Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Mario melangkah masuk ke lobi gedung perusahaannya dengan langkah mantap. Setelan jasnya yang rapi dan wajahnya yang tegas memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Begitu ia melewati pintu utama, Devon, asisten pribadinya yang setia, sudah berdiri menunggunya di dekat lift.
“Pagi, Tuan Mario,” sapa Devon sambil membungkuk sedikit.
Mario hanya mengangguk kecil, memberi isyarat agar Devon mengikutinya masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift tertutup, Mario berbalik menatap Devon dengan sorot mata penuh tanya. “Ada laporan?”
“Ya, Tuan,” Devon menjawab sambil membuka tablet di tangannya. “Saya sudah menyelidiki Edwin seperti yang Anda perintahkan.”
“Dan?” tanya Mario dengan nada rendah, namun tegas.
Devon menarik napas sebelum menjawab, “Edwin bukan mahasiswa pindahan dari Jepang seperti yang dia klaim, Tuan. Dia memang sengaja disuruh oleh seseorang untuk mendekati Nona Renaya.”
Mata Mario menyipit. Rahangnya mengeras saat ia mendengar kabar itu. “Siapa yang menyuruhnya?” tanyanya dengan dingin.
Devon menggeleng pelan, terlihat sedikit tidak nyaman. “Sayangnya, saya belum berhasil menemukan siapa bosnya. Tapi saya sedang melacak informasi lebih lanjut. Butuh sedikit waktu lagi untuk menghubungkan semua titik.”
Mario terdiam sejenak, menatap pintu lift yang masih tertutup di depannya. Lalu, senyuman kecil muncul di wajahnya, senyum yang lebih menyerupai seringai berbahaya. “Dia belum tahu siapa saya, rupanya,” katanya pelan, namun penuh ancaman.
Devon hanya mengangguk, menunggu instruksi lebih lanjut.
“Cari tahu, Devon. Siapa pun orang di balik ini, aku ingin tahu setiap detail tentang mereka. Latar belakang, koneksi, kelemahan, semuanya. Jangan berhenti sampai kau dapatkan semua informasi itu,” perintah Mario.
“Baik, Tuan. Saya akan segera mempercepat prosesnya,” jawab Devon, mencatat sesuatu di tabletnya.
Mario mendesah pelan, lalu menatap Devon dengan sorot mata penuh tekad. “Dan pastikan Edwin tidak menyadari kalau dia sedang diawasi. Aku ingin tahu apa langkah selanjutnya dari bocah itu.”
“Dimengerti, Tuan,” kata Devon dengan patuh.
Pintu lift terbuka, dan mereka berdua melangkah keluar ke lantai atas, menuju ruang kerja Mario yang luas dan megah. Mario segera duduk di kursinya, menyandarkan tubuh sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.
“Devon,” panggilnya.
Devon, yang baru saja hendak keluar ruangan, segera berbalik. “Ya, Tuan?”
“Kita mainkan ini dengan cermat. Jika Edwin atau bosnya mencoba sesuatu, pastikan mereka menyesal telah melibatkan diri dengan saya,” ucap Mario, matanya bersinar dengan determinasi yang dingin.
“Dipahami, Tuan,” Devon menjawab sebelum keluar dari ruangan.
Mario duduk di kursinya, menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke pusat kota. Pikirannya berputar-putar, merencanakan langkah-langkah berikutnya. Siapa pun yang berani mencoba mengganggu hidupnya dan Renaya, pasti akan membayar mahal.
Senyumnya kembali muncul, kali ini lebih dingin. “Mari kita lihat, siapa yang lebih kuat,” gumamnya pada dirinya sendiri.
**
**
**
Di kampus pagi itu, Renaya sedang duduk sendiri di bangku depan kelas, menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang, memikirkan berbagai hal yang sedang terjadi dalam hidupnya. Hubungannya dengan Mario yang semakin rumit, dan tekanan dari orang-orang di sekitarnya membuatnya merasa terjepit. Sepertinya hari ini tidak akan berbeda. Namun, ada satu hal yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik: kuliah.
