Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Janji Arbian.
Sesampainya di rumah aku tidak langsung masuk kamar. Aku ingin membahas hal yang tadi di bicarakan ibu mertua.
Aku duduk di sofa menunggu Arbian yang masih memasukkan mobil ke garasi. Begitu muncul diambang pintu Arbian menyipitkan matanya ketika melihat sosokku yang duduk di atas sofa.
"Ada apa Ra? Kirain sudah masuk ke kamarmu."
"Aku mau bicara, Bi," ucapku serius. Begitulah, kami saling menyebut nama bila berdua di rumah. Di muka umum kami memanggil abang adek.
"Soal apa?" sahutnya acuh. Lalu menghenyakkan bokongnya di sofa di seberangku.
"Perkataan Inang tadi." Nada suaraku naik satu oktaf. Sebal melihat sikapnya yang tidak kepikiran dengan ucapan ibu mertua. Entah dia lupa atau sengaja berlagak pilon.
"Gak usah diambil serius. Nanti juga Mama lupa." sahutnya enteng.
"Apakah semuanya kamu anggap permainan Bi?" seruku makin kesal.
"Terus aku harus bilang apa?" jawabnya bodoh. Astaga! Emosiku sudah naik ke ubun-ubun karena sikapnya yang meremehkan segala sesuatu.
"Harusnya kamu cari solusi biar masalah kita tidak semakin berlarut-larut. Kita harus bercerai dan menikahlah dengan Gladys. Supaya impian Inang terpenuhi. Bukan seperti ini ambil nyamannya saja!" teriakku lantang. Toh cuma ada kami berdua di rumah ini. Rumah kami dengan para tetangga agak berjarak. Tidak bakalan ada yang menguping.
Sedang Bastian sudah pulang ke rumahnya.
"Gila kamu!" serunya spontan.
"Jadi maumu kita begini terus, gitu? Sampai kapan Bi. Perjanjian kita cuma enam bulan. Kita akan bercerai. Tapi ini sudah satu tahun. Kamu lupa segalanya! Kamu memasungku di rumah ini dengan pandangan kalau kita adalah keluarga harmonis. Nyatanya kita adalah dua orang asing," ucapku meluapkan amarah.
"Hem, jadi kamu ingin aku menyentuhmu, ya?" Kelopak mata Arbian menyipit. Itu adalah ekspresi yang sangat aku benci. Pandangan meremehkan seseorang menurutku.
"Tidak sudi. Aku hanya ingin kita jujur pada semuanya. Mengakhiri permainan ini." tandasku.
"Baiklah kalau itu maumu. Aku akan bicarakan ini sama keluargaku." ucapnya lugas.
Apa aku tidak salah dengar ya. Atau Arbian tidak salah ucap kah? Dia mau jujur mengaku, perihal pernikahan kami katanya. Dia sudah siap dengan semuanya? Menanggung akibat dari kebohongannya selama ini. Eh, kebohongan kami. Karena aku jelas turut membantunya walaupun posisiku karena terpaksa. Aku ragu dia berkata serius. Hanya untuk menghindari kemarahanku saja.
"Oke, karena memang itulah yang terbaik." ucapku. Aku merasakan kilatan tatapannya menyambarku sekilas.
"Sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk berpisah."
"Sepertinya lebih cepat lebih baik untuk semuanya." sahutku datar. Salahkah ucapanku?
Secara logika apa yang barusan aku sebut sudah pas 'kan. Aku terbebas darinya dia juga pada akhirnya bisa menikahi Gladys. Tidak lagi main kucing-kucingan. Arbian cukup bicara jujur kalau pernikahan kami tidak bisa dilanjutkan lagi. Titik.
Andai kenyataannya memang bisa segampang itu. Tidak akan ada masalah. Mungkin aku dan Arbian sudah bercerai. Karena kemarin itu aku sudah sepakat diceraikan setelah enam bulan. Nyatanya, setahun sudah berlalu kami belum juga bercerai. Entah Arbi lupa atau merasa nyaman seperti ini, aku tidak tau.
Ketika perbuatannya terendus dia panik dan ingat akan perjanjian pra nikah itu. Apakah aku nantinya akan terseret juga dalam kasus ini? Entahlah. Firasatku berkata akan terjadi gelombang tsunami nantinya.
"Tapi tunggu bulan depan, setelah acara ulang tahun penikahan Mama dan Bapak." pintanya. Aku menghempaskan nafas kesal. Lagi-lagi dia menunda. Tapi baiklah, tidak ada salahnya memberinya waktu. Semoga saja dia ingat ucapannya itu.
