Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buku Resep
"Jadi," Nadia memulai, setelah mereka semua berkumpul di kafe dekat kampus keesokan harinya, "bisa jelaskan kenapa kakak tiba-tiba muncul di tempat radio itu?"
Arya tersenyum, matanya sesekali melirik Kinanti. "Aku sedang meneliti jaringan komunikasi rahasia para pejuang untuk tugas S1-ku. Tidak kusangka akan bertemu kalian di sana."
"Terlalu kebetulan," gumam Reza, nadanya sedikit skeptis.
"Memang kebetulan," Arya mengakui. "Tapi mungkin takdir? Maksudku, Kinanti dan aku sudah berteman sejak kecil. Dan sekarang penelitian kita mengarah ke hal yang sama."
Dimas, yang sejak tadi sibuk mengedit video rekamannya, mengangkat kepala. "Tunggu, jadi kalian sudah saling kenal?"
"Kami tetanggaan waktu SD," Kinanti menjelaskan. "Sebelum keluarga Arya pindah ke Jakarta."
"Dan sekarang kamu kuliah di sini?" tanya Nadia.
"Yup. Jurusan Sejarah. Fokus penelitianku adalah metode komunikasi rahasia masa perjuangan," Arya mengeluarkan sebuah buku usang dari tasnya. "Dan kalian harus lihat ini."
Buku itu ternyata kumpulan resep masakan tradisional. Tapi ada yang aneh dengan cara penulisannya.
"Lihat takaran bahannya," Arya menunjuk. "Tidak masuk akal. Tidak ada resep Sayur Lodeh yang pakai 17 lembar daun salam dan 8 butir kemiri yang dibelah 45 bagian."
Kinanti mendekat untuk melihat lebih jelas, tidak menyadari perubahan ekspresi Reza. "17-8-45... Tanggal kemerdekaan!"
"Tepat!" Arya tersenyum lebar. "Dan ada puluhan resep seperti ini. Setiap resep mengandung kode berbeda."
"Tapi apa hubungannya dengan radio yang kita temukan?" tanya Dimas.
"Radio itu masih digunakan untuk mengirim pesan dengan kode morse," Arya menjelaskan. "Dan pesan-pesan itu... mereka menggunakan resep masakan sebagai kunci."
"Maksudmu," Nadia mencoba memahami, "seseorang masih menggunakan jaringan radio bawah tanah ini? Sampai sekarang?"
"Dan menggunakan buku resep untuk mengartikan pesannya," Reza menambahkan, mulai tertarik meski masih waspada dengan kehadiran Arya.
"Exactly!" Arya mengeluarkan notebooknya. "Dan kalian tidak akan percaya apa yang berhasil kurekam semalam."
Dia memutar rekaman suara dari radio. Di antara suara statis, terdengar serangkaian bunyi morse yang terpotong-potong.
"Aku sudah mencoba menerjemahkannya dengan kode dari beberapa resep," Arya menunjukkan catatannya. "Sepertinya ini tentang lokasi pertemuan."
"Tunggu," Kinanti tiba-tiba teringat sesuatu. "Kartika... dalam surat terakhirnya ke Sariasih, dia menulis tentang 'resep rahasia keluarga' yang harus dijaga."
"Mungkin ini resepnya?" Nadia mengangkat buku tua itu.
"Well, hanya ada satu cara untuk memastikannya," Dimas menutup laptopnya. "Kita perlu mengecek lokasi pertemuan ini."
"Dan kurasa kita perlu bergegas," Arya menunjuk salah satu kode. "Karena menurut resep Sayur Lodeh ini, pertemuannya akan terjadi lusa malam."
Kinanti menatap teman-temannya satu per satu. Nadia sudah siap dengan kamera dan notesnya. Dimas tampak bersemangat dengan kemungkinan mendapat footage baru. Reza... dia bisa melihat keraguan di mata Reza, tapi juga tekad untuk memecahkan misteri ini.
