Diana, gadis manis yang harus merasakan pahit manisnya kehidupan. Setelah ayahnya meninggal kehidupan Diana berubah 180 derajat, mampukah Diana bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aprilli_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Desa L
Diana merasa risih dengan tas yang berada tepat di depan kakinya, sedangkan pria dewasa yang berada di depannya hanya fokus pada buku yang berada di genggaman tangannya.
"Menyebalkan sekali, tidak tahu apa kalau tas itu membuat kakiku kram menahan tas yang menghimpit kakiku!"
Celoteh Diana dalam hati, sedangkan pria didepannya hanya tersenyum tipis melihat Diana yang tidak nyaman karena ulahnya.
"Lucu sekali anak itu, kenapa dia tidak mencoba menegurku, padahal kalau dia menegur aku akan memindahkan tas ku."
Diana mencoba untuk melirik pria didepannya, pada saat bersamaan netra mereka saling memandang.
"Astaghfirullah udah tua masih ngelirik anak kecil lagi! "
Diana memaki pria yang berumur 22 tahun tersebut sedangkan pria tersebut menutup bukunya dan memakai kacamata hitamnya untuk berkamuflase.
"Nah pemirsa orang buta mau lewat, hihihi."
Diana mengomentari setiap gerak gerik pria tersebut di dalam hatinya, pria itu melihat Diana dibalik kacamata hitamnya. Di lihatnya Diana menahan tawa dan terkadang melirik kearahnya.
Pria tersebut tahu jika Diana mencoba menertawakannya karena memakai kacamata hitam, yang mana setiap orang memakai kacamata hitam terkadang menyandang tuna netra.
Pria tersebut tersenyum tipis, sangat tipis sehingga Diana tidak menyadari jika pria yang ia maki dalam hatinya melihat semua gerak geriknya.
"Anak itu manis sekali, sangat disayangkan dia masih belia."
Beberapa saat kemudian Diana merasa matanya sangat berat, beberapa menit kemudian Diana tertidur.
Kepalanya menyandar di jendela, dengan mulut sedikit terbuka tanpa Diana sadari air liur akan melewati pipinya. Pria yang ada di depannya menahan tawa sekuat mungkin agar tidak mengganggu tidur Diana
Melihat situasi aman, pria itu mengambil sesuatu di dalam kantongnya dan ternyata ia mengambil selembar tisu lalu tisu tersebut ia letakkan di pipi Diana yang menempel pada jendela.
Perlahan namun pasti ia mencoba tidak mengusik tidur Diana, Andi disebelah Diana pun ikut tertidur di bahu Diana.
Merasakan adanya gerakan, Diana mencoba membuka matanya walau samar namun Diana tahu jika pria tersebut menaruh sesuatu di sela pipinya, karena kantuk yang menyerang ia tidak mampu membuka matanya lalu tertidur lagi.
Kereta akan segera sampai di desa S, pria tersebut bergegas untuk turun dari kereta. Sebelum turun pria tersebut menatap lekat wajah polos dan berkulit hitam manis itu.
"Semoga kita berjumpa di lain waktu Nona, andai kamu seumuran denganku mungkin aku akan mengajak kamu berkenalan, sayangnya umur kamu mungkin masih 9 atau 10 tahun. Hahahaha apa aku lahirnya terlalu cepat!"
Gumam pria tersebut dalam hati, lalu ia menggelengkan kepalanya tidak menyangka jika ia terpikat oleh gadis belia yang baru saja ia temui hari ini.
Klakson kereta telah berbunyi, kereta pun berhenti di Stasiun. Pria tersebut bergegas mengambil tasnya lalu menaruh di pundaknya.
Tanpa menoleh kebelakang lagi pria tersebut turun dari kereta, Diana yang masih terlelap dari tidurnya merasakan pegal di lehernya lalu ia membuka matanya.
Pada saat membuka matanya ia tidak melihat pria dewasa itu lagi dan Diana merasa lega karena kakinya tidak lagi terhimpit tas ransel yang dibawa oleh pria itu.
Saat Diana melihat keluar jendela tanpa sengaja netra mereka bertabrakan, pria misterius itu melihat Diana untuk terakhir kalinya sedangkan Diana menatap dengan tanda tanya di benaknya.
