Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 17
“Fisa, Hana selamat!” teriak Nuria dari samping pintu UGD, Fisa dan Arjuna serentak menoleh, mereka melihat Nando berlari masuk ke dalam ruangan, ia terus menerobos meski dokter dan perawat menghalanginya. Fisa dan Arjuna memutuskan mendekat melihat lebih jelas kekacauan dalam ruang UGD itu.
“Tolong keluar dulu!” kata dokter tegas.
“Hana, Hana kamu harus bangun Hana, aku sudah datang!” Nando berusaha melepaskan diri dari cengkraman teman-temannya, bahkan ibu Hana semakin geram melihat tingkah pemuda itu.
“Apa yang kau lakukan? mau lihat putriku semakin parah? pergi!”
Nando menggeleng, mata merahnya basah, rahangnya mengetat seiring kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya, lelaki itu terus melawan seolah tenaganya terus terisi penuh meski telah digunakan melawan orang sebanyak ini. Fisa bisa melihat betapa kacaunya Nando sekarang, meski belum pernah merasakan di posisi yang sama, tapi sedikit banyak ia mengerti perasaan lelaki itu.
“Tolong jangan seperti ini, kalau tidak kami akan memanggil satpam dan mengusir kalian semua,” keluh perawat wanita yang turut membantu menghalangi Nando mendekati Hana, menurut dokter keadaan Hana masih sangat lemah, belum bisa menerima kunjungan, ia baru saja terlepas dari maut dan butuh istirahat.
“Kita keluar dulu, Nando,” ajak Arjuna menarik tangannya, tapi Nando bagai batu karang yang tetap kokoh meski diterjang ombak, kekuatan cinta membuatnya sekuat itu. Nando terus merangsek hingga berhasil mendekati ranjang pasien dan menyentuh tangan Hana.
“Hana, aku sudah datang, bangunlah Hana, aku akan pergi kalau kamu tak bangun,” cicitnya.
Nuria terharu melihat pemandangan ini, bahkan semua orang akhirnya memilih mengalah, kecuali ibu Hana tentunya yang menggantikan Nando memberontak dalam pelukan sang suami. “Sudahlah Bu, berikan dia waktu,” ucap lelaki paruh baya itu.
Fisa melihat Nando menunduk, menangis di samping tubuh lemah Hana yang tertempel selang-selang. Satu tangan gadis itu digenggamnya erat, dan tangan lain berada di atas perutnya, saat itulah Fisa melihat tangan kurus itu bergerak-gerak.
“Tangan Hana bergerak, dia sudah sadar,” kata Fisa menunjuk keberadaan tangan Hana. Dokter segera memeriksa keadaan gadis itu, meminta semua orang keluar ruangan kecuali keluarga dan juga Nando yang masih tetap enggan pergi.
Tak lama kemudian, dokter keluar dan mengatakan jika Hana telah sadar, Hana pun dipindah ke ruang rawat inap karena keadaannya membaik dengan cepat , seolah-olah gadis itu mendapatkan mukjizat.
“Mungkin ini kekuatan cinta Pak, Bu, jadi biarkan saja kekasih putri anda menemuinya, siapa tahu setelah ini pasien akan kembali sehat seperti sedia kala,” kata dokter sebelum pergi dari ruangan.
Ibu dan ayah Hana hanya melirik putrinya yang terbaring lemah di atas ranjang, bibir gadis itu tersungging senyuman yang dihadiahkan khusus untuk Nando di sampingnya. “Hah, bahkan baru buka mata bukannya cari orang tua malah pacaran,” keluh sang ibu yang memilih pergi begitu saja, ayah Hana hanya menggeleng pelan. Lantas mendekati Fisa dan yang lain.
“Anak-anak, terima kasih ya atas bantuan kalian, maaf Om baru bisa berterima kasih dengan benar, kalau saja tak ada kalian berdua yang antar Hana ke rumah sakit tepat waktu mungkin kami akan kehilangan putri kami, dan kalau tidak karena kalian bertiga menjemput Nando, mungkin juga Hana tidak akan bangun.
Kalian tak perlu takut atau segan padaku, aku berbeda dengan ibunya. Bagiku yang penting putriku bahagia, sayangnya aku terlalu bodoh karena takut pada istriku selama ini. Intinya terima kasih banyak, kalian masuklah temui Hana, katakan padanya ayahnya akan datang nanti.”
Lelaki itu tersenyum kecil dan pergi begitu saja menyusul istrinya, Fisa dan Nuria hanya saling pandang, begitupun tiga lelaki yang akhirnya memilih duduk di kursi tunggu.
“Fis, aku ke toilet dulu ya, dari tadi udah kebelet banget,” kata Nuria. Fisa mengangguk setuju membiarkan Nuria pergi meninggalkannya. Setelah itu ia melihat Arjuna berbincang dengan Haikal dan Pandu, Fisa tak ingin mengganggu dan diam-diam mendekati kamar rawat Hana, mencuri dengar percakapan pasangan kekasih itu.
“Maafkan aku Hana, aku janji tidak akan pergi lagi, tapi kamu juga harus janji tak akan sakit lagi, kamu harus sembuh, dan kita berjuang bersama ya,” ucap Nando lirih tapi masih mampu didengar jelas oleh Fisa. Hana mengangguk lemah, bibirnya membuat lengkungan tipis sementara tangan mereka menyatu dan saling menggenggam.
Fisa tersenyum malu, melihat Hana dan Nando sudah seperti menonton drama saja, meski begitu Fisa masih tak tenang. Benarkah Hana sudah terlepas dari maut yang mengincarnya selama ini?
Fisa meraih cermin dari dalam tas, mulai mengangkat cermin dan mengarahkannya pada kaki Hana , tapi kedatangan seseorang yang tiba-tiba membuatnya terkejut dan cermin terjatuh dan retak.
