"Tlembuk" kisah tentang Lily, seorang perempuan muda yang bekerja di pasar malam Kedung Mulyo. Di tengah kesepian dan kesulitan hidup setelah kehilangan ayah dan merawat ibunya yang sakit, Lily menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keputusasaan. Dalam pertemuannya dengan Rojali, seorang pelanggan setia, ia berbagi cerita tentang kehidupannya yang sulit, berjuang mencari cahaya di balik lorong gelap kehidupannya. Dengan latar belakang pasar malam yang ramai, "Tlembuk" mengeksplorasi tema perjuangan, harapan, dan pencarian jati diri di tengah tekanan hidup yang menghimpit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Tawar-menawar yang Menggoda
Pagi itu, setelah pertemuan mereka di kafe, Om Joko tidak bisa berhenti memikirkan Lily. Bayangan tubuhnya, senyum tipis yang penuh arti, dan tatapan mata lelah namun menggoda terus menghantui pikirannya. Meskipun sebelumnya ia sudah menikmati kebersamaan dengan Lily, hasrat dalam dirinya justru semakin memuncak. Seakan ada dorongan yang tak bisa ia bendung.
Sore harinya, Om Joko yang sedang duduk santai di teras rumahnya, meraih ponselnya. Jempolnya dengan cepat mengetik pesan yang sudah ia pikirkan sejak tadi pagi.
"Lily, bisa ketemu lagi? Kali ini gua siapin 450 ribu buat kamu."
Ia menekan tombol kirim dengan keyakinan penuh. Tak lama setelahnya, ponselnya bergetar, tanda ada balasan masuk. Om Joko segera membuka pesan itu.
"450 ribu, Om? Bukannya kemarin 600 ribu?" jawab Lily dengan nada yang agak protes.
Om Joko tahu Lily tidak akan melewatkan perbedaan ini. Ia tersenyum kecil, mencoba mengakali situasinya. Ia mengetik lagi.
"Iya, Lil, tapi sekarang kan aku juga lagi sedikit mepet. Tapi kamu tau kan, aku selalu kasih lebih kalau lagi ada rezeki lebih. Yang penting kan kita bisa ketemu lagi."
Lily terdiam sejenak membaca pesan itu. Bukan karena nominal uang yang ditawarkan, tapi lebih kepada keadaan hidupnya yang serba terjepit. Meski hatinya berontak, ia tahu bahwa uang itu masih berarti besar baginya. Setelah menimbang-nimbang, ia pun mengetik balasannya.
"Oke, Om. Tapi jangan terus-terusan nawar ya. Ketemu di tempat biasa, jam 8 malam."
Om Joko tersenyum lebar saat membaca balasannya. Ia merasa menang, dan ini akan jadi malam yang ia nanti-nantikan. Malam yang akan lebih menggairahkan dari sebelumnya, meskipun dengan harga yang sedikit lebih rendah.
Saat jam hampir menunjukkan pukul 8, Om Joko tiba di hotel kecil yang sering ia datangi bersama teman-temannya. Tempat itu tidak terlalu mewah, namun cukup nyaman untuk urusan seperti ini. Ia masuk ke lobi dan langsung menuju meja resepsionis.
"Pak Joko? Mau pesan kamar yang sama seperti biasa?" tanya resepsionis dengan nada yang sudah akrab. Om Joko mengangguk sambil menyelipkan uang tip, lalu mengambil kunci kamar.
Sesampainya di kamar, ia menyalakan lampu remang-remang dan membuka jendela sedikit untuk membiarkan udara segar masuk. Tak lama, ada ketukan pelan di pintu. Om Joko tersenyum, ia tahu siapa yang datang.
"Lily," sapanya saat ia membuka pintu. Lily berdiri di ambang pintu, memakai gaun sederhana yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Wajahnya tampak tenang, namun ada sedikit rasa was-was yang tersembunyi di balik matanya.
Om Joko mempersilakan Lily masuk, menutup pintu di belakang mereka. “Udah siap, Lil?” tanyanya sambil mendekatkan dirinya ke Lily, merasakan aroma tubuhnya yang selalu membuat hasratnya membara.
Lily hanya tersenyum tipis. “Om Joko, kita udah dewasa. Aku udah tahu tujuan Om ngajak aku ke sini lagi. Ya, aku siap, asal Om juga nggak lupa janji tadi soal uangnya.”
Om Joko mengangguk mantap. Ia menarik Lily ke dalam pelukannya, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu dekat. Tangan-tangannya mulai menjelajahi, meraba setiap sudut yang sudah ia inginkan sejak lama. Malam itu, hasrat yang menggelora di antara mereka kembali menyala.