Namun, saat dia melirik jam tangan, dia baru menyadari bahwa Ivanka tidak ada di sana. Biasanya, sahabatnya itu selalu menemaninya. Renaya membuka ponselnya untuk mencari pesan dari Ivanka dan segera membaca pesan singkat yang masuk. “Ren, maaf banget, aku nggak bisa masuk kuliah hari ini. Adikku masuk rumah sakit karena kecelakaan. Aku harus menemani dia. Semoga hari kamu lancar ya!” pesan Ivanka cukup membuat Renaya terkejut. “Semoga adiknya baik-baik saja,” gumamnya dalam hati, lalu menyimpan ponsel.
Di saat yang sama, seorang pria yang sudah dikenal Renaya, Edwin, tiba-tiba datang menghampirinya. Dengan langkah percaya diri, Edwin duduk di samping Renaya, membuatnya sedikit terkejut. Edwin memang sudah sering mencoba mendekatinya belakangan ini, namun Renaya selalu menjaga jarak.
“Pagi, Renaya,” sapa Edwin dengan senyum lebar.
Renaya mengangguk ringan, meski agak bingung melihatnya begitu dekat. “Pagi, Edwin. Ada apa?”
Edwin meletakkan botol air mineral di meja tepat di depan Renaya. “Kamu lupa bawa minum, kan? Kebetulan aku bawa lebih,” katanya sambil tersenyum.
Renaya memandang botol itu sejenak, merasa agak ragu. Namun, setelah beberapa detik, dia menyadari bahwa memang dia lupa membawa minuman pagi itu. Lagipula, siapa yang tidak butuh air saat cuaca kampus yang terkadang membuat tenggorokan kering. Tanpa berpikir panjang, Renaya akhirnya mengambil botol tersebut dan membuka tutupnya.
“Terima kasih, Edwin,” ucap Renaya, sambil meminum sedikit air dari botol itu.
Edwin duduk santai, tetap dengan senyum misterius yang terukir di wajahnya. Matanya tak lepas memandang Renaya, mencoba membaca reaksi gadis itu. Meskipun Renaya hanya meminumnya sedikit, ia merasa sedikit canggung dengan perhatian Edwin yang tidak biasa ini.
“Gimana kuliah tadi pagi?” tanya Edwin, berusaha membuka percakapan lebih lanjut.
“Biasa aja,” jawab Renaya sambil menutup botol dan meletakkannya di meja. “Kuliah seperti biasanya, cuma lebih sepi aja karena banyak yang izin.”
Edwin mengangguk, tampak tidak begitu peduli dengan jawaban Renaya. Ia malah lebih fokus pada ekspresi wajah Renaya. “Sebenarnya, aku suka cara kamu fokus sama apa yang kamu kerjakan. Itulah yang bikin aku tertarik,” ucapnya, nada suaranya sedikit berubah. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia berbicara sekarang, yang membuat Renaya merasa sedikit lebih cemas.
Renaya tertawa kecil, meski sedikit canggung. “Aku hanya berusaha untuk tetap fokus pada tujuan saja.”
“Tapi terkadang, fokus itu bisa jadi bumerang, kan?” Edwin bertanya dengan nada menggoda, seolah ada maksud tersembunyi di balik kata-katanya.
Renaya menatapnya, sedikit bingung dengan arah pembicaraan yang mulai terasa tidak nyaman. “Maksudmu?”
Edwin tersenyum lebar. “Maksudku, kadang kita harus membuka mata pada hal-hal yang lebih menyenangkan, yang bisa membuat hidup lebih menarik. Seperti, misalnya... menjalin hubungan dengan orang yang bisa memberikan kebahagiaan, bukan hanya tujuan semata.”
Renaya menelan ludah, merasa sedikit tak nyaman dengan komentar itu. Namun, ia tetap berusaha menjaga sikapnya. “Terima kasih, tapi aku lebih nyaman dengan caraku sekarang,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Edwin menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam. Senyumnya tetap mengembang, namun kini ada sesuatu yang lebih gelap tersembunyi di baliknya. “Tapi semua orang butuh seseorang, Renaya. Tidak ada salahnya kalau kamu mencoba membuka diri sedikit.”
