Nada Azzahra, siswa baru di SMA Nusantara Mandiri, adalah gadis ceria yang mudah bergaul. Kepribadiannya yang ramah dan penuh semangat membuatnya cepat mendapatkan teman. Namun, kedatangannya di sekolah ini mempertemukannya dengan Bara Aryasatya, cowok tengil yang ternyata adalah "musuh bebuyutan"-nya semasa SMP.
Di masa SMP, Nada dan Bara bagaikan Tom & Jerry. Pertengkaran kecil hingga saling usil adalah bagian dari keseharian mereka. Kini, bertemu kembali di SMA, Bara tetap bersikap menyebalkan, hanya kepada Nada. Namun, yang tak pernah Nada sadari, di balik sikap tengilnya, Bara diam-diam menyimpan rasa cinta sejak lama.
Setiap hari ada saja momen lucu, penuh konflik, dan menguras emosi. Bara yang kikuk dalam mengungkapkan perasaannya terus membuat Nada salah sangka, mengira Bara membencinya.
Namun, seiring waktu, Nada mulai melihat sisi lain dari Bara. Apakah hubungan mereka akan tetap seperti Tom & Jerry, ataukah perasaan yang lama terpendam akan menyatukan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayden Yang Bijak
Ke esokan harinya, Setelah jam pelajaran usai, Nada yang sedang membereskan alat tulisnya didatangi oleh Aldo. Ia terlihat ragu-ragu, namun akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
“Nad, bisa ngobrol sebentar nggak?” Aldo memulai dengan nada serius.
Nada mengangkat alis, merasa heran. “Ngobrol? Sekarang? Emangnya ada apa, Do?”
Aldo melirik sekilas ke arah Bara yang sedang bercanda dengan Dimas dan Ayden di sisi lain kelas. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Kita ngobrol di luar aja. Lebih enak.”
Nada menatap Aldo, lalu mengangguk, meski hatinya mulai merasa tidak nyaman. Mereka berdua keluar dari kelas dan menuju taman belakang sekolah, tempat yang cukup sepi.
Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar, Aldo memulai, “Nad, gue nggak tahu gimana cara bilang ini, tapi gue harus jujur sama perasaan gue.”
Nada menatap Aldo dengan bingung. “Apa maksudnya, Do?”
Aldo menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Gue suka sama lo, Nad. Dari dulu, sejak kita SMP.”
Nada membelalak, terkejut dengan pengakuan itu. “Apa? Sejak SMP?”
Aldo mengangguk, ekspresinya tulus namun gugup. “Iya. Gue tahu gue telat banget bilang ini. Apalagi sekarang ada Bara... Tapi gue nggak mau nyimpen perasaan ini lagi. Gue cuma pengen lo tahu.”
Nada menghela napas panjang, hatinya benar-benar bingung. Ia menunduk, tidak tahu harus berkata apa.
“Aldo...” Nada akhirnya membuka mulut, mencoba merangkai kata-kata. “Gue nggak nyangka lo punya perasaan kayak gini ke gue. Tapi lo tahu kan, sekarang situasinya jadi rumit?”
Aldo tersenyum kecut. “Gue tahu, Nad. Tapi gue nggak bisa pura-pura. Gue pengen lo tahu, walaupun lo milih Bara, gue nggak akan marah. Gue cuma pengen jujur.”
Nada menggeleng lemah. “Do, kenapa kalian bikin semua ini jadi sulit buat gue? Bara juga baru aja bilang hal yang sama. Dan sekarang lo...”
Aldo menatap Nada dengan mata penuh harap. “Gue cuma mau lo tahu, Nad. Pilihan ada di tangan lo. Gue nggak akan maksa, dan gue nggak akan marah kalau lo milih orang lain. Tapi gue pengen lo tahu, gue serius.”
Nada terdiam lama. Hatinya berkecamuk antara perasaan bersalah, bingung, dan tidak ingin menyakiti siapapun.
