Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis Kecil Masalalu
Selepas kepergian Laras, Aksa berniat mengambil ponselnya. Dahinya mengerut mendapati ponselnya dalam keadaan mati. Seingatnya, batrenya masih banyak. Aksa gegas mengambil charger. Mengisi dayanya.
"Masih tujuh puluh persen. Kok mati?" gumamnya, heran. Menghidupkan kembali ponselnya. Sepertinya ada sesuatu yang mencurigakan. Ditambah sikap Laras yang diperlihatkan padanya tadi.
Begitu ponsel menyala sempurna, Aksa segera membuka kolom chattingnya. Benar dugaannya. Ada pesan dari Lila. Tapi pesannya belum dibuka sama sekali. Kalau begitu, kenapa Laras secemburu itu tadi? Aksa baru paham ketika membuka logaritma panggilan. Bekas panggilan masuk dari Lila sekian menit. Pantas saja, Laras tiba-tiba badmood. Aksa menegang. Apa yang dikatakan Lila pada gadisnya?
Rahang Aksa mengeras. Sepertinya dia memang harus bertindak cepat, sebelum Lila dan om Reksa semakin menjadi.
Mencari kontak yang ditujunya, menekan tombol panggil.
"Lakukan sekarang juga. Kalau bisa secepatnya."
"Baik, boss. Siap laksanakan."
"Laporkan hasilnya begitu selesai."
"Siap, Boss."
"Bagus. Aku tunggu kabar secepatnya."
Aksa menekan tombol akhiri. Raut dinginnya menajam. Dia paling tidak suka orang lain mencampuri urusannya. Apalagi, sampai berani mengancam dirinya.
Semalam, Lila benar-benar membuatnya tertahan di rumah sakit. Menangis mengeluarkan ancamannya. Aksa membiarkannya, karna bagaimanapun juga, dia juga bersalah. Memiliki hubungan disaat sudah menikah dengan perempuan lain. Dia biarkan Lila menuntaskan amarah padanya. Malam tadi, Aksa terpaksa lama disana, Lila mengancam bunuh diri. Hingga, pukul tiga dini hari, dia baru pulang. Mendapati gadisnya tidur meringkuk sendiri. Perasaan bersalahnya semakin menelusup. Mengecup dahi Laras lama, mengobati kegelisahannya. Membisikkan kata-kata permohonan maaf, akibat perlakuannya dulu. Meski dia tahu, Laras tak mendengarnya.
"Kali ini aku tidak akan pernah melepasmu, Bunga. Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan siapapun menganggu kita. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tetap berada disisiku," tekadnya.
.
.
Di sisi lain, Lila yang mendapat umpatan Laras, mengamuk histeris. Melempar apa saja yang ada di dekatnya, hingga berhamburan di lantai.
"Aarrh! Gue benci lo, Bunga sialan!" teriaknya, frustasi.
"Lo udah berani rebut Aksa dari gue. Pelac*r brengs-ek!"
Brak!
Melempar ponselnya ke dinding. Hancur seketika.
Napasnya memburu naik turun. Matanya merah nyalang.
"Aksa milik gue, dan selamanya bakal jadi milik gue. Lo gak berhak rebut Aksa dari gue, jal*ng!"
"Arrrh! Sial!"
.
.
Aksa mendesah pelan. Niatnya menyingkirkan Lila sudah bulat. Selain dia tidak suka paksaan Lila, juga karna ada rahasia yang harus ditutup. Bukan tidak mungkin kalau suatu saat Lila akan membongkar semuanya. Baginya, Lila adalah batu sandungan yang harus segera disingkirkan. Dia tidak mau Bunga pergi darinya kalau gadis itu tahu kebenarannya.
Bodoh. Dia akui dia memang bodoh saat itu. Tidak pernah sekalipun melihat keberadaan Bunga disisinya. Padahal, kalau dia ingat-ingat lagi, Bunga tidak pernah menuntutnya. Memposisikan sebagai istri yang baik meski kerap dia sakiti. Pria muda itu terpekur.
Telpon Aksa kembali berdering. Kali ini mamanya yang menelpon. Aksa segera mengangkatnya.
"Iya, Ma."
"Kamu di kantor?"
"Enggak, Ma. Di rumah."
"Loh, tumben."
"Iya. Sesekali ambil libur."
"Haha. Bunga mana?"
"Di luar."
"Hmm. Gimana, ada masalah?"
Aksa melirik ke arah pintu. Dia tahu maksud masalah yang dimaksud mamanya.
"Sejauh ini aman."
"Bagus. Mama harap kamu bisa mengatasinya."
