Setelah dikhianati sang kekasih, Embun pergi ke kota untuk membalas dendam. Dia berusaha merusak pernikahan mantan kekasihnya, dengan menjadi orang ketiga. Tapi rencanya gagal total saat Nathan, sang bos ditempatnya kerja tiba tiba menikahinya.
"Kenapa anda tiba-tiba memaksa menikahi saya?" Embun masih bingung saat dirinya dipaksa masuk ke dalam KUA.
"Agar kau tak lagi menjadi duri dalam pernikahan adikku," jawab Nathan datar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT PERJANJIAN
Nathan menunjukkan selembar kertas yang dia bawa dari rumah pada Navia dan Rama. Seharian ini, dia sibuk mempersiapkannya. Surat perjanjian yang dia buat khusus untuk Rama.
Baik Rama dan Navia, keduanya tak mengira jika Nathan sampai mengambil langkah seserius ini.
"Tanda tangani jika kau sudah selesai membaca," ujar Nathan sambil melirik Rama yang masih fokus membaca.
"Harus gitu kayak gini, Kak?" protes Navia. Dia sedikit keberatan dengan poin-poin yang dibuat Nathan diperjanjian tersebut. Salah satunya, Rama harus menceraikan Navia jika dia terbukti sekali lagi berselingkuh. Tak hanya harus menceraikan, tapi dia juga harus angkat kaki dari rumah. Dipecat tanpa pesangon, dan hak asuh anak ada pada Navia.
Terdengar mengerikan memang, tapi Rama tak berani protes. Karena protes sama halnya dengan mengakui jika dia tak bisa menjadi pria yang setia.
"Banget," jawab Nathan telak. "Kakak hanya ingin memastikan yang terbaik untukmu."
"Tapi ini sama saja Kakak maksain kemauan Kakak. Lagipula, ini rumah tanggaku, jadi Kakak jangan terlalu ikut campur."
Nathan gedek sama adiknya itu. Udah bodoh sejak dulu, makin bodoh lagi karena cinta. Pengen sekali dia pites sampai jadi kecil lalu masukin kedalam kantong biar aman. "Kau belum lupakan, kau sendiri yang telah meminta bantuanku untuk memisahkan Rama dengan Embun. Itu artinya, kau yang telah membuatku ikut campur, jadi bukan salahku dan bukan mauku untuk ikut campur. Lagian, buat apa kau cemas. Bukankah kau yakin jika suamimu itu pria baik dan setia. Jadi untuk apa takut, benarkan Rama?" Nathan menatap Rama sinis sambil tersenyum mengejek.
Rama hanya menanggapi pertanyaan itu dengan senyuman.
Mama Salma yang ada diatas ranjang terus memperhatikan putra putrinya. Dia setuju dengan yang dilakuan Nathan, mungkin dengan begini, resiko perselingkuhan akan terjadi kembali menjadi lebih kecil.
"Astaga, pernikahan macam apa ini?" gerutu Navia.
"Tidak masalah sayang, aku tidak keberatan, aku akan menandatanganinya," ujar Rama sambil menggenggam tangan Navia. Meyakinkan istrinya jika semua akan baik-baik saja. Meski dia sendiri sedikit ketar ketir.
"Baiklah aku setuju," ujar Navia pada akhirnya. "Tapi tak adil jika Mas Rama saja. Aku juga akan membuatkan perjanjian yang sama untuk Embun."
"Gak usah ikut campur urusan rumah tangga Kakak. Embun bukan tukang selingkuh kayak suamimu," potong Nathan cepat.
Navia tergelak mendengar ucapan kakaknya. "Ok, ok, bukan tukang selingkuh, tapi PELAKOR," tekan Navia.
Nathan membuang nafas berat sambil memijit pelipisnya. Navia itu keras kepala, mungkin ada baiknya dia iyakan saja. Lagipula, dia sangat percaya pada Embun. "Baiklah kakak setuju. Lagipula untuk apa takut, Embun itu wanita setia, sangat menjaga komitmen, tak mungkin dia selingkuh." 10 tahun menunggu Rama, sudah menjadi bukti jika Embun seorang yang setia.
"Dih, segitunya belain si Embun," Navia terlihat muak.
"Karena dia istriku," sahut Nathan.
"Kamu mencintai Embun?" Pertanyaan Rama itu langsung membuat semua orang menatap kearahnya, tak terkecuali Bu Salma.
"Bukan urusan kamu," sahut Navia dan Nathan kompak.
Rama menghela nafas. Sesungguhnya dia hannya ingin memastikan. Selain cinta yang masih ada untuk Embun, rasa bersalah juga ada dihatinya. Mungkin jika ada pria yang tulus mencintai Embun, rasa bersalahnya akan berkurang, meski masih ada sedikit rasa tak terima jika Embun menjadi milik pria lain.
