“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Tujuh
Nuri masih gelisah, ia tidak bisa tidur. Bagaimana dia bisa tidur, baru saja dia akan meneguk kebahagiaan atas kemenangan dirinya merebut Heru dari Arini, malah dirinya mendapatkan sebuah masalah besar. Yakni bertemu kembali dengan orang yang selama ini dihindarinya. Nuri benar-benar tidak menyangka, ini sebuah kebetulan atau memang sudah takdirnya seperti itu.
Nuri melirik ke arah Heru yang sudah tertidur begitu pulas. Nuri melihat Heru tidak biasanya tidur setenang dan sedamai itu, padahal biasanya di rumah, Nuri gelisah sedikit Heru pasti terbangun dan mencoba menenangkan situasi hatinya, namun kali ini tidak.
“Mas, bangun gih!” Nuri mengguncangkan pelan tubuh Heru, namun tak ada respon. “Mas ... ayo antar aku ke dapur ambil minum,” pinta Nuri yang merasakan tenggorokkannya kering. Sedangkan air putih yang ia bawa tadi sebelum tidur sudah habis.
“Hmmm ... apaan sih, Sayang?”
“Aku haus, ambilin minum ...,” pinta Nuri.
“Kamu bisa ke dapur sendiri, kan? Aku ngantuk sekali, Sayang?” jawab Heru tanpa membuka matanya, karena memang dia sangat mengantuk.
“Ish kamu kok gitu mas!” gerutu Nuri.
Nuri terpaksa keluar sendiri ke dapur, karena Heru sama sekali tidak mau membuka matanya, dia bilang dia sangat ngantuk, karena dari kemarin dia terlalu sering begadang.
“Aku kangen, Sayang.”
Nuri terjingkat saat kedua tangan melingkar di perutnya, dan leher jenjangnya dikecup seseorang.
“Om lepas!” Nuri berontak, namun Alvin semakin erat memeluk Nuri.
“Aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi, Melati. Aku sudah mati-matian mencarimu, sekarang aku sudah ketemu kamu aku harus melepaskan kamu? Itu tidak akan mungkin!” ucap Alvin.
“Aku mau menikah dengan anak om! Jadi tolong, jangan ganggu aku!”
“Menikah dengan Heru? Silakan saja menikah dengan dia, aku akan tetap menganggap kamu milikku, karena yang ada di sini, sudah pasti itu anakku,” ucapnya dengan tersenyum miring.
“Jangan sembarang, Om! Dia anak Heru!”
“Oh Heru memang bisa menghamilimu?”
“Nyatanya aku hamil sekarang?”
“Jangan bohong, Mel, ini anakku, aku yakin ini anakku!” ucap Alvin dengan memeluk Nuri.
“Lepaskan, Om!”
“Gak bisa, Melati,” bisiknya lalu mencium leher Nuri dengan begitu lembut, yang membuat Nuri memejamkan matanya.
“Lepas, Om! Om maunya apa sih?”
“Aku maunya kamu, Sayang ....”
“Kita sudah selesai, Om!”
“Kita belum selesai, Sayang ... aku tahu kamu pasti merindukan aku, buktinya kau menikmati kecupanku, Melati. Ayolah, kita baik-baik, aku sangat mencintaimu, Melati.”
“Om, stop!”
Nuri melepaskan dirinya, namun tangan Alvin begitu kuat, Alvin memutar tubuh Nuri, hingga mereka saling berhadapan. Alvin meraih dagu Nuri, ia mengusap bibir Nuri dengan ibu jarinya, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Nuri. Nuri menjauhkan tubuh Alvin, namun Alvin terus memaksanya, hingga bibir mereka menyatu. Tak dipungkiri oleh Nuri, dia memang suka dengan ciuman Alvin yang begitu memabukkan, dari sekian banyaknya laki-laki, hanya Alvin yang paling lama menjadi kekasih Nuri. Mereka masih sama-sama menikmati ciuman yang sudah lama mereka rindukan. Alvin melepaskan pagutannya, karena dia merasakan pipi Nuri basah. Nuri menangis, membuat Alvin menghentikan kegiatannya.
“Kenapa? Jangan menangis, Om tidak suka lihat kamu menangis,” ucapnya.
“Sudahi semuanya, Om.”
“Tidak bisa, Melati, aku sudah terlanjur mencintaimu, aku yang pertama kali membuatmu masuk ke dalam hidupmu, Melati.”
“Aku mau menikah dengan Heru, dengan anak om!”
“Gak masalah, menikahlah dengan dia, asal kita masih bisa bersama!”
“Om gak mungkin!”
“Semuanya akan baik-baik saja. Aku mohon jangan tinggalkan aku lagi, Mel.”
“Tante Laras bagaimana, Om? Kalau Tante Laras tahu, Heru tahu lantas aku bagaimana?”
“Biar saja mereka tahu, aku akan menikahimu, aku sudah terlanjur mencintaimu dari dulu, dari awal aku menyewa dirimu, dan kamu masih virgin saat itu. Aku tertarik sama kamu, aku cinta sama kamu, aku jatuh cinta sama kamu, Melati!” ucapan Alvin tidak main-main. Dia seperti menemukan kembali jiwanya yang telah hilang setelah bertemu dengan gadis yang bernama Nuri.
