SEKUEL TERPAKSA MENIKAHI PEMBANTU
Giana yang sejak kecil kehilangan figur seorang ayah merasa bahagia saat ada seorang laki-laki yang merupakan mahasiswa KKN memberikan perhatian padanya. Siapa sangka karena kesalahpahaman warga, mereka pun dinikahkan.
Giana pikir ia bisa mendapatkan kebahagiaan yang hilang setelah menikah, namun siapa sangka, yang ia dapatkan hanyalah kebencian dan caci maki. Giana yang tidak ingin ibunya hancur mengetahui penderitaannya pun merahasiakan segala pahit getir yang ia terima. Namun, sampai kapankah ia sanggup bertahan apalagi setelah mengetahui sang suami sudah MENDUA.
Bertahan atau menyerah, manakah yang harus Giana pilih?
Yuk ikuti ceritanya!
Please, yang gak benar-benar baca nggak usah kasi ulasan semaunya!
Dan tolong, jangan boom like atau lompat-lompat bacanya karena itu bisa merusak retensi. Terima kasih atas perhatiannya dan selamat membaca. ♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SSM 8
Mobil taksi pun melaju. Sesekali sopir itu menoleh ke belakang. Ia menelan ludah karena rasa gugup yang melanda. Giana yang menangis sesaat setelah masuk ke dalam taksi pun melirik pak sopir. Ia paham, pasti pak sopir itu takut melihatnya.
"Nggak usah takut, Pak. Aku nggak jahat kok. Aku terpaksa melakukan hal kayak tadi tuh demi keluar dari rumah keluarga toksik itu," ujar Giana sambil tersenyum tipis. Senyum penuh luka.
"Keluarga toksik?" beo Pak sopir tidak mengerti.
"Iya. Mereka tadi keluarga suamiku. Sementara wanita yang tadi itu istri muda suamiku. Dia nggak mau ceraikan aku. Mereka mau jadiin aku pembantu di rumah itu. Memangnya perempuan bodoh mana yang mau? Meskipun aku orang kampung, tapi aku masih punya harga diri. Makanya aku tadi nekat kayak gitu. Alhamdulillah, sekarang kami sudah bercerai. Terserah mereka mau kayak gimana ke depannya yang terpenting aku sudah terbebas dari neraka bernama rumah itu," imbuh Giana yang kini membuat pak sopir paham. Sebenarnya Giana tak perlu repot-repot menjelaskan, hanya saja ia sedang membutuhkan teman bicara agar kepalanya tak makin sakit karena meratapi nasibnya.
"Maaf ya, Neng. Bapak tadi nggak tau."
"Nggak papa kok, Pak. Hal itu wajar." Giana berusaha tersenyum ramah.
"Jadi sekarang kita mau ke mana, Mbak?"
"Em, bapak tau di mana banyak kos-kosan atau kontrakan nggak? Aku belum punya tempat tinggal soalnya," ucap Giana jujur. Beruntung ia tadi sempat meminta uang dari Herdan jadi uang itu bisa dijadikannya modal untuk mencari kontrakan dan biaya makannya selama mencari pekerjaan. Jumlahnya lumayan. Ada lima juta. Giana harap bisa bisa segera menemukan pekerjaan. Apa pun pekerjaannya, ia tak masalah. Yang penting halal saja.
"Kebetulan Bapak tau, Neng. Bapak anterin ke sana, ya?"
"Boleh, Pak. Makasih, ya."
Mobil taksi pun melaju kencang menuju tempat yang dimaksud.
*
*
*
Angel merebahkan tubuhnya di sofa. Dadanya naik turun. Tubuhnya sakit semua. Angel tak henti-hentinya mengumpat karena kesal dengan apa yang sudah Giana lakukan padanya.
"Tih, ambilin minum sana. Aku haus," titah Angel pada Ratih yang baru saja hendak mendudukkan bokongnya di sofa.
"Apa? Apa Mbak nggak salah? Mbak nyuruh aku?" Ratih menunjuk dirinya sendiri dengan mata membulat.
"Ya iyalah. Memangnya siapa lagi," jawab Angel ketus.
"Mbak, aku itu adik Kak Herdan lho, bukannya pembantu yang bisa Mbak suruh-suruh sesuka hati."
Angel berdecak. "Cuma ambilin minum doang kamu kok ribet banget sih. Memangnya aku nggak tau kalau kebutuhan kamu itu masih disokong kakakmu. Jadi lebih baik kamu nurut dari pada aku minta Herdan tidak lagi memberikan uang kepadamu," ucap Angel kesal.
Sontak saja, mata Ratih semakin membulat. Ia tidak menyangka kakak ipar yang ia sanjung-sanjung bisa bersikap seperti itu.
