NovelToon NovelToon
Filsafat Vs Sains

Filsafat Vs Sains

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Arifu

Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian kisah penting

Waktu terasa cepat berlalu. Tidak terasa, Joko dan Vina telah menjalani hubungan mereka selama lebih dari setahun. Hubungan mereka semakin matang, meski tetap saja penuh dengan perdebatan kecil yang menjadi ciri khas mereka. Namun, ada sesuatu yang mulai terasa berbeda: bayangan wisuda dan perpisahan.

Di Depan Gedung Filsafat

Joko duduk di tangga gedung fakultasnya sambil membaca buku. Matahari sore yang hangat membuat suasana kampus terasa damai. Vina datang menghampiri dengan membawa dua cup es kopi yang sudah menjadi tradisi mereka.

“Nih, kopi hitam buat si filsuf sok bijak,” ujar Vina sambil menyodorkan segelas kopi.

“Makasi, Bu Fisika,” jawab Joko dengan senyum kecil. Dia menerima kopi itu, lalu menatap Vina yang duduk di sebelahnya. “Gue nggak nyangka ya, kita udah setahun lebih bareng.”

“Waktu emang cepet, Jok,” jawab Vina sambil menyeruput kopinya. “Tapi ngomong-ngomong soal waktu, lo udah mikirin rencana abis wisuda?”

Joko mendesah pelan, meletakkan bukunya. “Rencana sih ada, cuma belum jelas. Gue mungkin bakal cari kerja di bidang penelitian filsafat atau lanjut S2, tapi ya… lo tau lah, gue nggak kaya. Banyak pertimbangannya.”

Vina mengangguk, lalu menatap Joko dengan serius. “Gue juga bingung, Jok. Kalau gue, mungkin bakal ambil program beasiswa ke luar negeri. Tapi gue takut ninggalin lo.”

Ucapan Vina membuat Joko terdiam. Ini pertama kalinya mereka benar-benar membicarakan masa depan dengan serius, tanpa bumbu debat atau candaan. Joko memutar kopinya, mencari kata-kata yang pas.

“Vin, gue nggak mau jadi penghalang buat lo. Kalau lo dapet beasiswa itu, ambil. Gue akan dukung lo.”

Vina mengernyit. “Tapi gimana hubungan kita, Jok? Gue nggak mau kita jadi jauh.”

Joko menatap Vina, lalu tersenyum kecil. “Gue percaya sama lo. Kalau kita emang ditakdirin bareng, kita bakal nemu jalannya.

Malamnya, Joko merenung di kamar kosnya yang sederhana. Dia memikirkan obrolan tadi dengan Vina. Meski dia mencoba terdengar bijak, jauh di dalam hati, dia merasa takut kehilangan Vina. Wisuda yang seharusnya menjadi momen bahagia sekarang terasa seperti awan gelap yang menggantung di atas kepala mereka.

Andi, teman kos Joko, masuk ke kamar sambil membawa sekantong mi instan. “Jok, lo kenapa? Mukanya kusut banget.”

Joko menghela napas. “Gue lagi mikirin Vina. Dia mungkin bakal ke luar negeri abis wisuda.”

Andi tertawa kecil sambil menyeduh mi. “Ya elah, lo kenapa khawatir? Pacar lo itu suka debat sama lo, berarti dia nggak bakal nemu orang kayak lo di sana. Aman lah.”

Joko tersenyum tipis. “Kadang gue iri sama cara pikir lo, Andi. Gampang banget ngelihat sisi positif.”

Andi menyeringai. “Itu karena gue nggak pacaran, bro. Masalah gue cuma di mi instan habis atau nggak.”

Beberapa hari kemudian, Vina mengajak Joko ke perpustakaan kampus. Dia membawa setumpuk buku fisika yang harus dikembalikan sebelum wisuda.

“Gue masih inget lo pernah bilang kalau cinta itu kayak filsafat, nggak ada definisi pasti,” ujar Vina sambil menyusun buku di meja.

“Iya, karena cinta itu lebih ke pengalaman, bukan konsep,” jawab Joko santai. “Kenapa emang?”

“Gue rasa cinta itu kayak fisika kuantum,” balas Vina. “Susah dimengerti, penuh kemungkinan, tapi ada pola tertentu yang bikin semuanya terasa masuk akal.”

Joko terkekeh. “Kita emang nggak pernah kehabisan analogi, ya?”

Vina menatap Joko dengan serius. “Tapi satu hal yang gue yakin, Jok. Lo itu pola gue.”

