Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Pesan Alesha mungkin masih terus masuk ke ponselku, tetapi aku tak berniat untuk membalasnya lagi.
Takut membuat Salsa merasa canggung saat berpapasan nanti, aku memilih masuk ke dalam kamar berbaring di sofa, mencoba menenangkan pikiran.
Namun setelah beberapa lama menunggu, Salsa tak juga masuk kamar. Kemana dia ? Jangan-jangan dia pingsan di dapur gara-gara melihat kecoa ? Kekhawatiran mulai merayap, memaksaku bangkit dan keluar untuk mencarinya.
Begitu tiba di ruang tamu lantai dua, aku mendapati Salsa sedang duduk di sana sambil asyik bermain ponsel, dikelilingi nyamuk-nyamuk yang sibuk "mukbang" darahnya.
Dia tampak terkejut saat melihatku muncul.
"Ngapain di situ ?" tanyaku.
"Lu yang ngapain, bukannya tidur?" jawabnya ketus, tanpa mengalihkan perhatian dari layar ponsel.
"Ayok masuk," ajak ku.
Salsa mengangkat bahu, acuh.
"Kenapa ?" tanyaku
"Kamu nggak mau tidur sekamar sama aku?" tanyaku pelan, berusaha menebak pikirannya.
Dia tak menjawab. Hanya mendesah kecil.
"Ya udah, kalau kamu nggak mau, biar aku aja yang di luar," ucapku, mengambil bantal dan bersiap pergi. Aku tahu, ini kamar Salsa, jadi wajar kalau aku yang mengalah.
Salsa hanya mengedarkan pandangan sejenak sebelum akhirnya berdiri dan masuk kamar tanpa sepatah kata. Pintu kamar tertutup dengan bunyi "klik" yang sedikit keras, seolah menegaskan kekesalannya. Kini giliranku yang menjadi santapan nyamuk-nyamuk malam.
Udara dingin malam membuatku sedikit kedinginan, aku lupa tak membawa selimut, dan Salsa pasti sudah mengunci pintunya. Nyamuk-nyamuk yang tak berhenti menyerang membuat malam ini terasa seperti ujian ketahanan mental.
Akhirnya, aku menyerah. Aku mendekati pintu kamar dan mengetuk pelan.
"Sal..." panggilku dengan suara serak.
Tak ada jawaban. Aku mengetuk lagi, lebih keras kali ini.
"Sal, buka dulu pintunya, please. Banyak nyamuk di luar," pintaku dengan nada setengah memohon.
Langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka perlahan, menampilkan wajah Salsa yang datar, dengan tatapan malas.
"Apa lagi ?" tanyanya singkat.
"Aku nggak tahan sama nyamuk," jawabku jujur. Kalau Salsa menolak, aku berniat akan pulang saja ke rumah orang tuaku.
Dia mendengus pelan, lalu membuka pintu lebih lebar.
"Siapa suruh tidur di luar." ucap salsa tak mau di salahkan.
"Ya, kan daripada kamu yang tidur di luar mendingan aku. Tapi ternyata aku gak bisa." ucapku.
"Ya udah, masuk. Tapi jangan ganggu gue."
Aku tersenyum tipis, tahu bahwa di balik sikap judesnya, dia sebenarnya tak tega. Tanpa banyak bicara, aku kembali ke sofa kecil di sudut kamar.
Beberapa saat kemudian, Salsa mengambil selimut tambahan dari lemari dan melemparnya ke arahku dengan sedikit kasar.
"Jangan ribut. Gue mau tidur," katanya singkat.
Malam kembali sunyi. Dari sofa, aku sesekali melirik ke arah tempat tidur, melihat punggung Salsa yang terbungkus selimut. Dia tampak tenang, seperti tidak ada apa-apa. Tapi aku tahu, di dalam dirinya pasti ada emosi yang sulit dijelaskan sama seperti yang aku rasakan.
Ponselku tiba-tiba berbunyi dan membuatku terlonjak. Aku segera meraihnya, mematikan layar sebelum suara itu mengganggu. Tapi terlambat, Salsa sudah mendengarnya..
"Notif siapa lagi sih tengah malam begini ?" tanya salsa tanpa berbalik.
Aku terdiam, ragu menjawab.
"Nggak, cuma temenku," sahutku akhirnya.