"Kenapa melihatku seperti itu, membuatku takut sekali!"
Diana teringat kejadian saat ia kecil dulu, dimana ia dipanggil oleh tetangganya yang duda lalu ia di telentangkan diatas kasur.
Karena teringat hal seperti itu membuatnya bergidik ngeri dan mencoba untuk biasa-biasa saja walau ia menyimpan rasa trauma itu dan sebisa mungkin tidak menunjukkan gelagat aneh.
Kereta yang semula berhenti akhirnya melajukan rodanya lagi menuju Stasiun berikutnya, Diana yang merasa kepalanya sedikit pusing memilih untuk memejamkan matanya lagi.
Saat terlelap Diana merasa terusik dengan kegaduhan di belakangnya, membuka matanya secara perlahan Diana melihat Bu Sari berdiri dan berbicara kepada Kondektur kereta api.
"Pak untuk ke Stasiun yang berada di desa L melewati berapa Stasiun lagi ya?"
Bu Sari bertanya kepada Kondektur tersebut sambil menyodorkan tiket yang akan dicek olehnya.
"Oh Stasiun di desa L ya Bu, setelah ini kita berhenti di Stasiun desa K, Stasiun berikutnya baru berhenti di desa L."
Tiket yang telah beliau cek, beliau kembalikan lagi kepada Bu Sari dan Bu Sari mengucapkan terimakasih kepada Kondektur tersebut.
Diana yang mendengar percakapan Bu Sari dan Kondektur tersebut merasa lega karena akan sampai ditempat tujuan.
Setelah melewati Stasiun di desa K, Bu Sari menyuruh Diana dan Andi untuk bersiap-siap karena mereka akan berhenti di Stasiun L.
Diana merasakan jantungnya bertabuh kencang seperti genderang yang akan mulai berperang, dengan menggenggam erat ranselnya Diana berdoa dalam hati agar tidak menyusahkan orang tuanya.
"Semoga aku betah tinggal disini walaupun hanya beberapa hari, apalagi aku tidak terlalu akrab dengan semua keponakan kakek!"
Keluh Diana didalam hatinya, Diana termasuk anak yang ambivert apalagi berada dilingkungan yang baru, sebisa mungkin Diana mencoba untuk berbaur dan beradaptasi dengan sekitarnya.
Suara lantang klakson kereta api membuyarkan lamunannya lalu Pak Ahmad beserta anak istrinya bergegas keluar dari kereta, Diana memilih berjalan di belakang orang tuanya dan mengikuti setiap langkah orang tuanya.
Dengan berbekal arahan melalui seluler yang digunakan oleh Bu Sari, Pak Ahmad memandu mereka menuju kerumah Bibi Pak Ahmad.
"Mas, kata Sovia (Ipar Pak Ahmad) dari Stasiun kita ketimur, setelah itu melewati persawahan,"
Bu Sari membaca pesan dari Adik iparnya itu dan memberitahukan kepada Pak Ahmad apa saja yang di sampaikan oleh Adik iparnya.
"Coba kita ke timur, semisal ada orang yang bisa kita tanyakan, lebih baik bertanya kepada warga sekitar saja jadi kita langsung diantar ke lokasi."
Bu Sari menyetujui usulan Pak Ahmad, dari Stasiun mereka berjalan ke arah timur, dan dilihatnya ada persawahan yang dimaksudkan oleh Tante Sovia.
Sepanjang menyusuri persawahan tersebut, ada orang yang lewat di depan Pak Ahmad, tanpa berpikir panjang Pak Ahmad menghampiri orang tersebut.
"Assalamualaikum Pak,"
Pria paruh baya yang di hampiri oleh Pak Ahmad menoleh kearahnya.
"Waalaikumsalam, ada yang bisa saya bantu Nak?"
Dengan sopan Pak Ahmad bertanya alamat rumah kepada Kakek tersebut.
"Saya ingin bertanya Pak, rumahnya Bu Rukmini disebelah mana ya?"
Kakek tersebut mencoba mengingat-ingat siapa yang dimaksudkan oleh Pak Ahmad.
"Rukmini?"