"Udah, gak usah ngurusin perasaan orang lain, buruan tanda tangan." Tuh kan Navia jadi sebel gara-gara Rama masih membahas Embun.
"Aku mencinta Embun. Apa kau puas dengan jawabanku," ucap Nathan yakin.
Rama bisa melihat kesungguhan dimata Nathan. Mungkin memang Nathan pria yang tepat untuk Embun. Ini adalah konsekuensi yang dia dapat karena dulu melepaskan Embun, wanita yang masih dia cintai.
"Kalau semua sudah setuju, aku akan tanda tangani surat perjanjian ini." Setelah mendapatkan jawaban iya dari seluruhnya, Rama mengambil pena diatas meja lalu membubuhkan tanda tangan diatas materai. Setelah Rama, giliran Nathan dan Navia juga ikut membubuhkan tanda tangan disana.
Bu Salma terlihat lega, meski tak sepenuhnya. Tapi setidakmya, sudah ada penyelesaiian untuk masalah ini. Semoga kedepannya tak akan terulang lagi.
Saat Rama, Navia dan suster Ida pulang, tinggal Nathan yang menjaga Bu Salma. Sejak tadi dia kepikiran Embun, sedang apa wanita itu dirumah. Mungkinkah sudah tidur? Kangen, itu yang Nathan rasakan saat ini.
Melihat Mamanya sudah tidur, Nathan mengambil ponsel lalu menghubungi Embun melalui panggilan video. Sekarang sudah pukul 11 malam, semoga saja Embun belum tidur.
Diseberang sana, Embun kegirangan melihat ada video call dari Nathan. Sesungguhnya, sejak tadi dia merindukan pria itu. Tapi gengsi untuk menelepon lebih dulu.
"Hai, Kak," sapa Embun sambil tersenyum. Senyuman yang mampu membuat hati Nathan berdebar. Duduk diatas ranjang dengan memakai piyama sederhana dengan rambut terurai, terlihat sangat cantik.
"Belum tidur?"
"Gak bisa tidur, tadikan jam 7 baru bangun." Nathan tersenyum melihat Embun yang tampak frustasi karena tak bisa tidur. Ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan terlihat menggemaskan dimata seorang Nathan. Seperti inikah jatuh cinta? Semua terasa indah, bahkan penampilan Embun yang kayak singa sore tadi, masih terlihat cantik dimata Nathan. "Bagaimana kondisi, Mama?"
"Tekanan darahnya sudah mulai stabil."
"Pengen kesana."
"Pengen ketemu aku?" goda Nathan sambil menahan tawa.
"Ish apaan sih, pengen ikut jagain Mama," Embun memutar kedua bola matanya jengah. Dia mengambil sebuah boneka beruang lalu memeluknya, membuat Nathan seketika pengen cosplay jadi boneka itu.
"Kangen," gumam Nathan.
"Hah, apa Kak, kangen?"
Nathan langsung salah tingkah saat Embun mendengar gumamam lirihnya barusah. Bodoh, harusnya dia gak sampai keceplosan, bikin malu aja.
"Kamu udah makan?" Tiba-tiba saja, pertanyaan konyol itu keluar dari bibir Nathan.
"Kan tadi udah makan sama, Kakak."
"Oh...i-iya, aku lupa." Wajah Nathan merah padam menyadari kebodohannya barusan. Cinta tak hanya buta dan tuli, tapi juga bikin orang jadi bodoh. Tadi dia mengatai Navia, tapi ternyata, dirinya juga sama.
"Kak Nathan, kok wajahnya merah?" tanya Embun sambil cekikikan.
"Me-merah, masaksih?" Nathan tertawa absurd untuk mengurasi kegugupannya.
"Kakak di kamar ya ini?" Embun baru memperhatikan sekitaran Nathan. "Apa gak gangguin istirahatnya, Mama?"
"Mama tidur, kayaknya enggak deh." Tanpa Nathan tahu, sebenarnya Bu Salma sedang tidak tidur saat ini. Dan wanita paruh baya itu, bisa mendengar obrolan mereka. Menyimak agar tahu sebenarnya seperti apa hubungan Nathan dan Embun. Hanya sekedar terpaksa menikah, atau sungguh-sungguh cinta.
"Kak, Mama masih marah ya sama aku?" Raut wajah Embun seketika berubah, yang tadinya sumringah, sekarang jadi galau.
"Enggak, Mama udah gak marah," bohong Nathan. Dia melihat kearah mamanya yang sedang tidur miring membelakanginya. Sebenarnya dia juga tak tahu apakah mamanya masih marah atau tidak. "Ya udah buruan tidur gih."
"Gak ngantuk," ujar Embun sambil membuang nafas kasar. Entah jam berapa nanti dia akan tidur, padahal besok dia harus kerja. Karena sama-sama gak ngantuk, keduanya terus mengobrol hingga dini hari dan baru berhenti saat baterai ponsel Nathan habis.