Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cekcok di Ruang Kepala Sekolah (Menyakitinya)
“Viola," panggil Kai lagi. Ya, Kai melihat semuanya, Kai melihat perkelahian itu. Soya sendiri masih membeku, tetapi beberapa detik kemudian kesadarannya kembali dan ia menyalakan mesin motornya dan langsung tancap gas, melesat meninggalkan Kai sendirian di sana bersama gerombolan anak badung yang dihajarnya.
“Viola!" panggil Kai sembari berteriak, “argh, sial!"
Kai cepat-cepat menghubungi ambulans dan mengirimkan lokasi tempatnya berada. Beberapa kali berdecak, tubuhnya bergerak gelisah.
“Argh! Kenapa lama sekali?" Kai melotot saat melihat siswa dari sekolah lain merintih kesakitan, beberapa dari mereka bahkan sudah ada yang tak sadarkan diri.
“Aduh! Tolong dong, jangan mati dulu," gumam khawatir. Pikiran-pikiran buruk langsung menghantui otaknya, bagaimana jika ia dituduh melakukan tindakan kejahatan pada sekelompok anak remaja?
Di tengah kegelisahan yang mulai menyelimuti hatinya, suara sirine ambulans, yang menggema memberikan angin segar untuk Kai. Beberapa petugas medis turun dari ambulans dan bergerak cepat memberikan pertolongan pertama pada para pelajar yang sudah terlihat tak berdaya itu.
Kai yang sempat ditanyai oleh petugas medis, mengaku tak tahu-menahu apa penyebab para pelajar terluka parah bahkan ada yang mengalami cedera serta lebam seperti habis dianiaya. Kai mengatakan bahwa ia tak sengaja melihat 7 orang pelajar itu terluka saat ia lewat dan langsung menghubungi ambulans. Dengan mimik wajah yang terlihat sangat meyakinkan, petugas medis itu percaya begitu saja.
Mau tak mau Kai mengikuti ambulans tersebut menuju rumah sakit. Tujuh buah ambulans mulai meninggalkan lokasi kejadian, menuju rumah sakit.
Di dalam mobil mewahnya Kai bergumam, “Viola, ternyata gadis itu mengerikan, aku pikir dia hanya terlibat perkelahian jalanan biasa, seperti anak badung lainnya. Akan tetapi, ternyata aku salah menduga. Keahliannya dalam bertarung tak bisa dipandang sebelah mata. Dia bahkan seperti orang kesetanan, aura membunuhnya sangat kental sekali, mata itu ... bahkan lebih gelap dan dingin, tidak seperti pertamakali aku menatapnya."
Kai benar-benar pusing, kepalanya seakan ditimpa beban berat, memikirkan gadisnya yang memiliki sisi lain tak terduga. Kai pikir, gadisnya itu adalah sosok yang rapuh, bahkan ia selalu berlindung di bawah ketiak sang ayah. Bayi kecil keluarga Dexter, sesaat Kai merasa tersentak ketika sekelebat ingatan itu menyerbu pikirannya, saat ia menyaksikan Soya menghajar Richard hingga tumbang, bersama sang kupu-kupu malam yang tak pernah terdengar kabarnya lagi hingga sekarang.
Sesampainya di rumah sakit, Kai menjadi wali mereka sementara, sembari menunggu orang tua mereka datang ke rumah sakit. Sebenarnya Kai berharap kondisi mereka baik-baik saja, meskipun kemungkinannya sangat kecil. Akan tetapi, yang namanya berharap boleh-boleh saja, kan?
Ah, mengenai sekolah? Kai sudah menghubungi kepala sekolah dan memberitahu jika ia terlambat karena ada sedikit urusan. Beruntung kepala sekolah mau mengerti apa yang dialaminya. Disamping itu, kepala sekolah juga takut jika ia dipecat karena tidak mempercayai kepala sekolah.
Banyaknya orang yang berlalu-lalang mulai dari dokter dan perawat, maupun dari keluarga pasien, membuat suasana rumah sakit semakin tampak sibuk. Di tengah kesibukan para tenaga medis, Kai justru terkantuk-kantuk di ruang tunggu.
Derap langkah kaki terdengar menggema di ruang tunggu. Para orang tua berlarian di sepanjang koridor, mencemaskan kondisi putra mereka masing-masing. Ketika melihat Kai di sana mereka tampak menundukkan kepala, mengucapkan terima kasih, karena dengan baik hatinya, Kai menelepon ambulans untuk menolong putra mereka.
Tak lama kemudian muncullah seorang pria paruh baya dengan mengenakan jas snelli, yang membungkus tubuhnya, dengan sabar ia menjelaskan tentang kondisi satu-persatu para pelajar tersebut.
Dan benar saja, dugaan Kai beberapa di antara mereka bahkan ada yang terluka parah, perasaan bersalah mulai merayapi hatinya. Pria itu tidak sepenuhnya berkata jujur saat ia ditanyai bagaimana awal mula para pelajar itu bisa tergeletak tak berdaya.