Gadis yang mungkin seusia anaknya itu saat dulu, yang sedang membutuhkan uang untuk kuliah, dan uang untuk pengobatan ibunya yang sakit keras. Dia rela menjual tubuhnya pada Alvin malam itu. Mereka dipertemukan oleh Mami Laura, yang memiliki bisnis porstitusi online, dan Nuri bergabung dengan mereka. Dia salah satu barang baru yang masih original, hanya orang yang membelinya sangat mahal yang bisa bermalam dengan Nuri saat itu, Nuri diberikan nama Melati oleh Laura saat itu.
Setelah menikmati malam dengan Nuri, Alvin merasakan hal yang tak pernah dirasakan selama hidup dengan Laras. Alvin berniat membeli Nuri pada Laura, dan transaksi itu pun terjadi, tidak peduli Nuri sudah sering melayani tamu-tamu, Alvin tidak peduli akan hal itu. Dan, bagi Nuri yang paling loyal dan berani bayar mahal adalah Alvin saat itu. Uang segalanya bagi Nuri saat itu, hingga dia merelakan dirinya dibeli dengan harga begitu fantastis oleh Alvin, dan menjadi simpanan Alvin saat itu. Namun, namanya Nuri, dia tidak puas dengan satu laki-laki, kadang Nuri masih diam-diam melayani lelaki lain, jika Alvin ke luar kota.
“Kita sudah tidak mungkin untuk bersama, Om.”
“Apa kamu sudah tidak cinta aku? Kau bilang cinta padaku, Melati?”
Nuri hanya diam. Dengan Heru pun dia sama sekali tidak mencintainya, dia hanya ingin anaknya itu memiliki ayah, dia tidak peduli dengan perasaannya, yang terpenting Heru mau bertanggung jawab. Iya, dengan Alvin, Nuri dibuat jatuh cinta pada Alvin saat itu. Hingga kini rasa itu pun masih ada, tapi semua itu tidak mungkin ia katakan, karena dia sangat takut istri Alvin akan macam-macam dengan dirinya.
“Kau pergi karena Laras, kan?”
Nuri hanya diam, dia hanya bisa meneteskan air matanya. “Katakan, Melati? Iya karena Laras mengancam kamu?” Nuri hanya menganggukkan kepalanya saja.
“Apa saat kamu pergi kamu hamil? Kamu bilang padaku saat itu, kamu belum datang bulan, tapi kamu mau cek menunggu aku pulang dari luar kota, benar kamu hamil? Apa ini anakku, Melati? Katakan sejujurnya padaku, aku ingin anak ini, Melati. Aku ingin anak dari darah dagingku sendiri,” ucap Alvin dengan suara parau.
“Iya, aku hamil saat aku pergi ninggalin om,” jawab Nuri.
“Aku sudah yakin, ini adalah anakku. Tolong batalkan pernikahanmu, Melati,” ucap Alvin.
“Tidak bisa, Om. Aku sudah terlanjur menjebak Heru, dia sudah begitu bahagia akan memiliki anak, Om. Om gak lihat Tante Laras begitu bahagia sekali akan punya cucu? Heru juga sangat bahagia akan punya anak, karena Arini mandul,” ucap Nuri. “Demi kebahagiaan mereka, Om. Aku mohon izinkan aku menikah dengan Heru,”imbuhnya.
Alvin menggelengkan kepalanya, tak rela Nuri menikah dengan Heru, apalagi yang ada di kandungan Nuri adalah darah dagingnya.
“Kau tidak tahu sebenarnya, Melati. Kau tidak tahu yang sebenarnya,” ucap Alvin lirih dengan mata berkaca-kaca.
Alvin pergi meninggalkan Nuri. Ia memilih pergi, ada perasaan bersalah pada Arini, harusnya dia tidak menuruti Arini saat itu. Karena tidak ingin melukai hati Heru, dan mama mertuanya, Arini memilih merahasiakan semuanya, Arini rela diperlakukan kasar oleh Heru, bahkan dia mengalah untuk perempuan yang katanya sedang mengandung anak Heru.
Alvin mengeluarkan ponselnya, dia menghubungi Arini. Dia tahu Arini belum tidur, baru saja Arini mengunggah story di akun sosial medianya. Mengunggah kegiatan dirinya tadi pagi bersama anak yang berkebutuhan khusus, yang sedang ia tangani tadi pagi.
“Halo, Arini.”
“Papa? Ada apa malam-malam telefon, Pa?”
“Papa ingin bicara dengan kamu, besok kamu ada waktu?”
“Papa memang di sini? Bukannya papa di luar kota sudah lama?”
“Papa pulang, papa mau bicara dengan kamu, tolong luangkan waktumu sebentar saja, papa tahu kamu benci dengan keluarga papa, bahkan dengan papa juga, karena papa gak bisa menolong rumah tanggamu, padahal papa tahu semuanya.”
“Sudah, Pa. Arini sudah ikhlas. Besok bertemu menjelang makan siang saja ya, Pa?”
“Oke, papa tunggu di Restoran dekat dengan tempat kerjamu saja, biar kamu tidak kejauhan,” ucapnya.
Alvin mengakhiri percakapannya dengan Arini. Sedangkan Arini, dia masih terpaku setelah mendapat telefon dari Papanya Heru, yang meminta bertemu besok siang.
“Ada apa sih? Penting sekali sepertinya? Ah entahlah,” ucap Arini.
Arini memang sedikit dekat dengan Papa Mertuanya, dibanding dengan Mama Mertuanya yang selalu menekan Arini untuk cepat hamil. Alvin lah yang sering menenangkan hati Arini setelah ditanya Mama Mertuanya perihal kehamilan, kadang Alvin yang menghiburnya, dan tidak mau menyalahkan sepihak, menyalahkan Arini yang kurang subur.