"Iya, Ma. Aksa tahu."
"Jangan sampai membuat kesalahan lagi. Mama gak mau bantu kalau sampai kejadian terulang lagi."
"Iya, Ma."
"Juga, obatnya jangan lupa. Mama gak bisa bayangkan kalau ingatan Bunga kembali."
Aksa diam. Jahat, bukan? Tapi tidak ada jalan lain untuk menekan ingatan Bunga agar tidak cepat kembali. Ada dua kemungkinan yang dia takutkan seandainya Bunga mendapatkan kembali ingatannya.
"Sa? Kok diam?"
Aksa mengembuskan napas pelan.
"Aksa masih disini, Ma."
"Ya udah. Mama cuma mau memastikan. Mama khawatir."
"Em. Thanks, Ma."
Telpon dimatikan.
Bagaimana cara dia memperlakukan Bunga dulu, juga penyebab kecelakaan itu, Aksa ingin mengubur jauh-jauh ingatan Bunga tentang itu. Dia akui, awalnya dia memang tidak menyukai Bunga. Tapi mama mendesaknya. Sebagai seorang ibu, jelas saja mamanya tidak ingin Aksa mendekam di penjara. Kesalahannya terlalu fatal. Jadi, saat mama tahu Bunga kehilangan ingatannya, perempuan itu lega. Menyuruh putranya untuk memanfaatkan kesempatan. Mengulur waktu dengan obat penunda pemulihan ingatan, yang dia berikan perintahnya secara diam-diam lewat bi Imah. Aksa terpaksa menuruti, tapi, ternyata dia justru tertarik dengan Bunga yang sekarang. Laras, yang lebih agresif dibandingkan Bunga yang lemah. Seperti dua jiwa yang berbeda.
Laras belum kembali. Aksa mengecek ponselnya, dan ternyata di tinggal.
"Marah beneran dia," gumamnya terkekeh. Bergegas menyusul.
"Sayang ... Kamu dimana? Suamimu kangen nih."
.
.
"Bang Aksa, yuk nikah," celetuk seorang gadis kecil pada anak laki-laki yang sedang serius dengan pekerjaan rumahnya.
"Anak kecil mana yang suka ngajakin nikah, hmm?" tukas si anak laki-laki tanpa menghentikan pekerjaannya.
"Bunga. Hehe."
"Belajar, Bunga. Lihat tuh, pr mu sama sekali belum dikerjakan," menunjuk dengan dagunya pada buku Bunga yang terbuka tapi belum disentuh sama sekali.
"Nanti aja. Nunggu bang Aksa selesai, terus ntar ajarin Bunga."
"Tugas bang Aksa masih banyak, Bung. Lama selesainya."
"Gak papa. Bunga tungguin kok."
Anak laki-laki itu mengela napas. Tapi tidak memarahi anak perempuan di sebelahnya itu. Dia kembali fokus dengan tugasnya. Sementara si anak perempuan menopang kedua pipinya dengan tangan kecilnya. Menatap si anak laki-laki dengan senyum lebar terukir.
"Bang Aksa ganteng deh."
Si anak laki-laki menoleh.
"Pokoknya bang Aksa harus nikah sama Bunga ya?"
Si anak laki-laki meletakkan pensilnya.
"Emang kamu tahu, nikah itu apa?"
"Tahu dong," jawabnya antusias.
"Apa?"
"Emm .... Ya kayak mama sama papa. Terus om sama tante. Boleh peluk, boleh cium, boleh gandengan."
Anak laki-laki itu menggelengkan kepala.
"Terus?"
"Ya kayak gitu."
"Bukannya kamu sudah sering peluk bang Aksa? Tiba-tiba dan gak izin."
Bocah perempuan itu nyengir. Memamerkan barisan gigi ompongnya.
"Berarti kita udah nikah dong. Yeeeay!"
"Nikah itu untuk orang dewasa. Kamu masih kelas satu, Bunga. Masih lama."
Seketika gadis kecil itu cemberut. Bibirnya manyun.
"Yah, kok gitu."
"Gak usah mikirin nikah-nikahan. Belajar dulu yang benar. Kamu pengen jadi dokter kan? Nah, tunggu sampai kamu dewasa dan jadi dokter ---"
"Terus nikah sama bang Aksa?" kerjapnya dengan binar mata bulatnya yang imut.
Si anak laki-laki menepuk dahinya.
"Terserah kamu lah, Bung."
"Yeay! Bang Aksa mau nikahin Bunga kalau udah jadi dokter."