"Temen apa ?" Dia berbalik sedikit, menatapku dengan mata setengah mengantuk tapi penuh rasa ingin tahu.
"Ya, temen biasa. Nanya tugas aja," jawabku singkat.
Dia mendesah panjang.
"Malam-malam gini nanyain tugas, tugas apaan ? Besok emang nggak bisa ?"
Aku tertegun. Ada nada yang sulit kuartikan dalam suaranya entah itu cemburu, kesal, atau sekadar lelah.
"Ya bisa aja sih, emang kenapa ?" gumamku, berusaha menghindari tatapannya.
"Notif lu ganggu, tau gak ?" ucap salsa. Namun aku tahu yang dia permasalahkan bukanlah suara notifnya melainkan yang lain.
Aku menatapnya, mencoba membaca suasana hatinya. Namun, sebelum sempat berkata lebih jauh, dia sudah membaringkan tubuhnya kembali, membelakangi ku.
Aku hanya bisa menghela napas, membenamkan diri di balik selimut tipis, dan berusaha memejamkan mata. Malam itu, hanya suara pelan AC dan detak jantungku yang menemani, bertanya-tanya apa sebenarnya yang Salsa rasakan ?
Aku kembali berbaring dan rasa ngantuk baru saja akan menghampiri. Namun, aku jadi terjaga kembali ketika mendengar suara pelan memanggil namaku. Aku menoleh ke arah ranjang. Salsa, yang kupikir tengah terlelap, tampak bergerak gelisah. Entah dia sedang bermimpi atau sekadar mengigau, tapi dia jelas menyebut namaku.
Aku bangkit perlahan, rasa penasaran membawaku mendekat ke arahnya. Dari jarak dekat, wajahnya yang cantik dalam tidur tampak begitu memikat. Aku jadi menelan ludah.
Perasaan aneh mulai menyusup ke dalam diriku, ada dorongan untuk menyentuhnya, untuk mendekatkan bibirku ke wajahnya. Namun, aku ragu. Bagaimana jika nanti dia malah terbangun ? Bagaimana jika ini hanya membuat jarak di antara kami semakin jauh ?
Sekali lagi, dia menyebut namaku, kali ini lebih jelas.
"Aku di sini, sal." bisikku pelan.
Tiba-tiba, Salsa mengulurkan tangan, lalu memelukku erat. Matanya tetap terpejam, tapi pelukannya begitu kuat seolah mencari perlindungan.
Tubuhku jadi kaku sejenak, tidak tahu harus bagaimana. Tapi kemudian, dorongan untuk tetap di dekatnya mengalahkan segalanya.
Aku membiarkan tubuhku jatuh perlahan di atasnya, menyesuaikan posisi agar tidak menyakitinya. Detak jantungku berdetak cepat, tapi aku mencoba menahan diri, memastikan kehadiranku tidak membuatnya merasa terganggu.
Dari atas tubuhnya, aku memandangi wajah Salsa yang kembali terlelap. Kulitnya begitu lembut dengan bibirnya yang sedikit terbuka seolah memancarkan keanggunan yang tak pernah pudar.
Salsa memang cantik, luar biasa cantik. Bahkan dalam keheningan seperti ini, pesonanya tetap mampu membuat hatiku bergetar. Tapi di balik kecantikannya, aku tahu ada jarak yang begitu lebar di antara kami. Jarak yang dia ciptakan sendiri.
Aku mulai mengungkung Salsa yang terbaring telentang di bawahku, tubuhku menindihnya dari atas. Namun, sebelum aku sempat berkata atau berbuat apa-apa, Salsa tiba-tiba membuka mata dan mengangkat lututnya dengan keras seraya berteriak.
Rasa sakit luar biasa pun mulai menjalar seketika saat lututnya mengenai bagian sensitif ku. Aku spontan memegangi daerah itu sambil meringis dan nyaris hilang keseimbangan.
Belum cukup dengan itu, Salsa juga mendorongku dengan kekuatan yang tak kuduga, membuatku terlempar jatuh dari atas ranjang. Suaranya melengking tajam, penuh amarah,
"Berani berani lu ngelakuin ini farel!" pekik salsa seraya akan memukuliku juga dengan guling.
Aku mencoba menahan, dan akan menjelaskan namun suaraku tertahan oleh rasa sakit yang masih terasa.
"Sal," ucapku.
"Apa lo ?" tanya salsa dengan raut wajah
marah.