Nada terdiam lama. Hatinya berkecamuk antara perasaan bersalah, bingung, dan tidak ingin menyakiti siapapun.
“Aldo, gue butuh waktu buat mikirin semua ini. Gue nggak bisa kasih jawaban sekarang,” ujar Nada akhirnya.
Aldo mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Nad. Gue cuma pengen lo tahu, gue selalu ada buat lo. Apapun yang lo pilih, gue terima.”
Nada tersenyum kecil, meski matanya masih menunjukkan kebingungan. Mereka berdua kembali ke kelas, namun hati Nada masih diliputi keraguan.
Nada sedang duduk di bangku taman sekolah, memandangi bunga yang bergoyang tertiup angin. Namun, pikirannya jauh melayang, memikirkan pengakuan Bara dan Aldo yang membuatnya semakin bingung. Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan, merasa lelah dengan drama yang tiba-tiba memenuhi hidupnya.
Ayden, yang kebetulan melihat Nada dari kejauhan, langsung menghampiri. Dengan senyum khasnya, ia duduk di samping Nada dan menatapnya dengan penasaran.
“Nad, kok bengong? Tumben banget lo diem gini,” tanya Ayden.
Nada hanya menghela napas panjang tanpa menoleh. “Pusing, Ay. Gue nggak ngerti harus gimana.”
Ayden mengerutkan dahi. “Pusing kenapa? Cerita dong ke abang sepupu yang ganteng ini. Siapa tahu gue bisa bantu.”
Nada akhirnya menoleh dan memandang Ayden. Tatapan matanya penuh kebingungan. “Ay, Bara dan Aldo... mereka berdua bilang suka sama gue. Gue bener-bener nggak tahu harus gimana.”
Ayden terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Nada. Kemudian, ia tertawa kecil sambil menggeleng. “Pantesan lo kayak orang linglung. Ya ampun, Nad, lo kayak bintang sinetron aja. Dua cowok rebutan lo?”
Nada memukul pelan lengan Ayden. “Jangan bercanda, Ay. Serius ini.”
Ayden berhenti tertawa dan menatap Nada dengan lebih serius. “Oke, oke. Jadi, lo bingung karena dua sahabat baik lo suka sama lo, dan lo nggak tahu harus gimana, gitu?”
Nada mengangguk pelan.
“Hmm, yaudah, dengerin abang sepupu lo yang bijak ini,” ujar Ayden dengan nada sok dewasa, membuat Nada tersenyum tipis.
“Ada beberapa opsi, Nad. Pertama, lo tanya diri lo sendiri. Dari Bara dan Aldo, siapa yang bikin lo lebih nyaman? Siapa yang bikin hati lo deg-degan? Itu penting buat lo ambil keputusan.”
Nada terdiam, memikirkan ucapan Ayden.
“Kedua,” lanjut Ayden, “kalau lo bener-bener nggak yakin sama perasaan lo sekarang, jangan kasih jawaban apa-apa. Bilang aja ke mereka kalau lo butuh waktu. Jangan buru-buru ambil keputusan yang bikin lo nyesel.”
Nada menatap Ayden dengan penuh perhatian. “Tapi gimana kalau mereka marah atau kecewa?”
Ayden mengangkat bahu. “Kalau mereka beneran sayang sama lo, mereka pasti ngerti. Lagi pula, lo nggak bisa bikin semua orang seneng, Nad. Lo harus pikirin apa yang terbaik buat lo, bukan buat orang lain.”
Nada mengangguk perlahan, merasa sedikit lebih tenang. “Oke, gue ngerti, Ay. Terus, kalau gue milih salah satu, gimana cara ngomongnya ke yang nggak gue pilih?”
Ayden tersenyum lembut. “Itu bakal susah, Nad. Tapi kalau lo ngomongnya jujur dan baik-baik, mereka pasti ngerti. Kalau mereka beneran temen lo, mereka nggak akan ninggalin lo cuma karena lo nggak milih mereka.”