Merasa tidak tahan, Kai memutuskan untuk pamit pulang pada para orang tua tersebut dan kembali ke sekolah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di lain tempat, Sophia justru tak acuh akan kejadian yang menimpa dirinya tadi pagi. Gadis itu masih bersikap santai dengan mengikuti pelajaran yang berlangsung. Beruntung, ia tidak terlambat seperti sebelumnya.
Mata bulatnya terlihat bergerak membaca tulisan demi tulisan yang ditulis oleh guru di papan tulis. Suasana kelas yang senyap tanpa suara dengan siswa yang melakukan kegiatan masing-masing, ada yang serius memperhatikan, ada pula yang hanya melamun, atau bahkan bermain-main, dan ada juga yang tertidur di kelas dengan nyenyak, seperti Bruzetta contohnya.
Hari ini mereka belajar, mata pelajaran sejarah, di mana guru mereka menjelaskan di depan kelas dengan suara yang tenang bak sebuah lagu pengantar tidur, membuat para siswa diserang rasa kantuk.
“Hei, Soya! Jam berapa sekarang, apa masih lama?" Bruzetta bertanya pada sahabatnya, dengan mata yang masih terpejam dan suaranya yang terdengar serak.
“Bangun bodoh, kau bisa dihukum nanti!" Soya mengingatkan.
“Tidak akan ketahuan meskipun ada CCTV. Aku dengar Cu Pat Kai, belum datang ke sekolah karena ada sedikit urusan tadi," Bruzetta berkata dengan santai, Jayden hanya mencibir, “walaupun dia belum masuk, tapi dia sudah memerintahkan guru lain untuk mengawasi, Bee!"
Bruzetta bergumam tidak jelas. Oh, ayolah. Kenapa di dunia ini harus ada pelajaran sejarah? Apa semua orang tidak bisa move on dari hal-hal yang menyedihkan?
“Kenapa harus selalu perang yang menjadi pembahasan? Ayolah, kita ini sudah merdeka! Sudah bebas, untuk apa masih mengingat zaman peperangan?" Bruzetta masih setia menggerutu.
“Ya, itu bertujuan supaya kita mengingat dan mengenang jasa para pahlawan dalam merebut kemerdekaan, Bee," Jayden masih menanggapi dengan sabar.
“Biarkan saja, dia. Dasar tidak memiliki sikap nasionalisme. Jika tidak ada pejuang, kau pun tidak mungkin hidup, Bee," sambar Soya.
Tubuh Bruzetta menegak, ucapan tajam Soya berhasil menyentak penuh kesadarannya. Matanya memicing tak terima. Sedang yang ditatap justru menunjukkan sikap tak acuh dan menatap tajam balik.
“Apa, kau tak terima?!" Soya menantang sahabatnya itu. Dengan tatapan tajam nan dingin mampu membuat nyali Bruzetta menciut dan bergidik.
“Pfft ...," Jayden berusaha menahan tawanya agar tidak meledak saat melihat raut ketakutan di wajah Bruzetta.
“Dasar Satan Sophia!" Bruzetta mencibir lagi. Sejurus Bruzetta menutup rahangnya, sebuah pena mendarat di keningnya dengan mulus.
“Auch!" Bruzetta memekik kesakitan sambil mengusap keningnya. Guru dan para siswa lainnya sontak menoleh ke arahnya.
“Ada apa, Bruzetta?" Guru Sejarah yang sedang menjelaskan, mendadak bertanya pada gadis bermata minimalis itu.
“Sophia melempar pena ke kening saya, Bu!" Bruzetta mengadu. Mata Sophia menjeling ke arah temannya itu.
“Dasar pengkhianat!" desis Soya.
“Sophia, apa yang kau lakukan. Kenapa melempari temanmu?!" tegur sang guru.
Dengan tenang Soya menjawab, “Sebagai teman yang baik saya wajib melakukannya agar ia tidak tertidur saat pelajaran berlangsung!"
Guru itu pun langsung menoleh dan menatap Bruzetta tajam, tampak sekali wajah muridnya itu memerah menahan emosi yang sudah mencapai di ubun-ubun.
“Kau tertidur lagi di dalam kelas?!"
“Ti ... tidak, Bu. Aku bersungguh-sungguh!" dusta gadis bertubuh mungil dengan mata minimalis itu. Sementara Soya menyeringai, “kena kau!"
“Bernadette Bruzetta, silakan maju ke depan!" perintah gurunya. Dengan terpaksa Bruzetta maju ke depan kelas dan berdiri selama jam pelajaran, sepertinya hukuman yang disampaikan Kai saat pertamakali mengajar di sini sudah menjadi kesepakatan para guru.
Di tengah pembelajaran terdengar panggilan yang berasal dari ruang sentral yang menggema dan merebut seluruh atensi guru dan para siswa.
“Panggilan ... panggilan ditujukan kepada Dominica Sophia Raviola Dexter dari kelas 2-A. Dimohon untuk datang ke Ruang Kepala Sekolah."
