Memiliki anak tanpa suami membuat nama Cinta tercoret dari hak waris. Saudara tirinya lah yang menggantikan dirinya mengelola perusahaan sang papa. Namun, cinta tidak peduli. Ia beralih menjadi seorang barista demi memenuhi kebutuhan Laura, putri kecilnya.
"Menikahlah denganku. Aku pastikan tidak akan ada lagi yang berani menyebut Laura anak haram." ~ Stev.
Yang tidak diketahui Cinta. Stev adalah seorang Direktur Utama di sebuah perusahaan besar yang menyamar menjadi barista demi mendekatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4~ MEMINTA WAKTU 1 BULAN
Ketukan dibalik pintu kamar membuat Vano yang sedang menyisir di depan cermin seketika menoleh. Pria tampan itu menyimpan sisirnya kemudian melangkah menuju pintu.
Setelah membuka pintu, Vano langsung tersenyum melihat sosok cinta pertamanya. Wanita yang melahirkannya itu pun mengembangkan senyum diwajah cantiknya yang tak termakan usia.
"Apa Mama boleh masuk?'' tanya mama Kinan.
"Tentu boleh dong, Ma." Vano langsung merangkul mamanya masuk kedalam kamarnya sambil melirik sesuatu yang dibawa sang mama, terlihat seperti beberapa lembar foto.
"Van, ada yang mau Mama bicarakan denganmu," ujar mama Kinan setelah duduk dipinggiran ranjang putranya.
"Apa itu sesuatu yang penting, Ma?" Vano terus melirik benda ditangan mamanya.
"Iya, sangat penting. Karena ini menyangkut masa depanmu. Dan kamu harus dengarkan Mama!" tekan wanita yang masih terlihat cantik diusianya yang tak lagi muda.
Vano langsung menelan salivanya dengan sedikit kesusahan. Ia sudah mulai bisa menebak apa yang ingin dibicarakan mamanya.
"Ma, bisa tidak bicaranya lain kali saja. Aku lagi buru-buru ini." Vano meraih tas kerjanya, memasukan beberapa dokumen untuk lebih meyakinkan.
"Jangan mencari alasan, Vano. Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang ingin Mama bicarakan, dan sekarang kamu berusaha untuk menghindar." Wanita baya itu menatap putranya dengan membola.
Vano menghela nafas sambil mengusap tengkuknya yang tiba-tiba saja terasa meremang. Auranya benar-benar membuat tubuhnya serasa tenggelam di dasar bumi.
"Tapi sekarang kamu tidak bisa menghindari Mama lagi." Mama Kinan meletakkan beberapa lembar foto di telapak tangan putra keduanya itu.
Vano langsung meletak foto-foto itu diatas tempat tidur tanpa berniat untuk melihatnya. Ia tahu itu adalah foto beberapa wanita yang dipilihkan mamanya. Tapi ia sama sekali tidak tertarik.
"Vano, kenapa sih?" Mama Kinan mendengus kesal. "Setidaknya lihat dulu salah satunya."
"Apapun permintaan Mama akan selalu aku penuhi. Tapi maaf, Ma. Untuk kali aku tidak bisa menuruti keinginan Mama," ujar Vano penuh sesal.
"Tapi sampai kapan, Vano? Kakak kamu Rian, sekarang tengah menanti anak keduanya lahir. Dan adik kamu, Vani, juga sudah punya pacar. Tinggal kamu yang masih sendiri. Apa kamu mau didahului sama adik kamu?"
Vano menghela nafasnya, "Mungkin sebaiknya seperti itu, Ma. Jika Vani yang menikah lebih dulu, maka aku akan lebih tenang karena Vani sudah ada yang menjaga."
"Tapi kamu sendiri bagaimana?"
"Nanti kalau sudah waktunya, aku juga pasti bakalan nikah kok, Ma. Gak mungkin anak Mama yang tampan ini jadi bujang lapuk." Pria tampan itu nyengir memperlihatkan deretan giginya yang putih.
"Dasar kamu!" Mama Kinan meninju pelan lengan putranya. "Waktu apa yang kamu tunggu, huh? Nungguin Mama sama Papa udah gak ada lagi, begitu?"
"Ya enggak gitu juga dong, Ma." Vano langsung memeluk mamanya itu, lalu menghujani kecupan di pipi yang sudah nampak kerutannya namun tetap terlihat cantik.
"Aku pastikan Mama dan Papa adalah orang yang paling bahagia di hari pernikahanku nanti," ujarnya dengan tatapan berbinar. Tapi hatinya tidak sejalan dengan ucapannya. Jika benar anaknya Laura adalah darah dagingnya. Tak terbayangkan akan sekecewa apa kedua orangtuanya, mengetahui ia telah memiliki anak diluar pernikahan.
"Tapi kapan, Vano? Mama benar-benar udah gak sabar menunggu hari itu tiba. Mama sudah kepengen banget lihat Kamu nikah. Memangnya kamu gak mau punya istri yang selalu menyiapkan semua kebutuhan kamu. Menemani kamu di setiap waktu dalam keadaan apapun?" Mama Kinan mencoba merayu putranya itu. Ia tidak mau koleksi foto yang ia bawa kali ini akan berakhir mengenaskan di tong sampah untuk yang kesekian kalinya.