Ucapan itu membuat Joko terdiam. Dia tahu Vina jarang bicara seserius ini, dan ketika dia melakukannya, itu selalu berarti sesuatu. Tanpa banyak kata, Joko meraih tangan Vina dan menggenggamnya erat.

“Kita bakal baik-baik aja, Vin,” ucap Joko akhirnya. “Apa pun yang terjadi, gue nggak bakal ngelepas lo.”

Di Gedung Auditorium Wisuda

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Aula kampus dipenuhi toga dan senyuman bahagia para wisudawan. Nama Joko disebut, dan dia berjalan mantap ke panggung untuk menerima ijazahnya. Dari kursinya, Vina melihat dengan mata berbinar, bangga dengan pencapaian pacarnya itu.

Saat giliran Vina tiba, Joko membalas dengan sorakan paling keras yang bisa ia keluarkan, membuat Vina menoleh sambil tersenyum lebar.

“Lo norak banget,” bisik Vina ketika kembali ke kursinya.

“Norak tanda cinta, Vin,” jawab Joko sambil menyeringai.

Wisuda berakhir dengan riuh rendah para mahasiswa yang saling berpelukan, memeluk orang tua, dan mengambil foto bersama. Tapi Joko tampak resah. Dia mengintip Vina yang tengah berbincang dengan teman-temannya. Di tangannya, ada sebuah kotak kecil.

Setelah suasana aula mulai sepi, Joko membawa Vina ke taman kampus—tempat mereka biasa nongkrong. Matahari mulai terbenam, memberi warna jingga ke seluruh kampus.

“Kenapa lo tiba-tiba ngajak ke sini, Jok?” tanya Vina dengan bingung.

Joko menggaruk belakang kepalanya, gugup. “Gue cuma... pengen ngomong sesuatu yang penting.”

Vina menyipitkan matanya, mencoba menebak. “Apa? Lo nggak dapet kerjaan? Atau lo nggak siap LDR?”

“Bukan gitu,” jawab Joko cepat. Dia menghela napas panjang, menatap Vina dalam-dalam. “Vin, gue tau hubungan kita nggak selalu mulus. Kita sering banget debat, saling ngeributin hal kecil, bahkan kadang bikin orang di sekitar kita heran. Tapi gue sadar satu hal.”

Vina mendekat, mulai serius mendengarkan. “Apa itu?”

“Lo adalah orang yang bikin gue jadi diri gue sendiri. Lo bikin hidup gue punya warna. Lo bikin gue yang tadinya skeptis sama cinta jadi percaya kalau cinta itu ada,” kata Joko, suaranya mulai gemetar.

Vina menatapnya, sedikit terkejut dengan kesungguhan Joko.

Joko lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan kotak kecil itu. Dia membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah cincin sederhana. “Vin, gue nggak punya apa-apa selain keyakinan gue ke lo. Gue nggak tau masa depan kita bakal gimana, tapi gue yakin satu hal. Gue pengen lo ada di sana. Jadi... mau nggak lo nikah sama gue?"

Vina membeku sejenak, matanya berkaca-kaca. “Jok... lo serius?”

“Serius banget,” jawab Joko sambil tersenyum gugup. “Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi buat ngasih tau dunia kalau lo itu satu-satunya buat gue.”

Vina menutup mulutnya, mencoba menahan air mata. Tapi setelah beberapa detik, dia malah tertawa kecil. “Ya ampun, Joko. Lo bener-bener nyuruh gue bikin keputusan segede ini pas kita baru aja wisuda?”

“Waktu yang tepat itu nggak selalu datang sesuai jadwal, Bu Fisika,” balas Joko dengan nada bercanda, meski hatinya masih deg-degan. “Gue cuma berharap jawaban lo juga tepat.”

Vina mendekat, memukul pundak Joko dengan lembut. “Jawaban gue? Ya tentu aja gue mau, bodoh. Tapi lo harus janji, kita bakal diskusi segalanya, termasuk soal pekerjaan dan tempat tinggal.”

Joko mengangguk cepat, lega luar biasa. Dia menyematkan cincin itu di jari manis Vina, lalu berdiri sambil menarik Vina ke pelukannya.

“Lo yakin nggak nyesel?” tanya Vina dengan senyum menggoda.

“Yakin banget,” jawab Joko. “Debat sama lo aja gue tahan, apalagi ngurus hidup bareng lo.”

1
Arifu
Filsafat vs Sains.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!