"Kak, liat, Mbak Angel ...."
"Udah sih, Tih. Cuma ambil air putih aja kok kamu cerewet banget." Jelas saja kata-kata Herdan membuat Ratih kesal.
"Ma," panggil Ratih meminta pembelaan.
"Udah, udah. Ambilkan saja sana. Kasian Angel. Dia pasti syok banget sama ulah Giana tadi. Duh, sepertinya tekanan darah Mama juga naik ini," ujar Rahma sambil memijat pelipisnya.
Melihat kakak dan ibunya sama-sama menyudutkannya, Ratih pun akhirnya terpaksa menurut. Ia berjalan sambil menghentakkan kakinya membuat Angel tersenyum puas.
*
*
*
Akhirnya Giana kini sudah memiliki tempat tinggal. Kontrakannya sejenis rumah susun yang terdiri atas lima lantai. Kamarnya ada di lantai tiga. Meskipun harus menggunakan tangga, Giana tak masalah. Ini jauh lebih baik daripada harus tinggal di rumah Herdan, pikirnya.
"Alhamdulillah. Akhirnya aku bisa istirahat juga," lirih Giana. Untuk sementara, tidurnya hanya beralaskan tikar. Kontrakan itu benar-benar kosong. Tak ada kasur maupun perabotan. Giana tak masalah sebab ia maklum karena harga kontrakan itu tergolong murah.
Menjelang malam, Giana merasakan perutnya lapar sekali. Memang sejak siang ia belum sempat makan apa pun.
"Duh, lapar banget. Makan apa ya?" gumam Giana seraya mengusap perutnya.
Karena tak ada makanan apa-apa di sana, Giana pun memutuskan keluar untuk mencari makanan.
Untuk pertama kali, Giana bisa bepergian dengan bebas tanpa ada yang menghalangi apalagi mengomeli. Giana bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya. Ia merasa senang sekali. Apalagi saat ia tiba di tempat penjual makanan kaki lima. Tak pernah ia melakukan hal ini sebelumnya. Bahkan sekadar untuk membeli makanan yang ia inginkan saja, ia tak pernah.
"Bang, sate kambingnya ada?" tanya Giana saat menghampiri penjual sate Madura.
"Ada, ada. Mau makan di sini apa bungkus?" Karena di kontrakan tidak ada peralatan makan, Giana pun memilih makan di sana.
"Makan di sini aja, Bang."
"Pakai lontong?"
"Pake, Bang. Eh, ada es juga ya?"
"Iya. Ada es jeruk peras, es teh, sama minuman sachet kayak gitu. Neng mau yang mana?"
"Es jeruk aja deh, Bang."
"Oke."
Tukang sate itu pun segera membakar sate pesanan Giana. Lalu ia meminta anak perempuannya membuatkan es untuk Giana. Giana tak henti-hentinya tersenyum. Rasanya senang sekali bisa melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan selama ini. Sejak lama, Giana ingin sekali seperti ini, jalan-jalan malam sambil berburu kuliner. Pasti rasanya menyenangkan.
Saat awal pindah ke Jakarta, Herdan memang pernah mengajaknya seperti itu. Namun, itu hanya beberapa kali saja sebab Rahma selalu saja mengomeli mereka kalau mereka makan di luar.
"Pemborosan. Jangan biasakan istrimu itu makan di luar. Nanti dia keenakan. Itu namanya pemborosan. Kalau mau makan itu, masak aja. Nggak usah banyak tingkah mau makan di luar. Kalau dia memang mau, pakai duit dia sendiri. Jangan pake duit kamu!" omel Rahma kala itu.
Akhirnya, sejak itu, Herdan tak pernah lagi mengajaknya makan di luar. Giana tersenyum miris mengingat masa lalunya yang jauh dari kata bahagia. Pernikahan yang ia pikir akan memberikannya kebahagiaan, justru luka nestapa yang ia rasakan.
"Sate kambingnya satu porsi ya, Jhon," ucap seorang laki-laki yang baru saja datang membuat Giana sontak menoleh.
"Pakai lontong apa nggak, Bos?"
"Pakai. Es jeruknya juga satu, ya. Seperti biasa."
"Siap, Bos. Laksanakan!" seru penjual sate sambil terkekeh.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
enak aja Giana di minta balikan lagi pas tau dia hamil, dan karena si Angel istri pilihan si Herdan belum hamil juga 😡
biar karma untuk kalian adalah tdk dianugerahi keturunan dan biar si Angel yg akhirnya Mandul beneran 😜😡
untung saja giana hamil setelah berpisah denganmu, karena anak gia pun males tinggal bersama keluarga toxic 🤪
baik hanya karena ada mau nya saja..