai melupakan kejadian aneh barusan dan kembali bersemangat bermain. Saking serunya, kami sampai tertawa terbahak-bahak. Tapi tiba-tiba, tanpa ada yang memberikan komando, kami berempat sontak menghentikan tawa kami dan langsung membaringkan tubuh, menutup paksa mata hingga akhirnya tertidur. Padahal kartu-kartu Uno itu masih berada di genggaman tangan kami masing-masing. Tahu kenapa tawa kami yang lagi seru-serunya tiba-tiba berhenti? Itu karena di balik tawa kami, ada tawa lain yang terdengar, dengan intonasi berbeda. Sebuah kikikan lengking yang terdengar pelan tapi merasuk ke dalam gendang telinga. Bahkan tanpa perlu bertanya-tanya, kami sudah bisa menebak si empunya suara. Huft, sepertinya tawa itu adalah kode dari mbak kunti agar kami segera tidur dan menutup mata.
***
Suara dering ponsel membuatku terlonjak kaget. Hampir saja jarum ose untuk mengambil mikroba di tanganku terjatuh. Duh, sepertinya aku lupa mematikan nada dering. Aku melirik ke arah ponselku yang tergeletak di atas meja. Karena tanganku sedang sibuk memegang mikroba unyu-unyu kesayanganku ini, aku sama sekali tak bisa mengangkat panggilan dari siapapun itu. Untung ada Cancan yang bergerak menuju ke meja tempat HPku tergeletak.
"Mbak Bian nih Cha.”
Ucap Cancan sambil mengarahkan layar ke wajahku.
Aku hanya mengangguk, mengisyaratkan Cancan untuk mengangkat telpon karena kondisiku yang masih fokus dengan jajaran mikroba kesayanganku. Sayup-sayup terdengar suara bercakap-cakap antara Cancan dan mbak Bian, sebelum akhirnya berhenti.
"Kata mbak Bian dia udah mesan makanan dari ojol, ayam gepuk kesukaan lo. Terus mbak Bian juga bilang dia bakal jemput lo kalau lo udah selesai"
Aku hanya mengangguk dan terus fokus dengan pekerjaanku. Dalam hati sangat bersyukur bisa mengenal orang yang begitu perhatian seperti mbak Bian. Bahkan tanpa perlu kuminta, dia langsung tahu bahwa aku sedang seret akibat akhir bulan dan belum sempat memesan makanan. Duh tuhan, kalaulah mbak Bian cowok, pasti bakal ku kejar sampai dapat.
Cancan tiba-tiba duduk di sebelahku sambil memakai sarung tangan dan masker. Dia menyemprot kedua tangannya dengan alkohol dan mulai membantuku. Aku hanya memutar bola mata jengah melihat Cancan. Jika sudah begini tandanya dia meminta 'jatah' dari makan siang yang mbak Bian pesankan. Sebenarnya tanpa dimintapun aku pasti akan langsung membaginya pada Cancan karena mbak Bian selalu memesankan makanan dengan porsi berlebih, bahkan cukup untuk 3 orang. Pokoknya semenjak aku mengenal mbak Bian, aku tak perlu susah payah lagi berpuasa jika akhir bulan mendekat.
Tepat pukul 13.00 pekerjaanku akhirnya selesai, bersamaan dengan datangnya bapak ojol yang langsung di sambut dengan karpet merah oleh Cancan. Kami mulai makan sambil ngobrol tentang perkembangan penelitian masing-masing, tak lupa juga mengutuk kedua teman kami lainnya yang sudah lebih dulu menyelesaikan penelitin mereka.
"Dasar, kawan nggak berakhlak. Bisa-bisanya selesai deluan!"
Ocehku sebal.
Cancan menanggapi ocehanku dengan gerutuan yang sama, sebelum akhirnya dia terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu.
"Lo ngerasa.. Mbak Bian aneh nggak?"
Tanyanya Cancan tiba-tiba.