"Ya mau banget dong, Ma. Aku mau seperti Papa, kalau tidur ada yang nemenin, ada yang dipeluk. Pagi sarapan sudah disiapin, dasi ada yang masangin. Pulang kerja ada yang nyambut. Kalau capek ada pijitin. Mau makan apa tinggal minta dimasakin. Tapi ... nanti ya, Ma." Vano mengedipkan kedua matanya sambil cengengesan.
"Vano, Mama mohon dengarkan Mama kali ini. Setelah itu Mama tidak akan meminta apapun lagi padamu." Mama Kinan menatap putranya dengan memohon.
"Ma, please jangan memohon seperti ini padaku." Vano menghela nafasnya. "Oke baiklah, aku akan menuruti keinginan Mama kali ini. Tapi berikan aku sedikit waktu lagi, Ma."
Mama Kinan seketika berbinar, "Baiklah tidak masalah, asalkan kamu mau menikah. Berapa lama waktu yang kamu minta?"
"1 bulan!" ucap Vano spontan. Namun, tiba-tiba saja tenggorokannya tercekat, rasanya ia ingin memukul mulutnya sendiri karena dengan lancang menyebut waktu yang begitu singkat itu baginya.
"Baiklah, deal 1 bulan." Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itupun keluar dari kamar putranya dengan perasaan senang.
Sedang Vano kini benar-benar merasa dilema. Untuk apa ia meminta waktu 1 bulan itu. Ia benar-benar kesal pada dirinya sendiri. Sekarang ia harus cepat untuk melakukan tes DNA terhadap anaknya Cinta.
Wajahnya seketika saja nampak murung. Ia sangat yakin jika Cinta adalah wanita yang telah menghabiskan malam bersamanya saat itu. Tapi bagaimana kalau seandainya anaknya Cinta bukan darah dagingnya. Bisa saja kan, ada laki-laki lain selain dirinya. Apakah ia akan tetap menikahi Cinta sesuai janjinya setelah menemukan wanita itu.
.
.
.
"Non, memangnya dari awal Laura minum susu formula ya? Enggak pernah ASI?" tanya mbok Darmi yang tengah memperhatikan Cinta membuat susu untuk Laura. Saat itu, Laura berusia satu bulan saat dibawa pulang, dan ia tidak pernah melihat Cinta menyusui bayinya.
Cinta tak langsung menjawab. Ia terlebih dahulu menyelesaikan membuat susu, kemudian berbalik menghadap mbok Darmi.
"Kalau dari awal dikasih ASI, takutnya nanti Laura susah lepas sementara aku harus kerja, Mbok."
"Tapi kan, bisa stok, Non?"
Cinta mengatupkan bibirnya sejenak. "Susu formula udah lebih praktis, Mbok. Aku gak perlu repot pumping ASI lagi," jawabnya kemudian.
Mbok Darmi tampak mengangguk pelan. "Iya juga sih, repot memang. Belum lagi kalau stoknya habis sementara Non Cinta belum pulang."
Cinta tersenyum. "Titip Laura lagi ya, Mbok. Ntar kalau gajian aku kasih tips lebih." Ia mengedipkan sebelah matanya. Semalam Stev mengatakan akan mengantar jemputnya mulai hari ini. Jadi uang untuk ongkos ojeknya bisa ia berikan pada Mbok Darmi.
"Sebenarnya gak dikasih juga gak apa-apa, Non. Saya ikhlas jagain Laura. Setiap lihat Laura saya jadi keinget cucu di kampung." Mbok Darmi tersenyum tulus.
"Enggak bisa begitu. Mbok udah cakep kerja di tambah jagain Laura. Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membalas jasa Mbok Darmi. Itupun aku gak bisa kasih banyak, jumlahnya bahkan mungkin seperempat dari gaji baby sitter." Cinta tersenyum kecut.
Mata mbok Darmi tampak berkaca-kaca. Ia sangat prihatin pada Cinta yang sekarang diperlakukan dengan begitu berbeda oleh keluarganya sendiri. Tapi ia hanya bisa diam menyaksikan itu semua.
Sementara itu...
Stev yang baru saja sampai di alamat yang semalam diberikan Cinta, cukup dibuat terkejut. Sekarang ia berdiri di balik pagar sebuah rumah yang begitu megah.
Apa Cinta tidak salah memberikannya alamat. Untuk memastikannya, ia segera mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Cinta. Hanya dalam beberapa detik sambungan telponnya pun terhubung.
"Cin, aku udah sampai di alamat yang kamu kasih. Tapi, apa kamu gak salah kasih alamat?"
Mendengar itu, Cinta pun buru-buru menuju balkon kamarnya. Dari situ ia bisa melihatnya seorang pria mengenakan helm berdiri di luar pagar. "Enggak salah, Stev. Coba lihat ke atas," ucapnya sambil melambaikan tangan.
Stev pun mendongak. Ia yang semula nampak bingung itu, langsung tersenyum melihat Cinta melambaikan tangannya di atas sana. Namun, ada satu hal yang mengganjal di pikirannya. Seorang barista seperti Cinta, tinggal di rumah yang sangat megah.
"Kamu tunggu sebentar ya. Aku turun sekarang." Cinta pun memutuskan sambungan teleponnya.
Stev mengintip ke balik pagar. Ia bisa melihat satpam yang sedang bersantai di pos. Namun, tak lama kemudian kedua bola matanya terbelalak begitu melihat seorang wanita yang berjalan menuju sebuah mobil.
"Itu kan, Indri?"