Pengingat bahwa Aku tidak akan pernah kembali padamu. "Nico kamu bajing*n yang hanya menjadi benalu dalam hidupku. aku menyesal mengenal dan mencintai mu."
Aku tidak akan bersedih dengan apa yang mereka lakukan padaku. "Sindy, aku bukan orang yang bisa kamu ganggu."
Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syari_Andrian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Culik
Di sisi lain, Nisa terbangun dalam keadaan bingung dan pusing. Pandangannya masih buram, dan dia merasa tubuhnya berat. Perlahan, dia mencoba duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Dia berada di sebuah ruangan yang gelap dan dingin, dengan dinding beton yang kasar. Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu redup di sudut ruangan.
Nisa mencoba mengingat apa yang terjadi. Dia ingat berjalan keluar dari kelas, menuju parkiran, lalu... semuanya kabur. Ada seseorang yang membekapnya dari belakang, dan setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi.
Jantung Nisa berdegup kencang. Dia menyadari bahwa dirinya telah diculik. "Di mana aku? Siapa yang melakukan ini?" bisiknya panik. Dia meraba-raba sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membantunya keluar, tetapi ruangan itu kosong, kecuali sebuah kursi kayu di pojok.
Tiba-tiba, pintu besi di ruangan itu berderit terbuka. Nisa menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dua pria bertubuh besar masuk ke dalam, diikuti oleh sosok yang familiar – Sindy.
Sindy berjalan mendekati Nisa dengan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, kita bertemu lagi, Nisa," ucapnya dengan nada sinis. "Sudah lama aku menunggu saat ini."
Nisa mencoba tetap tenang meskipun tubuhnya gemetar. "Apa yang kamu mau, Sindy? Kenapa kamu melakukan ini?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Sindy tertawa kecil. "Oh, ini bukan tentang apa yang aku mau. Ini tentang apa yang akan aku ambil darimu. Kamu tahu, selama ini aku selalu iri pada hidupmu yang sempurna. Dan sekarang, saatnya aku mengambil semuanya darimu," katanya sambil melipat tangannya.
Nisa menatap Sindy dengan mata penuh ketakutan. "Kamu nggak perlu melakukan ini, Sindy. Kita bisa menyelesaikan semuanya dengan cara baik-baik."
"Terlambat untuk itu, Nisa. Sekarang, aku yang pegang kendali," balas Sindy dengan dingin.
Nisa berusaha memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Sementara itu, Sindy terus berbicara, menjelaskan rencana kejamnya untuk menghancurkan hidup Nisa, tanpa menyadari bahwa Nisa mulai merencanakan sesuatu di balik ketakutannya.
∆∆
Di ruang keamanan vila keluarga Pak Roni, suasana semakin tegang. Reyland, Pak Roni, dan tim keamanan terus memantau setiap sudut vila melalui layar monitor. Mereka mencari petunjuk keberadaan Nisa dan jejak para penculik yang telah berani masuk ke wilayah mereka.
"Apa kita sudah mendapat sinyal apapun dari alat pelacak di gelang Nisa?" tanya Rey, suaranya tegas namun sarat kekhawatiran.
Salah satu petugas keamanan menekan beberapa tombol pada keyboard, mencoba melacak sinyal yang mungkin tertangkap oleh perangkat mereka. Namun, layar tetap menunjukkan hasil yang nihil.
"Belum ada sinyal, Tuan. Sepertinya alat pelacaknya dimatikan atau rusak," lapor petugas itu dengan nada menyesal.
Pak Roni mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. "Kita harus mencari cara lain. Apa kita sudah mendapatkan rekaman dari kamera pengawas di sekitar vila?"
"Sudah, Pak. Ini dia," jawab petugas lain sambil memutar rekaman yang menampilkan beberapa pria mencurigakan di sekitar parkiran kampus, tak jauh dari tempat Nisa terakhir terlihat. Rey memperhatikan dengan seksama, matanya tajam meneliti setiap gerak-gerik para penculik.
"Itu mereka," ucap Rey sambil menunjuk ke arah layar. "Kita perlu tahu ke mana mereka membawa Nisa."
Petugas segera memperbesar gambar dan melacak kendaraan yang digunakan para penculik. Dalam hitungan menit, mereka berhasil menemukan rute yang diambil oleh mobil tersebut sebelum menghilang di luar jangkauan kamera.
"Mobil itu menuju ke arah luar kota, kemungkinan ke kawasan industri yang sudah lama ditinggalkan," lapor petugas dengan nada waspada.
Pak Roni berdiri, wajahnya menunjukkan tekad yang kuat. "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Siapkan tim dan kita bergerak sekarang."