Nada menunduk, menatap tanah sambil menghela napas. “Kenapa sih hidup gue tiba-tiba jadi rumit gini, Ay?”
Ayden tertawa kecil dan mengacak rambut Nada. “Karena lo orang spesial, Nad. Makanya banyak yang sayang sama lo. Jadi, jangan pusing. Pelan-pelan aja, oke?”
Nada tersenyum kecil, merasa sedikit lega setelah mendengar nasihat Ayden. “Makasih, Ay. Lo emang sepupu terbaik.”
Ayden mengangguk dengan bangga. “Pasti dong. Kalau lo butuh curhat lagi, gue selalu ada buat lo.”
Nada tersenyum tulus, merasa bersyukur memiliki Ayden di sisinya. Meskipun hatinya masih bingung, ia merasa sedikit lebih kuat.
Nada duduk di bangku taman sekolah, ditemani Bara dan Aldo. Suasana terasa aneh dan canggung, terutama setelah Nada memutuskan untuk mengumpulkan mereka berdua. Ia berpikir ini adalah cara terbaik agar semuanya jelas. Namun, siapa sangka suasana malah berubah jadi lebih rumit.
“Nad, jadi... kamu mau ngomong apa?” tanya Aldo, suaranya terdengar lembut tapi penuh harapan.
Nada menatap kedua sahabatnya dengan mata ragu. Ia menggenggam erat tangannya di pangkuan, mencoba menenangkan diri sebelum berbicara. “Aku cuma mau bilang kalau... aku butuh waktu buat berpikir.”
Bara mengernyitkan dahi. “Berpikir? Maksudnya gimana?”
Nada menarik napas panjang. “Aku... aku belum yakin sama perasaan aku, Bar, Do. Aku nggak mau kasih jawaban sekarang karena aku nggak mau menyakiti salah satu dari kalian. Jadi... bisakah kalian kasih aku waktu?”
Bara terlihat kaget, tapi ia menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan. Sebaliknya, Aldo hanya mengangguk pelan, menerima ucapan Nada tanpa banyak pertanyaan. Namun, suasana hening itu tiba-tiba pecah ketika Bara menatap Aldo dengan ekspresi bingung.
“Eh, tunggu dulu. Lo juga nyatain perasaan ke Nada?” tanya Bara dengan nada setengah protes.
Aldo mengangkat bahu santai. “Ya, Bar. Gue juga suka sama Nada. Dan kayaknya lo juga udah tahu, kan?”
Bara memutar matanya. “Iya, gue tau. Tapi kenapa lo harus nyatain pas barengan sama gue? Nggak ada momen lain, apa?”
Nada menatap mereka bergantian, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tunggu. Jadi... Bara, kamu udah tau kalau Aldo suka sama aku?”
Bara menatap Nada, lalu mengangguk. “Ya, tau lah. Dari cara dia liatin lo aja udah ketebak.”
Nada menghela napas, merasa bingung sekaligus kesal. “Kalau kamu tau, kenapa kamu nggak bilang ke aku?”
Bara mengangkat bahu dengan santai. “Karena lo nggak peka, Nad. Lagian, dia merupakan saingan gue.”
Nada menatap Aldo, yang terlihat lebih tenang dibandingkan Bara. “Kamu juga tau jika Bara menyukai Gue. Kenapa Lo juga tiba-tiba mengungkapkan perasaan lo?”
Aldo tersenyum kecil. “Karena gue nunggu waktu yang tepat, Nad. Gue nggak mau buru-buru. Tapi pas Bara nyatain perasaannya, gue nggak bisa diem aja.”
Nada memegang kepalanya, merasa semakin terjebak dalam situasi yang rumit. “Kalian berdua ini... bikin aku pusing.”
Bara dan Aldo saling bertukar pandang, lalu tersenyum kecil. Meski mereka berada di sisi yang berlawanan, mereka tetap sahabat baik.
“Nad, nggak apa-apa kalau lo butuh waktu,” kata Aldo dengan lembut. “Gue bakal nunggu sampai lo yakin sama perasaan lo.”