"Baiklah," Kinanti mengambil keputusan. "Lusa malam. Tapi kita harus beritahu Prof. Handoko dulu."
Saat mereka bersiap pulang, Arya menahan Kinanti sebentar. "Hey, masih ingat pohon mangga di halaman rumahmu? Yang sering kita panjat dulu?"
Kinanti tersenyum mengenang. "Yang bikin kamu jatuh dan patah tangan itu?"
"Yup. Lucu ya, sekarang kita memanjat-manjat gedung tua mencari petunjuk," Arya tertawa.
Dari sudut matanya, Kinanti bisa melihat Reza mengamati mereka, ekspresinya sulit dibaca. Nadia dan Dimas sudah lebih dulu keluar kafe, sibuk mendiskusikan rencana dokumentasi untuk besok.
"See you tomorrow?" Arya tersenyum, tangannya menyentuh lembut bahu Kinanti.
"Yeah... see you tomorrow."
Keesokan harinya
Pagi itu dimulai dengan latihan basket seperti biasa. Tapi Reza tampak tidak fokus, beberapa kali bolanya meleset dari ring.
"Kenapa sih?" tanya Dimas saat mereka istirahat. "Gara-gara si Arya ya?"
Reza meneguk air mineralnya tanpa menjawab. Matanya tertuju pada Kinanti yang baru datang ke sekolah, berjalan bersama Nadia sambil membawa buku resep tua yang kemarin mereka temukan.
"Kamu cemburu?" goda Dimas.
"Nggak lah," Reza mencoba tersenyum. "Cuma... aneh aja. Terlalu kebetulan dia muncul di saat seperti ini."
Di perpustakaan, Kinanti dan Nadia mulai mempelajari buku resep itu lebih detail. Bu Ratna bergabung dengan mereka, membawa beberapa buku referensi tentang kode dan sandi masa perjuangan.
"Coba lihat ini," Kinanti menunjuk salah satu resep. "Resep Nasi Uduk yang minta 3 lembar daun pandan dipotong 10 bagian, lalu ditambah 3 lembar lagi yang dipotong 45 bagian."
"3-10-3-45..." Bu Ratna mengangguk. "Tanggal 3 Oktober 1945. Pasti ada sesuatu yang penting di tanggal itu."
Nadia yang sedang memotret halaman-halaman buku tiba-tiba berseru, "Guys! Ada catatan tangan di pinggir halaman!"
Mereka mendekat. Di pinggir halaman resep Sayur Asem, ada tulisan kecil yang nyaris tidak terlihat: "Untuk yang mencari jawaban - temui aku di tempat biasa. Bawa resep ini sebagai kunci."
"Tulisan siapa?" tanya Kinanti.
"Entahlah," Bu Ratna mengamati tulisan itu. "Tapi sepertinya baru. Tintanya masih cukup jelas dibanding tulisan resep yang sudah menguning."
Saat istirahat kedua, mereka berkumpul di kantin. Arya bergabung dengan mereka, membawa laptop berisi hasil analisis kode morse yang ia rekam semalam.
"Jadi," dia menjelaskan sambil membuka file rekamannya, "morse ini muncul setiap tengah malam di frekuensi 87.9 FM. Selalu pola yang sama: tiga kali pengulangan, lalu jeda, kemudian serangkaian kode baru."
"Dan kamu yakin ini berhubungan dengan buku resep?" tanya Reza, masih skeptis.
"Lihat ini," Arya menunjukkan spreadsheet berisi analisisnya. "Setiap kode morse yang muncul selalu terdiri dari angka-angka. Saat kucocokkan dengan takaran di resep-resep ini, mulai masuk akal."
"Maksudnya?" Dimas mendekat untuk melihat lebih jelas.
"Misalnya, kode morse semalam menunjukkan angka 5-7-2-8. Di resep Sayur Lodeh, ada instruksi 'potong 5 wortel menjadi 7 bagian, tambahkan 2 batang serai yang dipotong 8 bagian.' Terlalu spesifik untuk jadi kebetulan, kan?"
