Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Alung
"Lung, kamu masih single kan?" tanya Donga yang sedang menghadiri acara temu kangen perkumpulan sesama suku Batak.
"Masih, Tulang. Kenapa?"
"Aku ada itu anak tiri. Kalau ada waktu, datanglah kerumah."
"Minggu depan, Tulang."
Alung mengatakannya untuk menghormati undangan Donga karena sebenarnya ia tak tertarik. Ia masih ingin fokus dengan karirnya yang baru saja memasuki golongan Bintara dengan lambang 2 balok panah perak.
Selama satu minggu ini, Alung disibukkan dengan pekerjaan patroli di area rawan tambang ilegal. Ia sampai lupa dengan janjinya. Hingga saat ia baru saja pulang, Alung segera bersiap dan melaju ke rumah Donga yang jaraknya cukup jauh.
"Ayo masuk!" ajak Donga.
"Kak Alung!" seru Lala dan Lili yang memang sudah dekat dengannya.
"Halo semuanya.."
"Kita ngobrol di sini, tunggu istriku memanggil Hanung."
"Namanya Hanung? Kira-kira apa arti nama itu?" batin Alung.
Tak lama kemudian, Surati datang bersama seorang muslimah dengan perawakan kecil dan kulit yang cerah. Sangat kontras jika disandingkan dengan keluarga Donga. Sayangnya ia tak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena kepala yang menunduk.
"Perkenalkan, ini Alung Nasution. Seorang polisi yang bertugas di Kilo 42. Dan Alung, ini Hanung Rahayu anakku dari pernikahan terdahulu." Surati mengenalkan keduanya.
Tetapi saat Alung mengulurkan tangannya, Hanung tidak menjabatnya melainkan menangkup kan tangannya didada.
"Muslimah idaman." batin Alung yang kemudian ikut menangkupkan tangan didada.
Sepanjang pembicaraan, Alung mencoba curi pandang kearah Hanung yang hanya menunduk dengan sesekali tersenyum dan mengangguk. Dimatanya, Hanung seperti bukan dari dunia ini. Kepribadiannya berbanding terbalik dengan Lala dan Lili yang mengakrabkan diri dengannya. Hal inilah yang membuat Alung tertarik.
Dengan memiliki istri seperti Hanung, ia bisa tenang saat meninggalkannya dirumah untuk bertugas dan tidak akan ada perceraian. Karena perceraian dibenci Allah, yang tidak akan mungkin dilakukan oleh Hanung yang taat agama.
"Ayo kita makan. Hanung sudah menyiapkan makanan untuk kita semua." Ajak Donga.
Mereka pun bersama-sama menuju meja makan. Dengan bangga Surati memuji Hanung yang pandai memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah. Semua itu tidak menjadi perhatian Alung. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah makanan yang tersaji. Walaupun kesannya tidak nyambung, menurutnya pas saja jika mengambil udang asam manis dengan oseng kangkung.
"Enak." batin Alung.
"Tapi kenapa kamu hanya menunduk?" Alung melihat kearah Hanung.
"Apa mungkin ia diajarkan seperti itu saat dimeja makan?"
Alung tersenyum simpul. Ia pun melanjutkan makannya tanpa repot-repot mendengar obrolan Surati dan Donga. Selesai makan, Alung harus kecewa karena Hanung tak bergabung kembali dengan di ruang tamu. Hanung tinggal di dapur untuk membereskan meja.
"Alung, kamu ngobrol dulu dengan Lala dan Lili disini. Aku mau menidurkan Hari dulu."
"Iya, Tulang."
Setelah Donga dan Surati pergi, Alung memberanikan diri mengorek informasi tentang Hanung dari Lala dan Lili.
"Berapa umur Hanung sekarang?"
"Hanya beda 1 tahun dengan Kak Lala." jawab Lili.
"Beda 4 tahun, tak masalah bagiku."
"Kakak yakin mau dengan Hanung?" tanya Lala.
"Yakin." Alung merasa mantap dengan Hanung walaupun baru mengenalnya.
"Hanung sudah bersuami, Kak. Suaminya di Jawa." Alung terkejut.
"Kalau bersuami, mengapa ayah dan ibumu mengenalkannya kepadaku?"
"Aku juga tidak tahu." jawab Lala menggeleng.
Alung berpikir mungkinkah Surati dan Donga tidak tahu? Kalau mereka tidak tahu, darimana Lala tahu? Dengan pikiran dan kekecewaan, Alung pun pamit pulang.
Sejak malam itu, Alung selalu terbayang wajah Hanung yang tersenyum dan wajah yang menunduk. Ia tak pernah menemui muslimah seperti Hanung. Tetapi 2 hari kemudian, ada pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.
