Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 ( sapaan sejuk dari puncak)
Setelah tiga jam perjalanan yang penuh canda dan tawa, mereka akhirnya tiba di vila yang terletak tak jauh dari puncak. Udara dingin langsung menyambut begitu mereka membuka pintu mobil, menghirup aroma pepohonan yang segar bercampur dengan angin sejuk pegunungan.
“Ahh, udara di sini benar-benar beda!” seru Clara, merentangkan tangannya lebar-lebar dan menghirup udara dalam-dalam, seolah ingin menyimpan kesegaran itu selamanya.
Sasa tertawa kecil sambil mengangguk, “Iya, rasanya semua penat langsung hilang,” ujarnya sambil memandang ke arah vila dengan senyum takjub.
Vila itu berdiri megah namun bersahaja, dikelilingi pepohonan hijau yang rindang. Bangunannya sederhana namun hangat, dengan balkon kecil yang menghadap ke arah pemandangan lembah dan pegunungan di kejauhan. Mereka mulai menurunkan barang-barang dari mobil sambil sesekali berkomentar tentang betapa nyaman dan cantiknya vila itu.
“Gue nggak nyangka tempat ini sebagus ini,” komentar Radit sambil menurunkan tasnya.
Awan menambahkan, “Apalagi dengan kolam renang di sana. Kita harus banget main air nanti!”
Setelah selesai menurunkan barang, mereka berjalan berkeliling, memandangi vila dengan penuh kekaguman dan rasa nyaman. Suasana alam di sekeliling vila membuat mereka merasa seolah-olah berada di dunia yang jauh dari hiruk pikuk kota.
“Mau masuk?” tanya Algar sambil menunjuk pintu utama vila.
Mereka mengangguk serempak, lalu berjalan masuk bersama-sama. Di dalam, suasana vila terasa semakin nyaman. Terdapat empat kamar, masing-masing dirancang dengan gaya sederhana namun elegan.
Clara dengan cepat memimpin perjalanan eksplorasi di dalam vila. “Jadi kamar satu buat kita bertiga, ya?” katanya sambil menunjuk ke arah Sasa dan Andin, yang langsung mengiyakan.
Radit, Aldrin, dan Algar mendapatkan kamar kedua yang berhadapan dengan kamar pertama. Sedangkan kamar ketiga ditempati oleh Awan dan Bay, dan kamar keempat untuk Sandi dan Gilang. Vila ini memiliki tata letak yang rapi, dengan kamar-kamar di dua sisi berhadapan, ruang dapur yang berada di sebelah kanan, dan ruang keluarga yang dilengkapi sofa empuk serta televisi di sebelah kiri.
“Lihat ini, ada ruang santai di belakang, lengkap dengan kolam renang!” teriak Gilang sambil mengintip ke bagian belakang vila. Mereka langsung berlari ke arah kolam, terpukau oleh pemandangan indah yang disajikan. Di dekat kolam, ada deretan kursi santai dan teras kecil yang dikelilingi pepohonan, memberikan kesan teduh dan damai.
Setelah puas menjelajahi setiap sudut vila, Radit, Awan, dan Aldrin memilih bersantai di ruang TV. Mereka menyalakan televisi dan menemukan film komedi, segera tenggelam dalam tawa ketika adegan-adegan lucu mulai bergulir di layar.
“Ini filmnya benar-benar bikin sakit perut!” ujar Aldrin sambil tertawa keras, membuat Radit dan Awan tertawa lebih keras lagi.
Di kamar pertama, Sasa, Clara, dan Andin mulai membongkar barang-barang mereka, mengeluarkan pakaian dan perlengkapan lainnya lalu menata ke dalam lemari yang sudah disediakan. Suara tawa dari ruang TV terdengar samar-samar, memberikan kesan hangat dan kebersamaan yang semakin terasa.
Clara membuka kopernya sambil berkata, “Gue masih nggak percaya akhirnya kita bisa liburan bareng di tempat seindah ini.”
Andin mengangguk sambil tersenyum, “Semoga ini jadi momen yang bisa kita kenang sampai nanti.”
Sasa ikut tersenyum, rasa hangat perlahan menggantikan dinginnya angin puncak. Bagi Sasa, liburan ini bukan hanya soal bersenang-senang, tapi juga kesempatan untuk melepaskan semua kepenatan dan kesedihan yang tersimpan di hatinya.