Kinanti mengangguk perlahan. "Dan tulisan di pinggir halaman itu... mungkin dari orang yang mengirim kode morse ini?"
"Question is," Nadia meletakkan kameranya, "siapa yang masih menggunakan jaringan radio bawah tanah ini? Dan untuk apa?"
"Mungkin..." Kinanti ragu sejenak, "mungkin Kartika masih hidup?"
Semua terdiam. Kemungkinan itu memang ada, meski terdengar tidak masuk akal.
"Well, kita akan tahu jawabannya besok malam," kata Arya. "Kode morse itu menunjukkan koordinat pertemuan di dekat stasiun kereta tua."
"Tunggu," Reza mengangkat tangan. "Kita tidak bisa langsung percaya dan pergi begitu saja. Bagaimana kalau ini jebakan?"
"Reza benar," Bu Ratna yang baru bergabung menimpali. "Kita harus hati-hati. Tapi... saya rasa ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan."
Mereka sepakat untuk bertemu di stasiun kereta tua besok malam. Bu Ratna akan mendampingi, dan mereka akan membawa peralatan dokumentasi lengkap.
Sepulang sekolah, saat yang lain sudah pulang, Reza menghampiri Kinanti yang masih membereskan bukunya.
"Hey," sapanya pelan. "Boleh bicara sebentar?"
Kinanti mengangguk, jantungnya berdebar tanpa alasan jelas.
"Tentang Arya..." Reza memulai dengan hati-hati. "Kamu... yakin dia bisa dipercaya?"
"Maksudmu?"
"Entahlah. Hanya feeling. Terlalu kebetulan dia muncul di saat seperti ini, dengan informasi yang terlalu pas..."
Kinanti tersenyum kecil. "Arya memang selalu seperti itu sejak kecil. Muncul tiba-tiba dengan ide-ide gilanya. Tapi... dia orang baik, Za. Aku kenal dia."
"Yeah, that's the point," Reza menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kamu kenal dia. Tapi kami tidak. Dan dalam situasi seperti ini..."
"Hey," Kinanti menyentuh lengan Reza pelan. "Kita hadapi ini sama-sama, oke? Kalau ada yang mencurigakan, kita bisa langsung mundur."
Reza akhirnya tersenyum. "Oke. Tapi besok... jangan jauh-jauh dariku ya?"
Kinanti merasa pipinya memanas. "Siap, Pak Ketua."
Malam itu, Kinanti mencoba menganalisis buku resep itu sekali lagi di kamarnya. Setiap resep tampak normal pada pandangan pertama, tapi saat diperhatikan lebih detail, selalu ada kejanggalan dalam takarannya.
Resep Soto Ayam yang minta 8 butir bawang putih dibelah 17 bagian. Sambal Terasi yang menggunakan 45 cabai rawit dipotong diagonal. Bahkan resep sederhana seperti Tumis Kangkung pun memiliki instruksi aneh tentang pemotongan bahan.
Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tidak dikenal
"Resep-resep itu adalah kunci. Tapi hati-hati, tidak semua koki bisa dipercaya. -K"
Kinanti tersentak. Lagi-lagi pesan misterius itu. Dia hendak menghubungi yang lain ketika radio tua pemberian Pak Bambang tiba-tiba berbunyi.
Dengan tangan gemetar, Kinanti membuka resep nomor 17 yang berisi resep Nasi Goreng Kampung. Dan di sana, di antara instruksi rumit tentang mengiris bawang, dia melihatnya. Sebuah koordinat yang ditulis dengan tinta transparan, hanya terlihat saat halaman dimiringkan ke arah cahaya.
Besok malam, misteri ini akan mulai terkuak. Tapi pertanyaannya: siapa yang bisa dipercaya? Arya dengan penelitiannya yang kebetulan? Pesan misterius dari K? Atau... ada pihak lain yang bermain dalam pencarian ini?
Kinanti menutup buku resep itu dan memejamkan mata. Besok akan jadi malam yang panjang.