Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Kejutan-kejutan Kehamilan Zahra
Seiring dengan bertambahnya usia kehamilannya, Zahra semakin sering merasakan berbagai perubahan yang tidak hanya mempengaruhi fisiknya, tetapi juga keinginannya yang semakin aneh-aneh. Kadang, keinginan itu datang tanpa peringatan, membuat Zidan yang sedang berusaha keras menyesuaikan diri dengan perubahan ini merasa kelimpungan. Tidak hanya Zidan yang kewalahan, orang tuanya, Ummu Halimah dan Kiai Idris, yang sering membantu mereka, juga ikut merasa kasihan dengan Gus Zidan, yang harus menghadapi berbagai tuntutan aneh dari sang istri tercinta.
Hari itu, Zahra baru saja memasuki trimester ketiga kehamilannya. Perutnya semakin membesar, dan ia merasa lebih cemas dengan segala hal yang berkaitan dengan kelahiran. Namun, di balik kecemasannya itu, ada satu hal yang semakin sering terjadi, keinginan aneh yang muncul secara tiba-tiba. Hal ini membuat Zidan merasa sangat bingung dan kelimpungan, apalagi ketika mereka menginap di pesantren orang tua Zidan, Ummu Halimah dan Kiai Idris, yang sedang mengunjungi pesantren untuk menjalani program pengajian rutin.
Pagi itu, mereka baru saja selesai sarapan pagi di rumah besar yang terletak di dalam kompleks pesantren. Zahra, yang awalnya terlihat baik-baik saja, tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan berkata dengan wajah serius, “Sayang, aku pengen banget makan es krim… tapi yang rasanya… kacang hijau!”
Zidan, yang sedang menghabiskan sisa sarapannya, menatap Zahra dengan kebingungannya. “Es krim kacang hijau? Kita kan di pesantren, Zahra. Nggak ada itu di sini.”
Zahra terlihat merenung sejenak, wajahnya tampak sedikit kecewa. “Tapi aku beneran pengen banget, Sayang. Bawa aku keluar cari es krim kacang hijau sekarang juga! Aku nggak bisa nunggu!”
Zidan menghela napas panjang. Di dalam hatinya, ia merasa bingung dan panik. Tidak hanya karena es krim kacang hijau yang sangat spesifik itu, tetapi juga karena mereka berada di pesantren yang jauh dari pusat perbelanjaan. Namun, Zidan mencoba untuk tetap tenang. “Yaudah deh, Sayang. Aku coba cari dulu.”
Zahra yang mendengar ini langsung berdiri dan menarik tangan Zidan. “Nggak, Sayang! Aku nggak mau nunggu! Mas harus bawa aku keluar sekarang juga!”
Zidan, yang kini benar-benar kelimpungan, mengalah. Ia berusaha membujuk Zahra agar sedikit sabar. “Zahra, aku beneran nggak bisa cari es krim kacang hijau di sini. Gimana kalau kita cari makanan lain dulu, ya?”
Zahra memeluk Zidan erat, seperti anak kecil yang cemas. “Pokoknya aku nggak mau makan yang lain, Sayang. Cuma es krim kacang hijau!”
Tanpa pilihan lain, Zidan mengajak Zahra keluar dari pesantren dan pergi ke toko kecil yang berada di luar komplek pesantren. Sementara itu, Ummu Halimah dan Kiai Idris, yang melihat Zidan dan Zahra meninggalkan rumah, hanya bisa saling berpandangan dengan penuh keprihatinan. Mereka sudah tahu bahwa kehamilan Zahra telah membawa banyak perubahan pada putra mereka, tetapi kali ini, mereka benar-benar merasa kasihan.
Sementara itu, di perjalanan menuju toko kecil yang menyediakan berbagai macam es krim, Zahra terus mengungkapkan keinginannya dengan semangat. “Aku cuma pengen es krim kacang hijau, Sayang. Jangan coba-coba kasih aku yang lain. Aku nggak mau!”
Zidan berusaha menahan sabar. Ia berusaha mencari solusi terbaik meskipun sudah semakin bingung. “Baiklah, sayang. Aku cari yang terbaik buat kamu.”
Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di toko kecil tersebut. Namun, setelah Zidan mengecek rak es krim yang tersedia, ia mendapati bahwa mereka tidak menyediakan es krim kacang hijau. Ada es krim rasa coklat, vanila, stroberi, dan beberapa rasa lainnya, tetapi tidak ada es krim kacang hijau. Zidan kembali menghela napas panjang dan kemudian mendekati Zahra, yang menunggu dengan tatapan serius.
“Sayang, nggak ada es krim kacang hijau di sini. Tapi ada es krim rasa durian yang mirip kacang hijau. Mau nggak?” tawar Zidan dengan suara penuh harap.
Zahra memandang Zidan dengan cemberut. “Nggak mau, Mas! Aku cuma pengen kacang hijau! Kalau nggak ada, aku nggak mau makan!”
Zidan yang kini benar-benar bingung dan panik, mulai merasa lelah. Namun, ia mencoba tetap sabar. Setelah berputar-putar di toko itu, ia akhirnya menemukan es krim kacang hijau, yang entah kenapa tidak dia lihat sebelumnya. Dengan senyum lega, ia segera membelinya dan memberikannya pada Zahra.
Zahra pun akhirnya tersenyum lebar, dan langsung menyantap es krim itu dengan lahap. “Ahhh, ini dia yang aku mau! Terima kasih, Sayang! Kamu emang yang terbaik!”
Zidan yang merasa lega, namun juga kelelahan, hanya bisa tersenyum tipis. “Iya, sayang. Kamu memang pengen banget ya, kacang hijau.”
Ketika mereka kembali ke pesantren, Ummu Halimah dan Kiai Idris sudah menunggu dengan ekspresi yang penuh dengan rasa kasihan. Setelah mereka mendengar cerita Zidan yang mencari es krim kacang hijau untuk Zahra, Ummu Halimah hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa kecil. “Zahra, Zahra… kamu ini, ya, keinginan-keinginan anehnya makin banyak aja. Kasihan Gus Zidan, sampai harus keluar cari es krim kacang hijau.”
Zahra tersenyum malu sambil memegang perutnya yang sudah agak besar. “Maaf, Ummi. Tapi beneran Zahra nggak bisa nahan. Kadang, Zahra pengen sesuatu yang aneh-aneh.”
Kiai Idris yang berada di samping Ummu Halimah, hanya bisa tertawa pelan. “Ah, yang penting sehat-sehat saja. Semoga anaknya jadi anak yang kuat dan sehat seperti ibunya.”
Zidan, yang sudah sedikit kelelahan tapi tetap bahagia melihat kebahagiaan Zahra, hanya bisa tersenyum. “Iya, Abi, Ummi. Terima kasih sudah sabar dengan kami.”
Zahra yang mendengar ucapan itu, menatap Zidan dengan penuh cinta. “Sayang, terima kasih sudah selalu ada untuk aku, bahkan ketika keinginan aku aneh-aneh.”
Zidan mencium kening Zahra dengan lembut. “Apa pun yang kamu butuhkan, Sayang, aku akan selalu ada untukmu.”
Malam itu, mereka tidur di kamar yang sama, dan meskipun Zidan masih kelelahan, ia merasa bahagia karena ia tahu, semua perjuangan kecil itu adalah bagian dari perjalanan panjang mereka dalam membangun keluarga yang penuh cinta.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??