Setelah selesai merapikan barang, mereka bertiga mulai bersiap-siap membersihkan diri. Sasa menatap dirinya di cermin kamar mandi, menghela napas panjang sebelum membasuh wajahnya dengan air dingin yang menyegarkan.
Di luar, suara tawa dari teman-temannya masih terdengar. Sasa merasa beruntung memiliki mereka, yang selalu ada untuknya, membuatnya merasa berarti, dan memberikan warna pada setiap hari-harinya.
Begitulah, hari pertama mereka di puncak dimulai. Dengan tawa, canda, dan suasana hangat persahabatan yang membuat Sasa merasa seperti berada di rumah.
Setelah para gadis selesai merapikan kamar dan barang-barang mereka, mereka berkumpul di ruang tengah, tempat Radit, Aldrin, dan Awan masih asyik menonton film komedi. Suasana santai itu segera berubah begitu Sasa, Clara, dan Andin bergabung. Semua orang terlihat lebih akrab dan riang, saling melempar senyum dan tawa tanpa beban.
Algar yang duduk di sudut ruangan sambil mengunyah camilan tiba-tiba memperhatikan Radit dan Aldrin. Wajah mereka tampak sedikit kusam setelah perjalanan panjang tadi. Dia melirik ke arah mereka dengan ekspresi menggoda.
"Hei, kalian udah kayak ikan asin habis kena jemur, deh. Nggak mau bersih-bersih dulu?" celetuk Algar, menahan senyum.
Radit yang duduk santai di sofa langsung bangkit sedikit, memasang wajah pura-pura tersinggung. "Ikan asin? Ini wajah berseri-seri habis menonton film komedi, bro," katanya sambil tertawa, namun buru-buru melempar bantal kecil ke arah Algar.
Andin, yang duduk di sebelah Sasa, ikut tersenyum licik. "Iya tuh, bau jalanan masih nempel, kayaknya butuh lebih dari sekadar parfum, ya."
Gilang langsung tertawa keras mendengar celetukan Andin. “Betul banget! Lagi pula kita semua udah mandi, tinggal mereka aja tuh yang masih bau mobil,” katanya sambil pura-pura menutup hidung.
Sasa ikut menambahkan, “Kalian yakin nggak mau langsung ke kamar mandi? Soalnya, aku ragu kalau kolam renang nanti bakal tetap jernih kalau kalian nggak bersih-bersih dulu.”
Radit tertawa dan mengangkat kedua tangannya, “Oke, oke, tenang! Kita ke kamar mandi, tapi jangan nangis ya kalau kita malah makin ganteng setelah ini.”
Sandi yang duduk di samping Radit malah menggelengkan kepala. “Makin ganteng? Cuma di mimpi, Dit,” katanya sambil tertawa kecil.
Mereka semua tertawa puas. Clara bahkan sampai terbatuk-batuk karena terlalu banyak tertawa, membuat suasana semakin hidup dan penuh keakraban. Dengan sedikit enggan namun tertawa, akhirnya Radit, Aldrin, dan Awan menyerah dan menuju kamar masing-masing untuk membersihkan diri.
Begitu mereka berlalu, Gilang yang juga ikut menyaksikan adegan tadi berkomentar, “Misi berhasil! Sekarang ruang tengah kita aman dari bau pengap mobil.”
Sasa menutup mulutnya sambil tertawa terbahak-bahak. “Harus banget mereka dikerjain dulu baru mau mandi, ya?”
Algar yang sejak tadi diam tersenyum ikut menimpali, “Namanya juga Radit dan kawan-kawan. Harus ada dorongan motivasi khusus.”
Suasana sore itu benar-benar terasa hangat dan penuh canda. Mereka duduk sambil menikmati waktu bersama, saling meledek, dan berbagi tawa yang begitu lepas. Buat Sasa, momen-momen sederhana seperti ini sangat berarti—kebersamaan yang hangat, tanpa perlu memikirkan apa-apa, selain menikmati hari itu bersama orang-orang yang membuatnya merasa diterima.
Tq All, jangan lupa dukung.
LIKE
KOMENT
VOTE
HADIAH
FAVORIT
#Typo bertebaran
...
..
.
.
.