Mendengar pertanyaan tersebut Pak Ahmad menjelaskan
"Iya Pak, Bu Rukmini yang akan menikahkan anaknya yang bernama Fitri,"
Setelah mendengar penjelasan Pak Ahmad, Kakek tersebut ingat.
"Oh Rukmini istrinya Subari, mari saya antar Nak,"
Pak Ahmad berterimakasih kepada Kakek tersebut karena dengan senang hati akan mengantar mereka dirumah Bibi Rukmini.
Sepanjang perjalanan Diana merasakan suasana yang menenangkan, banyaknya tumbuhan, bahkan padi pun melambai dengan irama yang lembut karena deburan angin yang menerpa dan air sungai yang mengalir begitu derasnya membuat Diana menikmati perjalananya.
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara sound system yang memekakkan telinga pertanda mereka akan sampai dirumah yang akan mereka tuju.
Setelah sampai ditujuan Pak Ahmad mengucapakan terimakasih kepada pria paruh baya yang bersedia mengantar mereka sampai kerumah Bibi Pak Ahmad.
Salah satu dari Sinoman (orang yang membantu orang lain yang punya hajat) menghampiri Pak Ahmad.
"Mencari siapa Pak?"
Tanya Ibu-ibu yang berbadan gempal.
"Saya mau mencari Bibi Rukmini Bu, apa benar rumahnya disini?"
Ibu-ibu tersebut mengangguk dan berkata
"Oh iya benar Pak, silahkan masuk, rumahnya ada disebelah sana,"
Ibu berbadan gempal itu menunjukkan arah rumah Bibi Rukmini kepada Pak Ahmad.
"Terimakasih Bu."
Saat Pak Ahmad akan melangkah menuju rumah yang akan ia singgahi tiba-tiba Bibi Rukmini keluar dari dapur rumah tetangganya.
"Loh Ahmad, kamu sudah datang Nak?"
Pak Ahmad beserta anak istrinya menghampiri Bibi Rukmini.
"Iya Bi sengaja datang lebih awal Bi,"
Pak Ahmad mencium punggung tangan Bibinya, Bu Sari dan anak-anaknya mengikuti apa yang Pak Ahmad lakukan.
"Ini Diana ya?"
Saat Diana mencium punggung tangan Bibi Rukmini.
"Iya Bi,"
"Manis loh anak kamu Mad, kamu kelas berapa Na?"
Dengan malu-malu Diana menjawab,
"Kelas 5 SD Nek,"
Lalu Diana berlari kearah Bu Sari
"Ini Andi ya Mad?"
Tanya Bibi Rukmini kepada Pak Ahmad
"Iya Bi,"
Saat menatap lekat Andi Bibi Rukmini tersenyum penuh arti.
"Tambah besar, tambah mirip kamu Mad,"
Hati Pak Ahmad merasa nyeri bak tertikam ribuan anak panah saat mendengar penuturan Bibi Rukmini.
Pak Ahmad merasakan sesak di dadanya kala mengingat perlakuan beliau terhadap Andi, Bu Sari hanya diam seribu bahasa tanpa berkomentar apapun.
"Ayo kalian Bibi antar kerumah Bibi,"
Pak Ahmad dan keluarganya mengikuti langkah kaki Bibi Rukmini, saat sampai dirumah minimalis itu Pak Ahmad masuk kedalam diikuti anak istrinya.
Bibi Rukmini menggelar tikar diruang tamu yang sempit itu, lalu Pak Ahmad duduk diatas tikar tersebut.
"Kalian tidur dikamar apa disini saja?"
Tanya Bibi Rukmini kepada Pak Ahmad dan Bu Sari.
"Disini saja Bi, anak-anak tidak terbiasa tidur dilingkungan baru, khawatirnya nanti nangis,"
Bibi Rukmini tidak tersinggung dengan penolakan Bu Sari, justru beliau menyadari jika Pak Ahmad dan keluarganya baru pertama kalinya mengunjungi Bibi Rukmini.
"Iya Bibi paham kok, ya sudah kalian istirahat dulu sebentar, Bibi siapkan makan dulu ya."
Bibi Rukmini kembali lagi di tempat para Sinoman dan menyiapkan makanan untuk Pak Ahmad dan keluarganya.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya