Niat hati, Quin ingin memberi kejutan di hari spesial Angga yang tak lain adalah tunangannya. Namun justru Quin lah yang mendapatkan kejutan bahkan sangat menyakitkan.
Pertemuannya dengan Damar seorang pria lumpuh membuatnya sedikit melupakan kesedihannya. Berawal dari pertemuan itu, Damar memberinya tawaran untuk menjadi partnernya selama 101 hari dan Quin pun menyetujuinya, tanpa mengetahui niat tersembunyi dari pria lumpuh itu.
"Ok ... jika hanya menjadi partnermu hanya 101 hari saja, bagiku tidak masalah. Tapi jangan salahkan aku jika kamu jatuh cinta padaku." Quin.
"Aku tidak yakin ... jika itu terjadi, maka kamu harus bertanggungjawab." Damar.
Apa sebenarnya niat tersembunyi Damar? Bagaimana kelanjutan hubungan Quin dan Angga? Jangan lupakan Kinara sang pelakor yang terus berusaha menjatuhkan Quin.
Akan berlabuh ke manakah cinta Quin? ☺️☺️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arrafa Aris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Merasa tak percaya jika Quin tak berada di butik, Angga tetap memutuskan ke tempat itu. Keningnya berkerut tipis begitu tiba di sana.
"Dia membohongiku. Katanya dia nggak berada di butik," gumam Angga karena mobil Quin terparkir rapi di tempat itu.
Sesaat setelah masuk ke dalam butik, ia langsung disapa oleh Al. "Angga."
"Aku ke atas dulu," sahut Angga.
"Quin lagi nggak ada di atas. Sejak tadi dia keluar bertemu klien," kata Al berbohong. "Tapi, jika kamu nggak percaya, silakan saja. Soalnya nanti kamu mengira aku malah berbohong."
Angga tak menanggapi. Ia tetap naik ke lantai dua. Namun, berakhir kecewa karena sang owner memang tak ada di tempat itu.
"Aku mengira dia berbohong." Angga mengusap wajah kemudian kembali ke lantai satu.
"Al, apa klien yang menjemputnya tadi?" tanya Angga dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Al.
Angga menghela nafas kecewa kemudian berpamitan meninggalkan butik itu.
"Rasain, emang enak dikibulin!" gumam Al lalu terkekeh.
.
.
.
"Quin, apa kamu akan kembali ke butik setelah ini?" tanya Damar.
"Sepertinya tidak. Aku akan melanjutkan pekerjaanku di sini saja," jawab Quin lalu mendorong kursi roda Damar menuju lift.
Sesaat setelah keduanya berada di lantai satu, Quin kembali mendorong kursi roda Damar menuju meja makan.
"Biar aku membantumu," tawar Quin sembari mengambilkan makanan untuk Damar. "Apa segini cukup?"
Damar mengangguk disertai senyum tipis. Sedangkan Bi Yuni hanya menjadi penonton. Ia menatap tak suka kepada Quin. Merasa tak diperlukan lagi di ruangan makan itu, ia memilih berpamitan.
Sepeninggal Bik Yuni, Quin duduk di kursi yang kosong lalu bertanya, "Damar, apa bibik itu sudah lama bekerja di sini?"
"Tidak juga, sebelumnya dia ART di rumah mamaku. Tapi, mamaku mengirimnya bekerja di sini sekaligus mengurusku. Padahal aku nggak butuh karena ada Adrian yang biasa membantuku," jelas Damar.
"Begitu ya. Entah mengapa aku merasa dia nggak menyukaiku. Sejak tadi tatapannya sinis banget kepadaku," balas Quin.
Damar hanya bergeming sekaligus mengernyit menelaah ucapan Quin. Ia kemudian melanjutkan makannya hingga tuntas.
Beberapa menit berlalu ....
Quin memilih berpamitan karena ingin beristirahat di kamarnya. Begitu masuk ke ruangan tidur itu, ia langsung menghempas tubuhnya di atas ranjang.
"Wanita tua itu membuatku risih saja. Sepertinya dia nggak suka melihatku dekat-dekat dengan Damar. Tapi kenapa ya?" gumam Quin sembari menghela nafas.
Quin memejamkan mata. Sehingga beberapa menit kemudian akhirnya ia pun tertidur.
.
.
.
Kantor Dennis ....
Tawa Dennis terdengar nyaring sesaat setelah Angga menceritakan perihal sikap sang tunangan yang tiba-tiba berubah.
"Angga, apa kamu nggak mencurigai sesuatu? Aku merasa Quin mungkin saja sudah bosan denganmu. Atau jangan-jangan dia sedang dekat dengan pria lain, who knows," tebak Dennis sekaligus memprovokasi.
"Jangan ngaco kamu, Den!" ucap Angga keaal.
"Bukan ngaco, Bro. Tapi, siapa tahu itu memang kenyataan," sahut Dennis.
"No way!' Merasa percuma berbicara dengan Dennis. Angga beranjak dari tempat duduk.
"Loh, mau ke mana kamu?" tanya Dennis.
"Pulang! Percuma berbicara denganmu. Bukannya memberi solusi malah membuat pikiranku semakin kacau!" Angga menghampiri pintu.
"Bagaimana jika sebentar malam kita ke bar saja," usul Dennis.
Angga tak menggubris ajakan Dennis. Ia malah membuka pintu sekaligus meninggalkan ruangan itu.
*******
Sore harinya ....
Quin masih saja tertidur pulas di kamar itu. Ia tak menyadari jika hari sudah mulai gelap. Ponselnya yang sejak tadi bergetar, terabaikan begitu saja.
"Quin." Damar menepuk pipi gadis itu. Namun, tak ada respon.
Sejenak Damar bergeming sembari menatap lekat wajah teduh Quin. Mengelus lembut pipi asisten pribadinya dengan senyum tipis.
Merasa pipinya seperti di sentuh, Quin menahan tangan itu seraya berucap lirih, "Sayang."
Pikirnya itu adalah Angga. Ketika membuka mata, ia terkejut saat mendapati Damar sedang duduk di sampingnya.
"Maaf, aku mengira kamu ...."
"Angga?" sela Damar cepat sekaligus membuat Quin mengerutkan kening.
"Kok kamu ta ..."
"Angga adalah adalah tunanganmu?" sela Damar lagi lalu tersenyum.
Quin menghela nafas kemudian merubah posisi menjadi duduk. "Saat ini status kami memang masih bertunangan. Tapi, aku memutuskan akan mengakhirinya dalam waktu dekat."
"Why, apa ada masalah?" tanya Damar pura-pura tak tahu.
"Ya, begitulah kira-kira," balas Quin kemudian melirik ke arah jendela. "Astaga! Sudah jam berapa ini?"
"Jam tujuh malam." Damar tertawa menatap wajah bengong Quin.
Hening sejenak, sehingga tiba-tiba suara seseorang membuat keduanya melirik ke arah yang sama.
"Kakak!" pekik Sofia menatap penuh curiga kepada Damar juga Quin bergantian.
"Sofia," gumam Damar.
"Siapa dia?" Sofia mengarahkan jari telunjuk ke arah Quin,
"Aku, Quin, asisten pribadi sementara Damar," jelas Quin.
Sofia tercengang sejenak. Memandangi Quin juga Damar. "Wah, Kak, sejak kapan Kakak membutuhkan asisten pribadi?" tanya Sofia penuh curiga.
Baru saja Damar ingin menjawab, suara getaran ponsel seketika membuatnya terusik.
"Maaf, aku jawab dulu panggilan ini," izin Quin. Ia langsung mengambil benda pipih itu di atas meja nakas.
Baru saja Quin menggeser tombol hijau, suara Angga langsung menyapa gendang telinga sang tunangan.
"Sayang, kamu di mana, sih? Kenapa sejak tadi panggilan dariku nggak dijawab? Terus kenapa kamu mengubah password pintu!" tanya Angga dengan kesal.
"Apa pedulimu?! Terserah akulah, mau mengubah atau tidak password pintuku. By the way, ada apa kamu menghubungiku?" Quin merasa dongkol.
"Sayang, aku ingin mengajakmu dinner," kata Angga.
"Aku nggak bisa soalnya pekerjaanku masih banyak. Lain kali saja," tolak Quin.
Penolakan Quin kembali membuat Angga dirundung kecewa. Seketika benaknya kembali mengingat ucapan Dennis tadi siang.
Ia langsung menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang dengan perasaan getir.
"Apa benar yang dikatakan Dennis? Quin, bukanlah tipe cewek yang mudah jatuh cinta. Jika pun dia dekat dengan cowok, itu karena bisnis semata. Pokoknya aku harus bertemu dengannya besok," gumam Angga.
Ia kembali dibuat bertanya-tanya, kenapa Quin mengubah password pintu apartemennya.
...----------------...