+62xxxx: Assalamu'alaikum.. Ini Hanung.
Alung: Hanung? Anak Bu Surati?
+62xxxx: Ya, salam kenal.
Alung: Salam kenal. Darimana kamu tahu nomorku?
+62xxxx: Dari Ayah Donga.
Alung merasa bahagia Hanung berinisiatif menghubunginya lebih dulu. Ia sampai lupa dengan perkataan Lala yang mengatakan jika Hanung sudah bersuami.
"Mungkin saja itu hanya karangan Lala. Mungkin Lala tidak suka dengan Hanung, karena dari dulu dia selalu mengikuti ku." gumam Alung.
"Tapi, sebaiknya aku tanya Lala. Apakah benar Hanung, karena rasanya janggal. Hanung yang pemalu itu tidak mungkin menghubungi lebih dulu." Alung bermonolog.
Ia pun memutuskan bertanya kepada Lala. Tetapi Lala mengatakan tidak tahu nomor ponsel Hanung, sehingga meminta waktu untuk bertanya langsung.
Satu jam kemudian, Lala menghubungi Alung dan mengatakan apa yang ia dengar dari Hanung. Alung tidak percaya yang mengirimkan pesan adalah Surati. Apa maksud Surati melakukan itu? Apa ini ada hubungannya dengan suami Hanung yang dikatakan Lala? Alung pun mencari waktu untuk bisa bertemu dengan Hanung sendiri. Ia ingin berbicara 4 mata untuk meluruskan semuanya.
2 hari kemudian, Lala memberi kabar jika kedua orang tuanya pergi ke Kota Baru menghadiri acara pernikahan bersama Lili dan Hari. Dirumah tinggallah dia dan Hanung. Alung pun mengatakan akan berkunjung untuk memastikan.
"Kakak sudah datang? Masuk, Kak!" Lala mempersilahkan Alung masuk.
"Tunggu sini, Kak. Aku panggilkan Hanung."
Tak lama kemudian, Lala datang bersama Hanung. Alung pun berdiri menyambut Hanung dengan tangkupan tangan. Hanung membalasnya dengan tangkupan tangan dan anggukan.
"Kamu mau kemana?" tanya Hanung kepada Lala yang mau keluar rumah.
"Kak Alung mau bicara 4 mata denganmu. Aku tidak akan mengganggu."
"Sebaiknya kita berbicara di teras. Kita bukan mukhrim." pinta Hanung.
Alung mengikuti permintaan Hanung dan keluar ke teras. Sedangkan Lala menunggu mereka di pintu.
"Maaf kalau kedatanganku mengganggu waktumu."
"Ya. Apa yang mau Anda katakan sampai hanya perlu kita berdua. Maaf, saya tidak nyaman." kata Hanung yang berbicara tanpa melihat ke arah Alung.
"Apakah kamu ada menghubungiku?"
"Tidak."
"Apa kamu kenal nomor ini?" Alung menyerahkan ponselnya.
Hanung terkejut dengan nomor yang tertera dan pesan yang ada.
"Itu benar nomor ku. Tetapi bukan aku yang mengirimkan pesan itu. Ponselku ada ditangan Ibu." Alung mengangguk karena ia sudah tahu dari Lala.
"Apakah benar kamu sudah menikah?"
"Benar. Aku sudah menikah. Maaf kalau kamu salah paham. Perkenalan itu bukan aku yang mau, kalaupun aku ditanya aku akan menolaknya. Sayangnya tidak ada tempat bagiku untuk menolak. Maaf."
"Tak apa, Hanung. Yang penting aku sudah tahu kebenarannya. Senang bisa mengenalmu." Kata Alung sambil tersenyum ke arah Hanung yang masih menunduk.
"Terimakasih." kata Hanung yang kemudian pamit masuk ke rumah.
"Apakah kita tidak bisa berteman?" tanya Alung, menghentikan langkah Hanung.
"Tidak, maaf." jawab Hanung sambil menundukkan kepalanya dan masuk ke rumah.
Lala yang mendengar semuanya merasa iri dengan Hanung. Hanya perkenalan saja sudah membuat Alung tertarik kepadanya. Sedangkan dirinya yang sedari dulu mengenal Alung, tak pernah mendapat perhatian seperti itu.
"Aku pamit, Lala. Terimakasih.." Alung pergi meninggalkan kediaman Donga dengan motor besarnya.
Ia sudah lega setelah mendengar pengakuan Hanung. Benar tebakannya jika Surati dan Donga bermaksud untuk menjodohkan mereka agar Hanung bisa lepas dari suaminya yang ada di Jawa. Sayangnya, Hanung bukanlah perempuan seperti itu. Alung mengagumi keteguhan hati Hanung.