Aku masih terbaring di lantai seraya memegangi bagian yang masih terasa nyeri, aku mencoba berdalih, suaraku pelan namun terdengar putus asa.
"Emang apa salahnya kalo kita coba ?" ucapku.
"Tapi lu beraninya ngelakuin pas gw tidur."
"Emang kalo kamu sadar kamu gak bakal nolak ? Aku udah gak tahan sal." ucapku, padahal bila tadi salsa tak memanggilku mungkin hal ini juga tak akan pernah terjadi.
"Semenjak nikah kita kan gak pernah ngapa ngapain."
"Siapa tau, dengan cara ini kita bisa jadi lebih deket dan saling terbuka." ucapku.
"Terbuka apa? Saling terbuka baju maksud lu?" tanya salsa lagi dengan wajahnya yang memerah, mungkin karena marah atau karena lelah menghadapi tingkahku.
"Lu pikir hubungan kita cuma soal itu ya?" suaranya meninggi, menusuk telingaku.
Aku terdiam. Semua kata-kata yang ingin aku utarakan terasa menguap begitu saja. Di sisi lain, aku tahu aku salah, tapi aku juga tak tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Yang ada hanya rasa bersalah yang menggantung di udara, membuat jarak di antara kita terasa jadi lebih jauh dari sebelumnya.
Salsa menghela napas panjang, suaranya terdengar dingin dan tegas.
"Lu nggak pernah paham, ya? Ini bukan soal kedekatan atau apa pun yang lu pikirin. Masalahnya... Gw emang nggak pernah cinta sama lu," ucap salsa tanpa ragu.
Kalimat itu menghantam ku jauh lebih keras daripada tendangannya tadi. Aku terpaku, menatap wajahnya yang terlihat begitu yakin dengan kata-katanya.
"Tapi... Salsa, kita udah nikah. Bukannya cinta itu bisa tumbuh seiring berjalannya waktu?" tanyaku dengan suara bergetar, mencoba mencari celah kecil yang mungkin bisa mengubah pikirannya.
Dia hanya menggeleng pelan, matanya menghindari tatapanku.
"Nikah bukan berarti gw harus cinta sama lo. Maaf, tapi perasaan itu emang nggak ada. Dan cara lu tadi... itu nggak akan bikin gw jatuh cinta, yang ada gw malah ilfeel."
Aku terdiam. Tidak ada yang bisa ku bantah. Kata-katanya seperti belati yang menancap dalam-dalam, meninggalkan luka yang tak terlihat tapi begitu menyakitkan. Aku hanya bisa berharap.
Suatu hari nanti dia akan melihatku bukan hanya sebagai suaminya, tapi juga sebagai seseorang yang pantas dicintai.
"Sekarang lu tidur, gak usah cari cari kesempatan lagi sama gw." ucap salsa.
Rasa kecewa itu menusuk begitu dalam, seperti luka yang tak bisa sembuh. Tanpa berkata kata lagi aku bangkit dan melangkah perlahan menjauh darinya, lalu duduk di sofa di sudut ruangan.
Di sana, aku mencoba meredam gejolak di dada. Udara terasa dingin dan sunyi, hanya suara napas kami yang terdengar berjarak, seperti dinding yang tak terlihat memisahkan kami.
Aku memejamkan mata, berharap rasa lelah ini cukup untuk membuatku terlelap, melupakan semua yang telah terjadi tadi.
Entah mengapa waktu pun seakan berjalan lebih lambat. Pikiran tentang penuturan Salsa terus berputar di kepalaku, seperti mimpi buruk. Hingga subuh hampir menjelang, aku masih terjaga, mataku nanar menatap langit-langit kamar.
Aku tahu Salsa juga tidak tidur. Aku mendengarnya gelisah di atas ranjang, sesekali bergerak seolah ingin memastikan aku tetap di sofa.
Mungkin dia ketakutan aku akan melakukan hal yang sama seperti tadi. Pikiranku bercampur aduk antara marah pada diri sendiri dan rasa bersalah yang makin berat.
Kami terjebak di malam yang sama, tapi dengan alasan yang berbeda. Aku dalam kecewa, dan dia dalam ketakutan.
Sampai kapan aku begini terus? Bila menuruti keinginan. Ingin sekali rasanya aku pergi saat ini juga, tapi aku tiada daya.