Si anak laki-laki tak menanggapi. Kembali mengerjakan tugasnya. Sementara bocah perempuan itu terus mengoceh. Meski hanya mendapat sahutan singkat dari si anak laki-laki.
Hingga tak berselang lama, ocehan itu tak terdengar. Berganti dengan dengkuran halus. Anak laki-laki itu mengangkat wajahnya. Memandang bocah perempuan yang ternyata sudah tidur. Pr nya bahkan belum tersentuh sama sekali. Meletakkan pensilnya, anak laki-laki itu mengambil bantal. Lalu dengan hati-hati mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu berbaring di kasur lantai.
Bibirnya mengulas samar menatap wajah lelap si gadis kecil cerewet itu.
"Anak sekecil ini bisa-bisanya kepikiran nikah. Ck. Ada-ada saja."
Tapi tak urung, bibirnya mengulas senyum tipis.
.
.
Laras membuka matanya. Senyumnya berbinar hangat. Mimpi tadi terlalu manis. Seolah memberinya gambaran tentang kehidupan Bunga dan Aksa di masa lalu.
"Ah, ternyata dia bisa semanis itu, dulu," kekehnya. Memandang lekat wajah lelap Aksa.
Tangannya bergerak menyingkirkan helai rambut yang menutupi dahi Aksa.
"Jadi, mereka sudah kenal dari kecil? Hmm ... Pantas saja Bunga sangat menyukai Aksa," gumamnya. Membayangkan interaksi manis yang dilihatnya dalam mimpi saja cukup membuat senyumnya terukir.
Tangannya bergerak menyentuh pipi Aksa. Mengelusnya lembut. Bergerak meraba Pahatan tinggi hidung Aksa. Menggerakkannya ke kanan kiri dengan gemas. Kekehan kecil terdengar di ruangan hening ini. Dan jahilnya, kini jemarinya turun ke bibir Aksa yang setengah terbuka. Menepuk-nepuknya lembut.
"Kenyel. Kayak yupi. Hehe," kekehnya geli sendiri.
"Apa yang kayak yupi?"
Laras tersentak. Hendak menarik tangannya, tapi tangan besar Aksa lebih dulu menangkapnya. Mata pria itu membuka. Mengedip sayu setengah mengantuk.
"Eh, i-itu ...."
Aksa memindah tangannya ke pipi pria itu. Menutupinya dengan tangannya sendiri.
"Yank, usap dong. Gak bisa tidur lagi nih." Bibirnya mengerucut.
"Lah, ngapain tadi bangun?"
"Denger suara kamu. Tapi gak jelas ngomong apa."
Aish! Syukur deh kalau Aksa gak denger. Cuma denger bagian yupi aja.
Laras tersenyum. Mengelus lembut pipi sang pria sesuai dengan permintaannya.
"Aku tadi mimpi."
"Em .... Mimpi apa?" sahut Aksa dengan mata menaruh atensi pada gadisnya. Senyum tipis mengukir lembut.
"Mimpi kamu sama Bunga."
Deg!
Raut Aksa seketika menegang.
"Bu-Bunga? Maksudnya?"
"Waktu kalian kecil. Ternyata kalian udah kenal lama ya. Bunga juga imut, manis. Persis seperti wajah masa kecilku. Cuma, kayaknya dia lebih bar-bar deh daripada aku."
Aksa menyimak. Tapi rautnya masih menegang. Takut Laras memimpikan yang lain.
"Bisa-bisanya anak umur tujuh tahun minta nikah sama anak umur sebelas tahun. Haha."
Aksa tersenyum kikuk.
"Mimpi apalagi?"
"Em ... Itu aja sih. Lucu tapi. Gemes tahuu."
Aksa menarik Laras dalam dekapannya setelah memastikan bukan mimpi itu yang diingat Laras.
"Lebih manis yang seperti ini," ujarnya, mengecup bibir Laras.
Laras tertawa. "Dih, modusnya bisa aja. Udah ah, lepas. Mau mandi."
"Mau kemana?"
"Berangkat kerja. Memangnya kamu gak kerja? Kemarin udah bolos loh."
"Malas. Enak gini aja."
Laras mencubit perut Aksa. "Gak usah aneh-aneh. Boss kok malesan. Udah, aku mau mandi." Mendorong dada Aksa hingga membuat pelukannya lepas. Beringsut turun.
"Mandi bareng aja ya?"
"Ogah!" tolak Laras. Berbalik berkacak pinggang galak.
"Awas aja nyusul. Aku cubitin badanmu." membentuk tangannya seperti capit, mengancam.
Aksa tertawa. Memandangi Laras dengan posisinya yang masih rebahan.