“Ah, maaf Fisa. Kenapa kamu begitu terkejut? kamu khawatir aku akan mengolokmu seperti anak-anak di sekolah ya? perihal kamu takut cermin,” tanya Haikal. “Tenang saja, aku tak seperti itu. Silahkan dilanjut belajar bercermin nya, dan semoga segera terbiasa.”
Fisa enggan menjawab, ia hanya mengambil cermin miliknya dan memasukkannya ke dalam tas kembali, Fisa gagal melihat tanda kematian Hana, ia berlalu pergi meninggalkan Haikal yang terus menatapnya.
“Naf, aku antar pulang yuk,” ucap Arjuna berjalan mendekat, di belakang lelaki itu ada Pandu dan Nuria yang baru kembali dari toilet.
“Aku masih ingin di sini, Arjun. Aku belum bertemu Hana.”
“Baiklah, kalau begitu kita temuin Hana dan pamit bareng-bareng aja. Noh, Haikal sudah pamit duluan,” kata Pandu menunjuk Haikal yang sedang berbincang dengan Hana dan Nando.
“Serius kita pulang semua? nggak ada yang mau temenin Nando di sini? kalian nggak khawatir setelah kita pergi si tante-tante tadi bakal ngusir Nando dan bikin kondisi Hana kembali memburuk?” Nuria mengajukan pertanyaan sembari mencegah teman-temannya masuk ruangan.
“Ya serius, memangnya kamu pikir aku akan nginep di sini gitu? yang bener aja anak kecil, kita sudah bantu ngeyakinin Nando dan menjemputnya, itu sudah jauh lebih dari cukup,” jawab Pandu.
“Anak kecil anak kecil, Kak kita hanya terpaut dua tahun saja,” protes Nuria cemberut kesal.
Pandu terkekeh pelan, merangkul pundak Arjuna dan mengajaknya pulang bersama. Bahkan menawarkan tumpangan untuk Fisa juga. Tapi Fisa menolak dengan halus, ia merasa masih harus menemani Hana, Fisa tak yakin jika mereka benar-benar bisa mencegah kematian Hana seperti ini.
“Arjun, kalau kamu mau pulang, pulang aja dulu. Aku dan Nuria masih mau di sini, toh kami juga sudah izin orang tua masing-masing untuk menginap di rumah Hana, setidaknya malam ini saja kami menemani Hana di sini,” kata Fisa.
Arjuna menarik satu nafas panjang, menghembuskannya pelan sambil menarik tangan Fisa, mengajaknya sedikit menjauh dari kedua temannya itu.
“Naf, kamu masih khawatir? Hana sudah sehat, lihatlah gadis itu bahkan sudah mulai makan.” Arjuna menunjuk ke dalam ruangan, mereka menyaksikan Nando menyuapi Hana bubur yang baru saja dibawakan ayahnya.
“Arjun, aku masih tak yakin dengan semua ini, setidaknya malam ini saja aku akan pastikan Hana benar-benar aman.”
“Hey, Fis kenapa kamu nggak coba lihat dari cermin lagi?” tanya Nuria yang tiba-tiba muncul di belakang mereka, saat Arjuna dan Fisa menoleh, mereka hanya mendapati Nuria dengan senyum khasnya, sementara Pandu telah menyusul Haikal masuk ke dalam ruang rawat inap Hana.
“Masalahnya, cerminnya pecah.”
“Kok bisa?” tanya Arjuna dan Nuria hampir serentak.
“Ehm, kalian mana yang namanya Fisa? Hana ingin menemuimu,” kata Nando yang tiba-tiba muncul di samping pintu. “Masuk saja semua,” katanya lagi.
Fisa dan yang lain mengikuti lelaki itu, mereka berempat berjalan mendekati ranjang pasien di mana Hana duduk tersenyum. Fisa benar-benar heran melihat keadaan Hana yang tampak baik-baik saja, bahkan sesak nafas dan lemas tubuhnya seperti menghilang ditelan kabut kesedihan yang juga sirna.
“Fisa, Nuria, Arjun, aku ucapkan terima kasih banyak pada kalian. Kamu juga, Haikal dan Pandu, makasih banyak. Aku tak akan pernah melupakan jasa besar kalian ini, aku bisa kembali bersama dengan Nando, bahkan aku tak perlu mengkhawatirkan masalah dengan ketiga temanku itu, semua berkat kalian. Saat ini, bahkan mati pun aku tak akan menyesal.”
“Sst, apa yang kamu katakan? kamu kan sudah sehat, dan aku sudah berjanji tak akan pergi lagi.” Nando mengusap pelan puncak kepala Hana, Haikal berdeham-deham sementara Pandu hanya menggigit jari.
“Kenapa kalian? iri ya mblo…” goda Arjuna pada dua temannya.
“Emangnya dirimu ini bukan jomblo juga? hah?!” Pandu merangkul pundak sahabatnya itu.
“Setidaknya aku punya dia,” seloroh Arjun menunjuk Fisa.
“Iiih, najis banget Arjun,” jawab Fisa yang membuat semua orang tertawa. Selama ini Arjuna memang selalu menggodanya, tapi Fisa tahu lelaki itu tak pernah serius, ia hanya menyukai ekspresi kesal di wajahnya saja. Bahkan saat ini tawa lelaki itu tak kalah hebohnya dengan teman-teman yang lain.
....
Alhamdulillah, sesuai janji 2 bab sudah meluncur. Like komen dan vote nya jangan lupa. Bantu berikan bintang lima juga boleh, karena itu akan sangat membantu author. Oh iya, baca tepat waktu ya, jangan tumpuk bab... sampai jumpa besok... 🤗❤️