Namun, di balik setiap sentuhan, ada sesuatu yang tak pernah bisa mereka pahami sepenuhnya. Di dalam kepala Om Joko, Lily hanyalah objek dari keinginannya, sementara bagi Lily, ini adalah bagian dari cara bertahan hidup. Mereka saling menikmati, namun pada saat yang sama, keduanya tahu bahwa ini hanya sementara. Om Joko hanya satu dari sekian banyak pria yang pernah datang dan pergi dalam hidup Lily, sementara Lily hanyalah satu momen dalam hidup Om Joko yang penuh dengan kesenangan sesaat.
Setelah semua selesai, Om Joko menyerahkan uang 450 ribu seperti yang ia janjikan. "Nih, Lil, buat kamu. Gua nggak pernah lupa janji."
Lily menerima uang itu dengan tangan dingin. "Makasih, Om. Aku pulang sekarang ya," katanya sambil menghindari tatapan Om Joko.
Om Joko tersenyum, merasa puas. "Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya?"
Lily hanya mengangguk pelan, lalu bergegas meninggalkan kamar itu. Saat pintu tertutup di belakangnya, Om Joko kembali bersandar di kasur, merasa puas tapi juga ada sedikit rasa hampa yang perlahan merayapi pikirannya.
Lily keluar dari hotel kecil itu dengan langkah cepat, uang 450 ribu yang baru saja diterimanya dari Om Joko terselip rapi di dalam tas kecilnya. Pikiran dan hatinya bercampur aduk, tapi Lily tahu bahwa ia perlu terus bertahan. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, dan untuk menenangkan diri, ia memutuskan untuk mampir ke Alfamart yang ada di pinggir jalan.
Lily berjalan dengan santai, mengenakan celana pendek seksi yang memamerkan lekuk kakinya dan kaos ketat yang menonjolkan bagian tubuhnya. Tatapan pria-pria yang nongkrong di pinggir Alfamart langsung tertuju padanya begitu ia melintas. Lily mencoba mengabaikan tatapan itu, berjalan masuk ke dalam toko dengan kepala tegak.
Begitu masuk, ia langsung menuju rak rokok dan mengambil satu bungkus Sampoerna Mild. Setelah itu, matanya mencari-cari minuman yang bisa sedikit menenangkannya malam itu, lalu ia mengambil sebotol bir dari lemari pendingin. Di kasir, ia menyerahkan uangnya dan menunggu kembalian. Pegawai kasir hanya melirik sekilas ke arahnya, seakan-akan sudah terbiasa dengan berbagai macam pelanggan.
Namun, begitu Lily keluar dari Alfamart, suara-suara dari sekelompok pria yang nongkrong di pinggir jalan mulai terdengar. Mereka tampak tengah bersenda gurau, tapi begitu melihat Lily keluar dari toko, perhatian mereka langsung tertuju padanya.
"Heh, neng! Malem-malem beli rokok sama bir sendirian, nggak takut apa?” celetuk salah satu dari mereka dengan nada menggoda, diiringi tawa kecil teman-temannya.
Lily berhenti sejenak, menatap mereka dengan tatapan datar. Ia tahu pria-pria seperti ini, yang hanya berani saat bersama-sama dan merasa bisa seenaknya. Tapi Lily sudah terlalu sering berhadapan dengan orang-orang seperti mereka, dan biasanya, yang terbaik adalah tidak memberikan reaksi apapun.
"Rokoknya buat Om siapa, neng? Apa buat kita aja nih?" lanjut pria yang lain dengan tawa yang lebih keras. Teman-temannya ikut tertawa, membuat suasana malam itu terasa semakin tidak nyaman bagi Lily.
Lily hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi. Tapi ia bisa mendengar salah satu dari mereka berseru, “Eh, kalau mau ditemenin, kita siap kok, neng!”
Lily tetap tidak menggubris, langkahnya semakin cepat saat suara-suara itu perlahan menghilang di belakangnya. Ia tahu, meladeni mereka hanya akan membuat situasinya lebih rumit. Terkadang, dalam situasi seperti ini, mengabaikan adalah satu-satunya pilihan.
Setelah berjalan beberapa menit, Lily akhirnya tiba di sebuah sudut jalan yang sepi, tempat ia bisa menikmati birnya tanpa gangguan. Ia duduk di trotoar, membuka tutup botol birnya, dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Asap rokok melingkar di udara malam yang dingin, mengaburkan pandangan sejenak.
“Mereka semua sama aja, nggak ada bedanya,” gumamnya pelan sambil menghela napas. Malam semakin larut, tapi Lily tetap duduk di sana, menikmati sebotol birnya sambil menatap langit. Bintang-bintang yang tampak di atas seakan menjadi saksi atas kesepiannya yang tak terucapkan.