Rey mengangguk setuju. "Kita harus bertindak cepat sebelum mereka memindahkan Nisa ke tempat lain. Pastikan kita memiliki rencana cadangan untuk segala kemungkinan."
Tim keamanan mulai bersiap, sementara Rey dan Pak Roni bertukar pandang. Keduanya tahu bahwa waktu sangat berharga, dan mereka tidak akan membiarkan siapapun melukai Nisa tanpa konsekuensi.
°°°°
Di tempat persembunyian, Nisa duduk di sudut ruangan gelap yang dingin. Tangan dan kakinya masih terikat, tetapi matanya penuh dengan tekad. Dia mendengar langkah-langkah mendekat, dan tak lama kemudian, pintu terbuka dengan suara berderit. Sindy masuk, diikuti oleh dua pria bertubuh kekar.
Sindy mendekati Nisa dengan senyum sinis. "Oh, Nisa, kamu terlihat begitu lemah sekarang. Tidak seperti biasanya, ya?" katanya dengan nada mengejek.
Nisa menatap Sindy tajam, menolak menunjukkan rasa takut. "Apa yang kamu inginkan, Sindy? Kenapa kamu melakukan semua ini?"
Sindy tertawa kecil, lalu membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Nisa. "Kamu tahu, hidup tidak selalu adil. Kamu punya segalanya—keluarga, kekayaan, dan Rey. Aku? Aku harus berjuang untuk mendapatkan semuanya. Jadi sekarang, aku mengambil alih. Dan kamu... kamu hanyalah batu loncatan untuk meraih itu semua."
Nisa tidak menanggapi, hanya mengamati setiap gerakan Sindy, mencari celah yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Dia tahu bahwa tetap tenang adalah kunci untuk bertahan.
Sindy meluruskan punggungnya dan memberi isyarat kepada salah satu pria untuk mendekat. "Jaga dia baik-baik. Pastikan dia tidak mencoba sesuatu yang bodoh," perintahnya sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan.
Nisa menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa takut yang mulai merayap. Dia tidak tahu berapa lama lagi dia bisa bertahan, tetapi dalam hatinya, dia tahu bahwa Rey dan ayahnya pasti sedang mencari cara untuk menyelamatkannya. Dia harus tetap kuat, setidaknya sampai mereka tiba.
∆∆
Di tempat Rey, suasana semakin tegang. Rey dan timnya berada di markas rahasia yang telah mereka persiapkan untuk menghadapi Black Wolf. Ruangan itu penuh dengan layar monitor yang menampilkan peta digital, komunikasi radio, dan laporan terkini dari tim yang disebar ke berbagai lokasi.
Rey berdiri di depan layar utama, matanya tajam memandang peta yang menampilkan titik-titik lokasi potensial tempat Nisa mungkin disekap. Dia mengenakan headset, berkomunikasi dengan tim lapangan.
"Tim Alpha, laporkan situasi di lokasi pertama," perintah Rey dengan suara tegas.
"Dalam radius aman, tidak ada tanda-tanda keberadaan target. Lanjut ke lokasi berikutnya," jawab suara dari headset.
Rey menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Di sebelahnya, Pak Roni berdiri dengan ekspresi wajah yang tidak kalah tegang.
"Kita harus menemukannya sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih buruk," kata Pak Roni, suaranya penuh kekhawatiran.
"Kami tidak akan berhenti sampai Nisa aman," jawab Rey, matanya tidak lepas dari layar. "Black Wolf memang licik, tapi kita akan mengecoh mereka."
Tiba-tiba, seorang anggota tim keamanan masuk ke ruangan dengan tergesa-gesa. "Tuan Rey, kami mendapatkan informasi baru. Seseorang di dalam Black Wolf memberi tahu lokasi mereka, tapi kita harus bergerak cepat sebelum mereka memindahkan Nona Nisa."
Mata Rey menyala penuh semangat. "Beri tahu tim. Kita bergerak sekarang. Pastikan semua siap untuk operasi ini."
Pak Roni mengangguk setuju. "Kita tidak akan membiarkan mereka lolos. Ini saatnya kita menunjukkan siapa yang sebenarnya berkuasa."
Rey memandang ke arah timnya, yang sudah bersiap. "Kita harus melakukan ini dengan cepat dan efisien. Nisa bergantung pada kita."
Dengan tekad bulat, mereka mulai bergerak, menuju tempat yang dikabarkan menjadi lokasi persembunyian Black Wolf. Waktu terus berjalan, dan setiap detik sangat berharga.