Renaya merasa kepalanya mulai berputar. Semakin lama, rasa pusing itu semakin menyusup di pelipisnya, membuat pandangannya kabur sejenak. Matanya terasa berat, dan dia berusaha menahan agar tidak terlihat terlalu lemah di depan Edwin. Namun, tubuhnya yang sedikit gemetar memberi isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Edwin yang sebelumnya tersenyum lebar, kini menatap Renaya dengan penuh perhatian. Ekspresi wajahnya berubah, meski masih ada rona misterius di balik tatapannya. “Renaya, kamu nggak apa-apa?” tanya Edwin dengan nada yang terdengar lebih khawatir dari biasanya, meskipun senyum simpulnya tetap menghiasi wajahnya.
Renaya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Aku... cuma sedikit pusing,” jawabnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi, berusaha meredakan rasa sakit di kepalanya. Namun, meskipun dia berusaha menyembunyikan ketidaknyamanannya, Edwin bisa merasakannya.
“Coba duduk sebentar, jangan berdiri dulu. Kamu kelihatan nggak enak,” kata Edwin, sedikit memaksa namun dengan cara yang tetap terasa halus. Dia bergerak lebih dekat, seperti ingin memastikan Renaya tidak jatuh atau pingsan.
Namun, ada sesuatu di balik perhatian itu yang membuat Renaya merasa lebih cemas. Senyum simpul di wajah Edwin semakin jelas, dan meskipun dia tampak khawatir, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh Renaya. Sesuatu yang terasa berbeda dengan keprihatinan yang biasa dia tunjukkan untuk orang lain. Sebuah kecanggungan mulai mengalir di antara mereka.
“Kamu tahu, Renaya...” Edwin melanjutkan sambil melihat Renaya yang memegang kepala, berusaha menahan pusing. “Aku selalu suka kalau orang seperti kamu nggak terlalu banyak berpura-pura. Kamu terlihat lebih... natural begini.”
Renaya menatapnya, bingung dengan kata-kata itu. “Maksudmu?”
Edwin tersenyum lagi, kali ini senyumnya lebih lembut namun tetap mengandung arti yang lebih dalam. “Maksudku, kadang-kadang kita harus berhenti berpura-pura kuat dan mulai mengakui perasaan kita. Seperti sekarang, kamu nggak perlu berusaha keras untuk terlihat baik-baik saja.”
Renaya tidak bisa menjawab, tiba-tiba dia pingsan. Edwin dengan cepat mengangkat tubuh Renaya yang pingsan, hati-hatinya membopong tubuhnya ke arah mobil. Sebagai seorang yang sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini, dia bergerak cepat dan terampil. Dengan tangan yang mantap, dia membuka pintu mobil Renaya dan meletakkan tubuh wanita itu dengan lembut di kursi penumpang. Wajah Renaya tampak pucat, nafasnya terasa terengah-engah meski tak sadar. Edwin menghela napas sejenak sebelum akhirnya masuk ke kursi kemudi.
Dia menatap Renaya sejenak, memastikan bahwa tubuhnya sudah tertata dengan baik, dan memastikan bahwa keadaan Renaya tidak semakin buruk. Dengan gerakan yang tenang, Edwin memasukkan kunci mobil dan menyalakan mesin. Namun, perasaannya jauh lebih kompleks daripada hanya sebuah aksi penyelamatan. Dia tahu, ini adalah langkah pertama dalam rencananya yang lebih besar. Rencana yang akan membawanya lebih dekat dengan Renaya, meski dengan cara yang tidak biasa.
Edwin menatap sebentar ke kaca spion mobil, memastikan jalan di depan kosong, kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat. Setelah beberapa detik, dia menekan tombol panggilan dan meletakkan ponsel di telinganya. Suara di ujung sana terdengar dengan jelas, dan Edwin langsung berbicara dengan nada yang penuh percaya diri.
"Renaya sudah ada ditanganku, Bos," ucapnya dengan suara datar namun tegas. Ada sedikit kepuasan dalam nada suaranya meskipun dia tetap berusaha menjaga ketenangan.
“Bagus! Buat dia menikmati setiap sentuhanmu setelah ini!”