Embun tak pernah menyangka bahwa kejutan makan malam romantis yang dipersembahkan oleh sang suami di malam pertama pernikahan, akan menjadi kejutan paling menyakitkan sepanjang hidupnya.
Di restoran mewah nan romantis itu, Aby mengutarakan keinginannya untuk bercerai sekaligus mengenalkan kekasih lamanya.
"Aku terpaksa menerima permintaan ayah menggantikan Kak Galang menikahi kamu demi menjaga nama baik keluarga." -Aby
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Akhiri Saja
"Maaf, Mbun."
Hanya kata itu yang dapat terucap oleh Aby. Lebam di wajahnya mungkin akan hilang dalam beberapa hari. Namun, rasa sakit di hati Embun sudah pasti membutuhkan waktu yang lama dan sulit untuk disembuhkan.
Aby meraih selembar handuk kecil dan mengompres lebam di wajahnya dengan es.
Sementara Embun masih asyik dengan buku bacaannya. Ia sesekali melirik suaminya yang sedang mengusap lebam di wajah sambil meringis. Wanita itu terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu. Lalu, segera bangkit dan duduk di ujung sofa.
"Sini aku bantu," tawarnya seraya mengulurkan tangan.
Aby melirik Embun. "Nggak apa-apa. Aku bisa, kok."
"Aku bantu aja sini." Embun meraih handuk dari tangan Aby, lalu membantu mengusap bagian wajahnya.
"Auh, sakit, Mbun!" ringis Aby ketika Embun menekan es berbalut handuk ke permukaan kulitnya.
"Memang sakit. Makanya jangan buat keributan."
"Tapi jangan tekan kuat-kuat juga! Ini sakit loh."
Embun menghembuskan napas panjang ketika Aby terus bergerak mundur. Membuat wanita itu kesulitan mengompres wajahnya dengan baik.
"Jangan mundur-mundur terus!" Embun menggeser posisi ke ujung sofa, memberi isyarat agar Aby membaringkan kepala di pangkuannya. "Ayo, sini!"
Aby menatap Embun penuh keraguan. "Yakin?"
"Aku akan hitungan sampai ti ...." Belum selesai kalimat Embun, sudah dipotong lebih dulu oleh Aby.
"Iya-iya, aku mau!" ujarnya sambil menaikkan dua jari. "Tapi jangan tekan kuat-kuat, ya."
"Hem ...."
Akhirnya, Aby merebahkan kepala di pangkuan Embun. Untuk pertama kali ia merasakan sikap istrinya yang lembut. Hal yang membuat jantungnya terpompa lebih cepat. Aby bahkan tak dapat mengalihkan pandangan dari wajah istrinya itu. Semakin ditatap, Embun terlihat semakin manis walau tak ada riasan di wajahnya.
"Kalau begini rasanya dunia milik berdua. Apa kabar titanoboa? Please jangan bangun!" bujuknya kepada monster kecil yang bersembunyi di dalam celana.
Kebisuan menemani selama beberapa saat. Embun terfokus dengan wajah suaminya, sementara Aby, entah pikirannya sudah terbang ke mana. Menyesap aroma wangi dari tubuh Embun saja sudah membuatnya hilang akal.
"Kamu kapan berangkat?" tanya Aby, bermaksud memecah kebekuan di antara mereka.
"Sabtu besok."
"Oh ... terus yang jadi pembina siapa?"
Sorot mata Aby langsung mengarah ke wajah Embun setelah menyelesaikan kalimatnya. Ia ingin tahu seperti apa reaksi sang istri dan apa jawabannya. Apakah Embun akan berbohong? Ataukah hanya menyebut sebagian nama pembina dan melewatkan nama Dewa.
"Kak Haikal, Kak Reina, Kak Nindy sama Kak Dewa," jawab Embun.
Aby menarik napas dalam. Ia kenal dua dari empat nama yang disebut Embun. Haikal dulu seangkatan dengannya, dan Dewa adalah senior mereka. Ketiganya pernah beberapa kali melakukan kegiatan alam bersama semasa kuliah dulu.
"Oh, jadi Dewa akan ikut dalam rombongan itu, ya?"
"Iya."
"Kamu lumayan dekat dengan Dewa, ya?" Pertanyaan itu membuat Embun menatap ke dalam mata suaminya.
"Biasa aja," kata Embun dengan tangan yang masih mengompres lebam di wajah Aby. Menurutnya pertemanannya dengan Dewa memang biasa saja. Mereka bisa sedekat sekarang hanya karena bertetangga sejak kecil.