Bara menatap Aldo, lalu menambahkan, “Ya, gue juga bakal nunggu. Tapi inget, Nad, lo harus pilih gue, ya.”
Nada memutar matanya, setengah kesal dan setengah geli. “Kalian berdua ini aneh banget. Aku nggak janji apa-apa, ya. Aku cuma mau waktu buat berpikir.”
Keduanya mengangguk, menerima keputusan Nada dengan berat hati. Meskipun mereka ingin jawaban segera, mereka tahu bahwa memberi Nada waktu adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan.
Dan untuk pertama kalinya, Nada merasa sedikit lebih ringan, meskipun masalah ini belum sepenuhnya selesai.
......................
Hari-hari Nada semakin sibuk dengan kegiatan sekolah dan tugas-tugasnya. Namun, sejak percakapannya dengan Bara di taman beberapa waktu lalu, ia mulai menyadari bahwa Bara semakin sering berada di sekitarnya.
Pagi itu, seperti biasa, Nada masih berada di kamarnya, sibuk menyiapkan barang-barangnya sebelum berangkat ke sekolah. Ia belum sempat turun ke ruang makan untuk sarapan ketika suara klakson mobil terdengar dari depan rumahnya.
Nada melongok dari jendela kamarnya. “Hah? Bara?” gumamnya, terkejut melihat mobil sport hitam Bara terparkir di depan rumah. Bara tampak berdiri di samping mobilnya sambil memeriksa ponsel, wajahnya santai seperti tidak sedang menunggu lama.
Tak lama, Bunda Nada mengetuk pintu kamar dan masuk. “Nak, temanmu yang Bara itu datang. Dia menunggu di bawah.”
Nada mengernyit. “Kenapa dia pagi-pagi sudah di sini, Bun?”
“Mana Bunda tahu. Katanya mau antar kamu ke sekolah.”
Nada menghela napas panjang, bergegas menyelesaikan persiapannya. Setelah selesai, ia turun dan menemui Bara yang sudah masuk ke ruang tamu.
“Bara, kenapa kamu pagi-pagi banget ke sini?” tanya Nada, melipat tangannya di depan dada.
Bara menoleh dan tersenyum santai. “Gak boleh? Sekalian antar kamu ke sekolah. Gimana?”
Nada mengerutkan kening, lalu memandang bundanya yang tersenyum penuh arti di dapur.
“Aku bisa berangkat sendiri, kok. Lagian mobilku kan ada,” bantah Nada.
“Tapi kalau aku yang antar, kamu gak perlu nyetir. Kamu bisa santai di jalan,” jawab Bara, nada suaranya menggoda.
Nada akhirnya mengalah. “Baiklah. Tapi kamu gak usah setiap hari ke sini, Bara. Malu aku.”
Bara tertawa kecil, senyum kemenangan terlihat jelas di wajahnya. “Oke, oke. Hari ini aja. Ayo, berangkat.”
Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju ke sekolah mereka. Mereka berdua berbincang ringan, berbicara omong kosong dengan cerita waktu mereka masih SMP.
Sementara itu, di sekolah, kehadiran mobil Bara selalu menarik perhatian. Teman-teman sekelas mereka mulai menyadari perubahan dalam sikap Bara yang selalu ada untuk Nada. Gisel dan Jessica, yang sudah lama mengamati perkembangan hubungan ini, mulai berbisik satu sama lain sambil tersenyum geli.
“Bara makin gila ya,” bisik Jessica.
“Kalau aku jadi Nada, udah luluh deh,” timpal Gisel sambil tertawa kecil.
Aldo diam-diam memperhatikan. Ia melihat bagaimana Bara terus berusaha mendekati Nada, dan meskipun ia sendiri menyukai Nada, ia tahu bahwa cara Bara begitu efektif.
“Aku gak akan kalah,” gumam Aldo dalam hati.