“What the hell, mungkinkah Bapak Kepala Sekolah itu menaruh hati padaku, seenaknya saja. Memangnya situ, siapa?" batin Soya menggerutu.
Netra Soya tak bersirobok dengan milik Bruzetta. Mereka seolah melakukan telepati. Tatapan bertanya-tanya Bruzetta sangat jelas sekali, rasa ingin tahunya mendadak berkobar di dalam hati.
“Baiklah Sophia, silakan keluar dan temui Pak Kepala Sekolah!"
Dengan malas Soya beranjak dari bangku dan keluar dari kelasnya. Ada apa lagi, Pak Kepala memanggilnya? Seingatnya ia tidak membuat gara-gara dengan kepala sekolahnya. Uang sekolah pun ia tidak membayar karena mendapatkan beasiswa.
Menjadikan kepala sekolahnya target kejahilannya? Seingatnya ia tidak lagi melempar bola basket hingga mengenai kepala sekolahnya dan beliau berakhir pingsan, karena bola tersebut membentur kepala pitaknya.
Lalu ada apa gerangan Pak Kepala memanggilnya?
Sesampainya di Ruang Kepala Sekolah, Soya mengetuk pintu, setelah mendengar sahutan dari dalam barulah ia memutar kenop pintunya dan mendorong hingga pintu itu terbuka. Tampaklah kepala sekolah serta Kai di sana dan menatap dirinya dengan tajam.
“Dia lagi," batin Soya. Soya langsung duduk di kursi meskipun belum dipersilakan duduk oleh Kepala Sekolah. Dengan mata melotot seakan, akan keluar dari tempatnya kepala sekolah melirik murid bengalnya ini.
“Bisa saya bicara dengan Sophia, berdua saja? Saya pinjam ruangan Anda," pinta Kai secara halus.
“O ... oh, tentu, Pak. Silakan," Pak Kepala pun undur diri dan keluar, kemudian menutup pintunya.
“Viola, saya tidak habis pikir denganmu!" ujar Kai tanpa basa-basi.
“Huh, maksud Anda apa, ya?"
“Kejadian tadi pagi, kau tahu? Beberapa di antara mereka ada yang mengalami pendarahan, patah tulang tangan dan kaki, bahkan lebih parahnya lagi salah seorang di antara mereka mengalami patah tulang rusuk!" Kai bicara dengan berapi-api, “kau keterlaluan, Viola!"
“Huh, ha-ha-ha ... ha-ha-ha ... saya keterlaluan?" tanya Soya sambil menunjuk dirinya sendiri sambil tertawa sumbang dan menatap Kai dengan pandangan meremehkan.
“Iya! Tidakkah kau kasihan pada mereka, pada orang tuanya?"
Soya berdiri, wajahnya berubah menjadi sedatar mungkin. Tatapannya menjadi dingin, seakan mampu membekukan ruangan itu dengan sekali tatap.
Brak!
Pyar! Kaca yang melapisi meja kepala sekolah itu pecah seketika karena kepalan tangan Soya menghantam dengan keras, hingga berdarah.
“Viola!" gertak Kai.
“Lalu menurut Anda saya harus diam saja saat mereka menghadang saya, menyeret, bahkan membawa saya untuk dilecehkan secara bergiliran. Seharusnya saya diam dan terima saja, begitu maksud, Anda, huh?!" teriak Soya murka di depan gurunya. Masa bodoh dengan kesopanan.
“Jika saya tidak melawan mereka semua hingga seperti tadi, maka hidup saya yang berakhir. Saya kehilangan sesuatu yang amat berharga yang selalu saya jaga hingga saat ini, karena salah seorang dari mereka berhasil merenggut mahkota saya," ucap Soya dengan napas yang memburu, “dan Anda yang tidak mengerti apa pun, dengan seenaknya bilang saya keterlaluan karena menghabisi mereka? ...."
“... soal orang tua mereka? Huh, peduli setan, harga diri saya, kehormatan saya lebih penting daripada kesedihan mereka!"
Ketegangan semakin terasa hawa dingin nan mencekam terasa menusuk tulang.
“Dengar ya, Kai. Kita tak pernah memiliki hubungan apa pun. Bahkan sebelumnya, kita tak pernah mengenal satu sama lain. Jadi, jangan mencampuri urusanku dan bersikap seolah kita dekat! Jika aku mau, aku bisa saja menusuk jantungmu saat ini juga, tak peduli kau anak pemilik sekolah ini sekalipun!" setelah berkata seperti itu Soya langsung pergi keluar meninggalkan ruangan meninggalkan Kai yang terdiam di sana.
Kai memejamkan mata, merutuki dirinya yang bersikap bodoh hingga membuat gadisnya terluka, “Bodoh kau, Kai. Benar-benar bodoh!"
typ typ😝
tapi karya ini bagus.. alurnya agak lambat sih mnurutku, tapi ada kejutan di tiap bab nya, jadi mencegah bosan. terutama tokoh wanitanya, digambarkan sebagai wanita kuat, kuat dari semua sudut.