Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Logika diatas segalanya
Di sebuah kamar kos sederhana di bilangan Jakarta, Rehan menatap layar laptopnya dengan serius. Kamar itu lebih mirip gudang perpustakaan daripada tempat tinggal manusia biasa. Buku-buku fisika berserakan di atas meja, di lantai, bahkan ada beberapa yang terselip di bawah bantal. Di antara tumpukan itu, sebuah papan tulis kecil penuh dengan rumus terpampang di dinding, seolah-olah ruangan itu adalah laboratorium mini milik ilmuwan eksentrik.
"Apa hubungan antara cinta dan gravitasi?" Rehan bergumam sambil mengetik dengan cepat di laptop. Tangannya lincah menari di atas keyboard, sementara matanya terpaku pada layar. Ia sedang menyusun artikel untuk blog pribadinya, Logika Sehari-Hari. Blog itu menjadi tempat pelarian ide-ide ilmiahnya yang sering dianggap terlalu "berat" oleh orang-orang di sekitarnya.
Blog itu sebenarnya menarik, setidaknya menurut Rehan. Isinya menghubungkan teori-teori fisika dengan kehidupan sehari-hari, dari hukum Newton hingga relativitas Einstein. Sayangnya, pengunjung blog itu bisa dihitung dengan jari. Bahkan Aryo, teman kosnya yang selalu penasaran, hanya membaca satu artikel karena bosan di tengah jalan.
"Blog lo tuh bagus, Han," komentar Aryo suatu hari, "Tapi kayak buku pelajaran fisika yang dibungkus plastik. Orang nggak bakal buka kalau nggak terpaksa."
Rehan hanya mengangkat bahu mendengar komentar itu. Baginya, menulis di blog bukan soal pembaca, melainkan soal kepuasan intelektual. Setidaknya ia bisa menuangkan ide-idenya tanpa ada yang menghakimi.
Rehan adalah seorang sarjana fisika berusia 25 tahun. Ia baru lulus tahun lalu dan kini bekerja paruh waktu sebagai asisten dosen di universitas tempat ia belajar. Namun, pekerjaan itu bukanlah yang ia impikan. Baginya, kehidupan ideal adalah menjadi ilmuwan yang fokus pada penelitian, jauh dari interaksi sosial yang melelahkan.
Hidup Rehan berjalan lurus, tanpa drama. Ia percaya bahwa dunia adalah kumpulan angka, rumus, dan fakta yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Setiap fenomena memiliki penyebab dan akibat yang dapat dihitung. Bahkan emosi manusia, menurut Rehan, hanyalah hasil dari reaksi kimia di otak.
Namun, keyakinan ini sering membuat hidupnya sulit, terutama dalam hal hubungan sosial. Ia dijuluki "robot berjalan" oleh teman-temannya karena ekspresinya yang datar dan kebiasaannya menganalisis segalanya dengan logika. Bahkan ketika bercanda, ia sering tidak bisa menangkap maksudnya.
Suatu pagi, saat Rehan sedang sibuk menulis artikel baru, Aryo mengetuk pintu kamarnya. Ketukan itu tidak sabar, seperti biasa.
"Han, lo ada duit nggak? Gue mau beli mie instan," kata Aryo sambil masuk tanpa menunggu jawaban.
Rehan mendongak dari layar laptopnya. "Kenapa lo nggak beli sendiri? Kan gajian minggu lalu."
Aryo mendengus. "Gue udah habis buat bayar cicilan motor. Kalau lo nggak minjemin, kita berdua bakal kelaparan."
Rehan menghela napas dan mengeluarkan dompetnya. "Lo tau nggak, Yo, kalau setiap tahun, rata-rata mahasiswa kos seperti kita menghabiskan sekitar 60% uangnya untuk makanan instan? Itu salah satu penyebab kurangnya nutrisi di kalangan mahasiswa."
Aryo memutar mata. "Lo tuh pinter, Han, tapi nggak manusiawi. Ngasih duit aja pake ceramah. Lo sendiri makan mie instan tiap hari."
Percakapan itu hanyalah satu dari sekian banyak momen komedi yang terjadi di antara mereka. Aryo sering menjadi "korban" ceramah ilmiah Rehan. Namun, meskipun sering kesal, Aryo tetap menghargai Rehan sebagai teman yang selalu ada di saat dibutuhkan.
Sore harinya, mereka duduk bersama di ruang tamu kos sambil makan mie instan. Aryo membuka obrolan tentang topik yang selalu ia anggap menarik: cinta.
"Han, lo sadar nggak, lo tuh kayak tokoh utama di film-film romantis. Jenius, tapi nggak punya pacar."
Rehan hanya menatapnya datar. "Karena cinta itu ilusi, Yo. Dopamin, serotonin, dan oksitosin. Itu aja yang bikin orang merasa jatuh cinta. Gampang dijelaskan, nggak perlu dirasakan."
Aryo tertawa kecil. "Lo ngomong kayak gitu karena lo belum pernah ngerasain, Han. Tunggu aja. Nanti kalau lo jatuh cinta, lo bakal panik sendiri."
Rehan menggeleng pelan. "Kalau itu terjadi, gue bakal bikin eksperimen. Gue buktikan cinta itu cuma efek biokimia."
Aryo hanya menggeleng sambil terkekeh. Baginya, Rehan adalah kombinasi aneh antara ilmuwan dan komedian. Meskipun sering berbeda pendapat, Aryo tetap menikmati obrolan mereka.
Malam itu, Rehan kembali ke kamarnya dan melanjutkan menulis artikel. Topik kali ini adalah "Hubungan antara Gravitasi dan Emosi." Ia mencoba menjelaskan bagaimana gravitasi, sebagai salah satu gaya fundamental di alam semesta, memiliki pengaruh terhadap perasaan manusia.
Namun, saat ia mengetik paragraf terakhir, pikirannya mulai melayang. Apa benar cinta hanyalah ilusi? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar reaksi kimia?
Ia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pertanyaan itu. Baginya, pertanyaan seperti itu hanya membuang-buang waktu. Namun, di sudut pikirannya, ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya.
Rehan menatap papan tulis di dinding. Rumus-rumus yang tertulis di sana terasa begitu akrab, namun sekaligus membosankan. Ia merasa hidupnya terlalu monoton, terlalu terprediksi. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Baginya, logika adalah satu-satunya jalan hidup yang masuk akal.
Sebelum tidur, ia membuka blognya dan membaca komentar dari salah satu pembaca setia, yang ternyata adalah Aryo.
"Han, artikel lo bagus, tapi terlalu berat buat orang biasa. Lo harus mulai menulis sesuatu yang lebih manusiawi."
Rehan tersenyum kecil membaca komentar itu. Aryo memang sering meledeknya, tapi ia tahu temannya itu peduli.
Di tengah malam yang sunyi, Rehan merenung. Mungkin sudah saatnya ia keluar dari zona nyamannya dan mencari sesuatu yang berbeda. Tapi, apa itu?