Nada sedang duduk di taman sekolah sambil membaca buku catatan. Suasana pagi itu terasa tenang, dan ia memanfaatkan waktu sebelum bel masuk untuk mempersiapkan diri menghadapi pelajaran.
“Nada,” suara Aldo memecah keheningan. Nada menoleh dan melihat Aldo datang dengan senyuman khasnya.
“Hai, Aldo,” jawab Nada singkat.
Aldo duduk di sampingnya, menjaga jarak yang sopan. “Lagi belajar, ya? Hari ini ada kuis, kan?”
Nada mengangguk. “Iya, aku cuma mau memastikan semua materi sudah aku pahami.”
Aldo mengeluarkan buku catatannya sendiri dan membuka halaman tertentu. “Aku juga sempat baca-baca tadi pagi. Kalau kamu mau, kita bisa diskusi bareng.”
Nada tersenyum kecil. “Boleh, sih. Tapi aku yakin kamu sudah paham semuanya. Kamu kan jago banget.”
Aldo tertawa kecil, nada suaranya hangat. “Jago sih enggak, tapi aku memang suka belajar. Kalau ada yang gak kamu ngerti, bilang aja, ya.”
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Aldo sengaja memilih topik yang ringan, seperti kenangan masa SMP mereka atau film yang baru saja ia tonton. Nada merasa nyaman berbicara dengannya, dan Aldo terus menjaga suasana tetap santai.
Namun, di balik percakapan itu, Aldo memiliki niat lain. Ia tahu bahwa Nada sedang bingung dengan perasaannya, terutama setelah Bara mulai menunjukkan ketertarikannya. Aldo tidak ingin mendesak atau memaksa Nada. Sebaliknya, ia memilih untuk hadir sebagai teman yang selalu ada, berharap Nada melihat ketulusannya.
“Ngomong-ngomong,” kata Aldo setelah beberapa saat, “aku dengar ulang tahun kamu sebentar lagi. Ada rencana spesial?”
Nada menggeleng. “Kayaknya enggak, sih. Aku cuma mau santai di rumah aja.”
Aldo tersenyum. “Kalau gitu, aku doakan hari itu jadi hari yang menyenangkan untuk kamu.”
Nada tertawa kecil. “Thanks, Aldo. Kamu selalu perhatian.”
Sepanjang hari, Aldo tetap menjaga pendekatannya yang lembut. Ia tidak mencoba menarik perhatian seperti Bara, tetapi ia selalu hadir di saat-saat kecil yang berarti. Ketika Nada kehabisan pulpen di kelas, Aldo dengan cepat memberinya pinjaman. Saat Nada tampak lelah, Aldo diam-diam membelikan minuman dingin dari kantin.
Sikapnya ini tidak luput dari perhatian teman-teman mereka. Rio dan Dimas mulai mengamati interaksi Aldo dengan Nada, sementara Gisel dan Jessica terus menjadi pengamat setia.
“Bara itu langsung to the point,” kata Gisel suatu kali, “tapi Aldo? Dia seperti angin sepoi-sepoi. Lembut tapi konsisten.” Jessica mengangguk setuju.
Di sisi lain, Bara mulai menyadari bahwa Aldo juga tidak tinggal diam. Saat mereka sedang istirahat bersama di kantin, Bara memperhatikan bagaimana Aldo berbicara dengan Nada, membuatnya tertawa dengan cerita-cerita sederhana.
“Ck, pelan tapi pasti,” gumam Bara dalam hati sambil melirik mereka dengan alis terangkat.
Namun, Bara tidak merasa gentar. Ia justru semakin bersemangat untuk memenangkan hati Nada. Baginya, Aldo adalah saingan yang harus dihadapi dengan elegan.
“Nada,” panggil Bara sambil menyenggol lengan gadis itu. “Kita mau beli es krim gak? Aku traktir.”
Nada menoleh dan tersenyum kecil. “Boleh.”
Aldo hanya bisa tersenyum tipis melihat Bara mengambil alih perhatian Nada, tetapi ia tidak menyerah.