"Tapi sepertinya dia ada rasa sama kamu," ujar Aby. Ia memiliki keyakinan bahwa rekan kerja sekaligus rivalnya itu memiliki perasaan berlebih terhadap Embun.
"Memangnya kenapa kalau dia ada rasa? Kamu keberatan?"
Aby mengatupkan bibir rapat-rapat. Diam adalah langkah paling aman. Salah bicara sedikit saja akan menjadi bumerang untuknya. Embun selalu punya kalimat ampuh untuk membungkamnya.
.
.
.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi itu Embun sudah berdiri di teras rumah dengan membawa tas ransel. Ia baru saja berpamitan dengan mertuanya sebelum berangkat.
"Sudah siap?" Kemunculan Aby dari belakang membuat Embun menoleh.
"Sudah."
"Yuk, aku antar. Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Aby hendak memastikan.
"Nggak ada, kok."
"Pakaian hangat, snack, minuman, kupluk, senter, kompas, kaus kaki?" tanya Aby lagi, disusul dengan anggukan kepala oleh Embun.
"Ada semua." Embun sedikit terheran dengan sikap suaminya. Beberapa hari ini Aby terkesan lebih perhatian. Bahkan semalam pulang dengan membawakan makanan.
Mobil pun melaju meninggalkan halaman asri itu. Baru lima menit mobil meninggalkan rumah, sudah terdengar deringan ponsel beberapa kali. Namun, Aby mengabaikan seolah tak mendengar.
Embun melirik suaminya. Ia dapat menebak bahwa orang yang menghubungi Aby tak lain adalah Vania. Bahkan saat melewati kompleks perumahan Vania, Aby sama sekali tak menoleh.
Hingga akhirnya, mereka tiba di kampus. Embun segera turun dan mengeluarkan barang bawaannya dari mobil. Tidak begitu jauh dari mereka, beberapa bus sudah terparkir. Aby dapat melihat Dewa berdiri di samping salah satu bus bersama beberapa pria lain.
"Kamu di bus yang mana?" tanya Aby dengan tatapan lurus ke depan.
"Di bus merpati."
Kelopak mata Aby melebar mendengar jawaban Embun. Bukankah bus yang dimaksud Embun adalah bus tempat Dewa sedang berdiri?
"Kamu satu bus sama Dewa?" tanyanya dengan sorot mata penuh selidik.
"Nggak tahu," jawab Embun santai.
Aby menghela napas panjang. Ia benar-benar merasa harus memasang sikap waspada. Apa lagi, Embun akan bersama Dewa selama dua hari penuh. Aby bahkan melupakan Vania yang juga akan ikut dalam rombongan mereka.
"Aku berangkat, ya. Makasih sudah antar."
"Embun, tunggu!" Aby menarik pergelangan tangan istrinya, membuat langkah Embun terhenti. "Hati-hati. Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku."
Embun hanya menyahut dengan anggukan kepala. Baru saja akan melangkah, sudah terdengar suara seorang wanita memanggil nama suaminya. Membuat keduanya menoleh bersamaan.
"Aku perlu bicara sama kamu, sekarang!" ucap Vania, menatap Aby dan Embun dengan ekspresi kesal.
Aby melirik Embun. Sebenarnya, ia masih punya banyak waktu luang karena ini akhir pekan. Tetapi berbicara dengan Vania saat ini bukanlah waktu yang tepat. Apa lagi, Dewa sedang menatap ke arah mereka.
"Van, masih banyak waktu untuk bicara. Bukannya sebentar lagi kalian mau berangkat, ya?"
Tak terima dengan sikap Aby yang belakangan ini terkesan mengabaikan dirinya, Vania mendengkus marah.
"Aku nggak peduli!" ujarnya hampir berteriak. "Kamu benar-benar berubah, Aby. Kamu bukan lagi Aby yang aku kenal dulu. Bahkan kamu nggak menjawab telepon dari aku. Dan semua ini karena perempuan itu!" Vania menunjuk ke arah Embun.
Melihat kemarahan Vania yang meletup-letup, Aby memilih menyembunyikan Embun di belakang punggungnya.
"Sekarang kamu pilih aku atau Embun!"
Aby terdiam beberapa saat, dan Embun dapat merasakan erat genggaman suaminya itu.
Aby menarik napas dalam sebelum berkata,
"Maaf, Van. Aku rasa hubungan kita udah nggak sehat. Akan lebih baik kalau kita akhiri saja."
Mendadak bola mata Vania dipenuhi cairan bening. Ucapan Aby seperti sambaran petir baginya.
............
benar knp hrs nunggu 6 bln klo hrs cerai lebih baik skrng sama saja mlh buang2 wkt dan energi, bersyukur Embun ga oon🤭