"Baik, aku akan tunggu. Semoga kamu menepati janji itu." Aku langsung berdiri dan menuju kamarku.
Keesokan harinya aku dikejutkan suara di pintu kamarku. Arbi mengetuk dan memanggil namaku.
Astaga, aku kesiangan! Semalam aku memang begadang karena menyelesaikan beberapa sketsa. Pagelaran fashion show tinggal menunggu hari saja. Aku yang di tunjuk menjadi salah satu tim juri harus mempersiapkan beberapa desain contoh.
Aku segera turun dari tempat tidur. Membuka pintu kamar lebar-lebar.
"Ya ampun telat bangun, Ra? Ini sudah siang," beliaknya heran. Aku tertawa malu karena kesiangan. Arbi sudah rapi dan hendak pergi ke kantor.
"Ini, sudah saatnya kamu pegang kartu ini." Arbian menyodorkan sebuah kartu padaku. Ternyata kartu Atm salah satu bank di kota ini.
Kartu yang berisi simpanan uang selama setahun ini jadi istrinya. Sesuai dengan perkataannya waktu itu akan memberikan bayaran padaku. Meski dia tidak pernah menyebut besarannya. Tapi selama ini aku selalu menolaknya. Sehingga baru saat ini Arbi menyerahkannya padaku.
"Sepertinya sudah kamu persiapkan semuanya." ucapku lalu meraih kartu itu.
"Setidaknya aku menepati janjiku."
"Hem."
Arbian mendelik saat mendengar sahutanku. Aku diam saja lalu dia pamit mau pergi.
Aku menatap kartu ditanganku. Akhirnya semuanya akan berakhir. Aku akan terbebas kembali, menjadi Rania tanpa ikatan apa-apa. Rasanya aku tidak sabar menunggu hari itu akan tiba.
Mendadak bayangan wajah ibu mertua dan kedua orang tuaku melintas di benakku. Aku membayangkan kemungkinan terburuk akibat dari perceraianku nantinya.
Untuk kedua orang tuaku, mungkin akan mudah menjelaskannya. sekalipun menyakitkan bagi mereka aku akan memohon pengertian mereka.
Tentang keluarga mertua, biarlah itu urusan Arbian. Aku sudah lelah menjaga perasaan mereka.
***
Hari itu, tiba juga pagelaran fashion show yang sudah digadang-gadangkan sebulan terakhir ini. Segala persiapan sudah kelar dan hari inilah puncaknya.
Satu persatu aku memerhatikan para finalis yang bergaya di catwalk. Penampilan mereka rata-rata membuat mata ini sulit untuk menentukan mana yang paling baik. Baik kostum juga cara berjalan mereka di panggung. Ekspresi, serta tata rias apakah seirama dengan cara berjalannya. Semua peserta berusaha menampilkan yang terbaik.
Rasanya sulit untuk menentukan pilihan.
Ketika acara telah usai, badan ini terasa lelah nian. Hampir seharian aku berada di gedung ini. Aku menyusun berkas-berkas yang berserakan. Berkas nilai dari sejumlah peserta. Tadi tim juri sempat bingung saat rapat. Menentukan siapa sang juara. Karena selisih nilainya beda tipis. Tapi syukurlah akhirnya bisa memutuskan siapa yang terbaik meski berlangsung alot.
Sekitar pukul sepuluh malam, semuanya beres. Tinggal mau pulang saja. Ntar sampe rumah langsung tidur. Bayangan tempat tidur yang empuk karena lelah makin menggoda hingga aku ingin lekas pulang.
Bergegas aku menuju parkiran. Tapi sial kenapa motorku gak mau hidup. Berkali-kali kucoba mengulang. Astaga, motornya ngadat lagi. Aku teringat minggu kemarin sepeda motorku ini sudah berulah. Aku sudah berniat mau bawa ke bengkel. Tapi gak pernah kesampaian karena sibuk.
Sungguh sial, malam ini aku menuai buah dari kelalaianku. Mana udah makin larut malam ini. Mau nelpon Arbian aku segan. Kucoba lagi memutar kunci tapi sepeda motorku tidak juga mau hidup.
"Ada yang bisa saya bantu?" sebuah suara tiba-tiba menyapaku dari arah belakang. Sontak aku terkejut dan merasa takut.***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor